KOTOMONO.CO – Ekskul wajib yang satu ini memang sering jadi bahan ejekan ketimbang sanjungan. Semasa SMA dulu, saya adalah seorang penegak yang aktif dalam Dewan Ambalan. Beberapa kali memang ditugaskan untuk membantu Pembina ketika ekskul wajib Pramuka berlangsung.
Ketimbang menjadi Pembantu Pembina, saya malah lebih merasa jadi pasukan huru-hara yang harus mengendalikan massa. Bayangkan saja! 350-an manusia harus diarahkan setiap hari Jumat untuk mengikuti ekskul yang mayoritas siswa tidak menyukainya.
Itupun masih harus mencari siswa-siswa desersi alias mangkir yang memilih bolos ikut Pramuka. Bahkan di luar ekskul, saya sering diejek dan ditertawakan karena aktif mengikuti kegiatan yang satu ini. Dari pengalaman kurang menyenangkan itu, saya mencoba mencari penyebab kenapa banyak haters di kegiatan yang satu ini. Berdasarkan observasi dan testimoni teman-teman, inilah beberapa alasannya.
Karena Wajib
Ya, ini aneh tapi nyata. Alasan pertama adalah karena wajib. Dalam UU No.12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka Pasal 20 Ayat 1, disebutkan bahwa Gerakan Pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis.
Jelas sekali di sini, bahwa kepramukaan pada dasarnya harus bersifat sukarela. Dengan adanya keterbukaan diri mengikuti suatu kegiatan maka tujuan dalam pendidikan kepanduan akan lebih mudah tercapai. Ekskul Pramuka wajib, saat ini masuk ke dalam jam pelajaran.
BACA JUGA: Bila Hujan Tiap Hari, Lakukan Hal Ini Biar Dirimu Makin Useful
Sayang sekali, ini dilakukan dengan tujuan baik. Namun, kurang tepat karena unsur wajib alias dipaksakan hanya akan menimbulkan penolakan. Baden Powell dalam bukunya Aids to Scoutmasterships (1919), padahal menyebut, kegiatan kepanduan adalah kegiatan yang berprinsip pada ekspresi.
Di mana pendidikan kepanduan lahir dari inisiatif diri sendiri sebagai langkah awal. Jadi, idealnya tidak diwajibkan ya guys, melainkan atas kesukarelaan hati masing-masing.
Yang Nggak Ikut Pramuka, Nggak Naik Kelas
Ancaman basi ini sering saya dengar dari Pembina saya. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberi efek deteren kepada mereka yang sering bolos. Tapi menurut saya, cara ini hanya memperparah kondisi yang sudah ada. Apalagi remaja-remaja seusia SMA, yang makin ditantang malah makin berani. Dan ya, memang hasilnya justru tambah banyak yang bolos.
Alasan “nggak ikut Pramuka, nggak naik kelas” juga aneh karena kepanduan pada dasarnya pendidikan non formal. Dalam internal kami, tidak ada penilaian menggunakan angka maupun huruf, KKM maupun IPK. Penilaian di Pramuka ditunjukkan dengan Tanda Kecakapan Umum (TKU) dan Tanda Kecakapan Khusus (TKK).
BACA JUGA: Demi Ketenangan Hati, Jika Ketemu Manusia Ini di Jalan, Hindari Saja!
Kalau sekarang ini banyak yang bilang setiap kecerdasan siswa nggak bisa dibanding-bandingkan di satu mata pelajaran atau skill tertentu, justru sebenarnya kepanduan sudah sejak lama menerapkan sistem penilaian berbasis kecakapan individu.
Dengan adanya tanda kecakapan, setiap Pramuka bisa mendapatkan tanda sesuai kemahirannya masing-masing setelah menguasai skill yang diujikan. Seorang Penegak dengan badge Juru Peta, tidak bisa dibandingkan dengan Penegak lain yang memiliki badge Juru Masak. Masing-masing punya kemampuannya sendiri-sendiri.
KKN: Kemah, Keplok-keplok (Tepuk-tepuk), Nyanyi.
Stigma kegiatan Pramuka yang kadang bikin illfeel adalah unsur tepuk-tepuknya. Apalagi untuk usia SMA, mungkin akan agak awkward kalau harus tepuk-tepuk sambil bernyanyi. Banyak kawan saya mengungkapkan kebencian mereka karena unsur tepuk-tepuk ini dianggap seperti anak kecil.
Selain itu, kemah yang diselenggarakan juga sering kurang update peralatan. Salah satu yang saya soroti adalah penggunaan tenda prisma yang berat, ribet, dan nggak anti-air itu. Ketika NSO (National Scout Organization) negara lain sudah lama beralih ke tenda yang lebih modern seperti dome, masih banyak gugus depan Pramuka yang memakai tenda prisma lawas itu. Ini membuat banyak siswa jengkel kalau ikut kemah, sebab banyak barang bawaan nggak ringkes dan menyulitkan. Mungkin Pramuka harus segera beralih ke ultralight yang lebih ringan dan ringkas.
BACA JUGA: Pandangan ‘Wong Ndeso’ Terhadap Berkurangnya Lahan Persawahan
Selain kurang update peralatan, kegiatan kemah biasanya diberi bumbu-bumbu berkedok latihan mental dengan cara dibangunkan tengah malam, lalu berputar-putar nggak jelas. Ya, masyarakat kita menyebutnya “jurit malam”.
Hal ini jelas tidak ditemui dalam kegiatan Pramuka luar negeri, lebih-lebih di negara maju. Banyak kawan saya yang ekspektasinya ikut Pramuka se-asyik kegiatan di luar negeri, namun terpatahkan setelah mengalami “jurit malam” ini. Mereka malah jadi males, buruknya lagi malah jadi haters.
Itulah sedikit alasan kenapa banyak haters di organisasi ini. Saya sih bukan haters, lagian kalau memang haters, ngapain juga ikut Pramuka sampai jadi Pembina seperti sekarang ini. Selain karena pengalaman buruk semasa SMA, alasan-alasan ini bisa jadi masukan untuk Gerakan Pramuka ke depan.
Saya sih tidak terlalu memikirkan kalau ada peserta didik saya yang nggak ikut Pramuka wajib. Lagian, sesuatu yang dilakukan tanpa ada rasa sukarela itu hasilnya tidak akan ada yang maksimal. Salam Pramuka!
Komentarnya gan