KOTOMONO.CO – Toxic productivity jadi permasalahan kesehatan mental yang rentan dialami oleh generasi Z.
Pernahkah kalian merasa bersalah pada saat tidak melakukan kegiatan apapun seharian? Pernahkah kalian tidak istirahat dari berkegiatan padahal pekerjaan yang kalian lakukan sudah selesai? Pernahkah kalian berkegiatan secara terus-menerus dan mengabaikan kesehatan? Jika kalian pernah mengalami hal tersebut, kalian wajib berhati-hati loh! Barangkali tanpa kalian sadari, kalian sedang mengalami kondisi yang bernama toxic productivity tuh.
Menurut Dr. Julie Smith, seorang psikolog klinis dari Hampshire, Inggris, mengatakan bahwa toxic productivity adalah sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal.
Toxic productivity lahir dari budaya yang menganggap bahwa tingkat kesejahteraan seseorang dinilai dari tingkat produktivitas yang tinggi. Hal ini berakibat pada semakin banyak individu yang berlomba-lomba untuk mengejar produktivitas tanpa henti, contohnya adalah fenomena yang terjadi pada generasi Z.
Menurut Badan Pusat Statistika tahun 2021, generasi Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1997-2012 atau berusia 10-25 tahun. Dalam survei yang dilakukan oleh Harris Poll, menunjukkan bahwa generasi Z merupakan generasi yang kreatif dan seorang digital native. Dimana mereka tumbuh dan berkembang berdampingan bersama digital yang secara perkembangannya sangat cepat.
Perkembangan digital saat ini sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku generasi Z. Dengan begitu, generasi Z dikenal juga sebagai generasi yang kompetitif sehingga mereka cenderung gila kerja hanya untuk eksistensi semata di kalangan rekan sejawatnya.
BACA JUGA: Menelisik Evolusi Jati Diri Antar Generasi
Contoh sederhananya adalah ketika mereka melihat kegiatan-kegiatan yang produktif dari rekan sejawatnya melalui Instagram Stories atau WhatsApp Stories di setiap harinya. Mereka akan memuji rekannya karena memiliki hari-hari yang selalu produktif dan tanpa mereka sadari mereka akan mengadopsi apa yang mereka lihat ke dalam kesehariannya dan ketika sehari saja mereka tidak melakukan kegiatan seperti rekannya, mereka akan merasa bersalah.
Generasi Z dapat terjebak ke dalam toxic productivity, dan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, obsesinya untuk selalu ingin menjadi produktif. Di era serba digital ini, perasaan tidak ingin tertinggal oleh orang lain atau biasa disebut dengan fear of missing out (FOMO) semakin banyak dialami oleh orang-orang di lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan oleh arus informasi yang kian mudah diakses melalui internet sehingga banyak orang yang dengan mudah menampilkan personal branding mereka melalui cerita dan kegiatan produktif mereka, sehingga anggapan bahwa ‘semakin produktif maka semakin keren hidupnya’ makin kian terdengar nyaring.
Kedua, adanya penetapan standar yang terlalu tinggi. Standar yang terlalu tinggi ini didapatkan melalui budaya di lingkungan sekitar individu dan juga kurangnya mengenali batasan dalam diri. Terkadang seseorang membuat suatu standar di dalam hidupnya namun kurang memperhatikan kapasitas diri sendiri, sehingga ketika standar yang telah dibuatnya tidak dapat terealisasikan dengan baik maka yang terjadi adalah meningkatnya level stres.
BACA JUGA: Wahai Orang Tua, Mari Awasi Penggunaan Gadget Pada Anak
Perbedaan antara healthy productive dengan toxic productive adalah jika healthy productive itu memiliki jam kerja yang normal, adanya upaya untuk mengoptimalkan waktu istirahat, menerima ketidaksempurnaan, serta sadar akan diri dan lingkungan sekitar. Sedangkan perbedaan toxic productive, diantaranya yaitu suka mendorong diri sendiri, merasa bersalah karena beristirahat, menilai diri sendiri dari ‘sudah melakukan apa aja?’, dan merasa gagal jika tidak melakukan apa-apa.
Toxic productivity juga berakibat pada menurunnya happiness level, meningkatnya self-critics, depression and anxiety, stress level, sadness level, hunger level. Selain itu, menurut seorang psikiater Erikavitri Yulianti pada webinar di platform kesehatan mental Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair), menurutnya bahwa toxic productivity dapat berpotensi menjadi penyebab timbulnya burnout sehingga berakibat pada terganggunya relasi dengan orang lain.
Upaya yang paling dasar untuk dapat membantu kalian terhindar dari toxic productivity yaitu dengan memiliki self-awareness yang baik. Menurut Listyowati (2008) self-awareness atau kesadaran diri adalah kondisi saat seseorang mampu memahami diri sendiri dengan baik, yaitu kesadaran seseorang tersebut kepada pikiran, evaluasi diri, dan perasaan dirinya sendiri.
BACA JUGA: Dear Pelaku Catcalling, Kalian Itu Nggak Punya Harga Diri!
Dengan memiliki self-awareness yang baik berarti kita memiliki suatu kesadaran yang tinggi terhadap kepribadian, kekuatan dan kelemahan, dapat mengelola pikiran dan keyakinan, dan mengendalikan emosi dan mendorong motivasi dari dalam diri. Selain itu, kalian dapat memiliki empati dan kebaikan, memahami kekurangan dan kelebihan, dapat mengelola pikiran dan keyakinan, mampu mengendalikan emosi dan mendorong motivasi dari dalam diri.
Berbagai manfaat dari self-awareness dapat kalian rasakan melalui kegiatan-kegiatan sederhana yang dapat kalian lakukan, seperti yang pertama yaitu meditasi. Meditasi adalah kondisi dimana kalian dapat memfokuskan pikiran dengan kondisi yang sedang terjadi. Dengan begitu, kalian dapat lebih mudah dalam menyadari lebih dalam tentang diri sendiri dan juga apa yang telah terjadi di dalam hidup.
Kedua, melakukan journaling, yakni kegiatan menulis jurnal pribadi berupa suatu keresahan, kebersyukuran, eksplorasi permasalahan atau pola pikir, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memberikan kelegaan dan juga sebagai ajang untuk mengevaluasi diri.
Ketiga, mendengarkan dengan bijak pendapat, kritik, dan saran dari orang lain. Hal ini bertujuan untuk mendorong kalian untuk lebih sadar dalam menerima segala kekurangan dan kelebihan dari dalam diri dengan begitu kalian akan tahu solusi dari hal tersebut.
Cara lain untuk terhindar dari toxic productivity tidak hanya melalui self-awareness saja. Kalian dapat menerapkan beberapa hal-hal berikut, yaitu dengan membuat tujuan yang realistis. Cara pertama ini, akan mempermudah kalian untuk fokus terhadap tujuan-tujuan yang memang sesuai dengan kapasitas diri dimana kalian dapat meraihnya dengan baik.
Kedua, tidak merasa bersalah mengambil waktu untuk beristirahat. Istirahat akan memberikan dampak positif pada kesehatan karena dengan sehat kita dapat melakukan berbagai kegiatan dengan lebih menyenangkan dan fokus serta tidak ada salahnya mengambil waktu untuk beristirahat karena istirahat juga termasuk ke dalam kegiatan.
Ketiga, membuat work-life boundaries. Dengan membuat batasan antara kapan bekerja dan kapan untuk istirahat, kalian dapat membuat kehidupan menjadi lebih seimbang dan nyaman untuk dijalankan.
BACA JUGA: Fase Quarter Life Crisis Adalah Bentuk Proses Pendewasaan
Keempat, melakukan self-talk. Tujuan membangun positive self-talk yaitu karena dengan melakukan positive self-talk akan dapat menurunkan self-critics. Jika self-critics menurun, maka stress level pun menurun juga.
Kelima, self-care, yakni upaya untuk membantu tubuh agar tetap sehat. Keenam, priority checklist. Tujuannya adalah membantu kita untuk jadi tahu prioritas mana yang perlu kita lakukan untuk mencapai tujuan kita sehingga kita jadi lebih fokus pada tujuan hidup kita.
Produktivitas akan tetap memberikan dampak positif kepada kehidupan jika kalian tidak memaksakan diri sendiri dengan cara mengenali batas-batas kemampuan pada diri sendiri. Namun kebalikannya, produktivitas akan berujung menjadi berbahaya jika kalian mengabaikan kebutuhan hidup misalnya, makan, minum, dan istirahat, karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Terkadang tidak melakukan apapun seharian saja, itu tidak apa-apa. Jadi, lakukan produktivitas sesuai dengan kadarnya.
Komentarnya gan