KOTOMONO.CO – “Ketika anak-anak muda berkumpul, ia harus menjadi manfaat bagi orang-orang sekitar,” itulah sepenggal kalimat yang diucapkan Eko Prio HC owner Emkay Brewer saat menyambut peringatan hari jadi Hexohm Pekalongan, Sabtu malam (19/12) di Foodpedia Cafe.
Penggalan kalimat itu tak hanya jadi ungkapan pemulas bibir. Akan tetapi, ia buktikan dengan ajakannya kepada pegiat komunitas penikmat rokok elektrik. Ia meminta agar setiap berkumpul ada sesuatu yang dilakukan bagi masyarakat sekitar. Lebih-lebih di masa pandemi ini.
“Salah satu hikmah yang bisa kita petik dari pandemi ini adalah ia membangunkan kesadaran kita sebagai manusia. Bahwa kita, tidak hidup sendiri. Kita sama-sama membutuhkan dan perlu untuk saling memotivasi. Maka, di situ pula kepedulian muncul,” ungkapnya.
Pandemi, kata dia, telah membangkitkan rasa kemanusiaan yang selama ini nyaris terhapus dari kamus bahasa sehari-hari. Apalagi dengan gempuran kemajuan teknologi yang mula-mula membuat orang berjarak satu sama lain. Gaya hidup yang menuntut banyak hal, kadang membuat kita lupa dan luput menangkap peristiwa-peristiwa nyata di depan mata.
“Era pandemi ini, membuat semua pasang mata pelan-pelan mulai belajar dan memperhatikan. Apa yang menjadi kegelisahan bersama. Lalu, berusaha bersama-sama untuk mengatasinya,” begitulah. Sekelumit kegelisahan seorang pengusaha muda yang belakangan sedang menanjak kesuksesannya.
Seusai memberikan sambutan yang menggugah itu, ia lantas duduk semeja dengan saya dan teman-teman Sokola Sogan. Kami mengobrol ngalor–ngidul. Saya pun tak mau kecolongan kesempatan untuk mengulik pengalamannya, yang saya duga pasti unik.
Benar saja, pria berotot ini rupanya sosok yang berani mengambil keputusan. Ia men-DO-kan diri dari bangku kuliahnya! Wah, ini yang saya suka. Sebab, tidak mungkin seseorang berani men-DO-kan diri tanpa alasan kuat.
Baca juga : Manusia Harimau dari Bandung
Yup! Salah satu alasan yang membuatnya memilih DO adalah kesan yang ia tangkap tentang kampus yang dipandangnya terlalu membelenggu. “Ini paradoks!” katanya. “Sebab, dunia kampus yang mestinya membebaskan pikiran, ternyata justru membenturkan pikiran itu dengan aturan-aturan main yang serba membatasi. Kan aneh?”
Padahal, menurutnya, pendidikan menjadi kunci dari penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat. Sayangnya, pendidikan sendiri—atau mungkin dunia persekolahan lebih tepatnya—cenderung menjauhkan mahasiswa dari lingkungannya sendiri. Sekolah atau kampus malah cenderung jadi semacam tempat “pelarian” sementara dari realita.
Di sisi lain, dunia kampus yang sedianya mengajarkan cara berpikir kritis, alih-alih membelenggu nalar. Aturan-aturan main yang diterapkan justru memasung kekritisan mahasiswa di dalam menjalankan fungsinya sebagai agen perubahan. Bahkan, di dalam kelas, mahasiswa pun kadang dituntun menjadi orang yang malah tidak mengerti apa yang harus diubah.
Hmm… ada benarnya juga sih. Tetapi, mungkin itu kasuistik, menurut saya. Saya yakin, masih banyak kok yang nggak begitu-begitu amat.
Atas pendapat saya itu, ia lantas menyeringai, “Kalau itu kasuistik, mengapa banyak yang begitu? Mestinya, kalau kasuistik kan sedikit? Lha ini?”
Saya mendiamkan saja dulu. Sembari menanti kelanjutannya. Saya hanya bermain-main dengan perkiraan-perkiraan yang memenuhi pikiran saya. Penasaran, apa yang akan diucapkannya.
Sembari membenahi duduknya, ia melanjutkan. Katanya, “Bagaimana pendidikan akan menjadi solusi, jika ia sendiri juga sedang digalaukan dengan seabrek masalah? Maka, jalan satu-satunya adalah mendorong anak-anak muda untuk ikut bergerak. Melakukan upaya-upaya yang serius untuk mengedukasi masyarakat.”
Baca juga : Sebaiknya Sejak Mahasiswa, Guru Diajari Cari-Cari Masalah
Alasan ini kemudian, membuat Eko HC mengapresiasi anak-anak muda yang peduli terhadap perkembangan dunia pendidikan. Terutama, mereka yang langsung turun ke masyarakat tanpa harus terlembagakan secara formal. Bahkan rela tanpa dipandang sebagai siapa-siapa, sebagai apa-apa. “Justru kumpulan anak muda yang seperti inilah yang patut kita lihat. Mereka merelakan kesenangannya untuk dikorbankan, demi memberi manfaat bagi orang banyak. Saya, mungkin saja bisa memberikan fasilitas tetapi itu tak seberapa dibandingkan mereka yang menyediakan hati dan pikirannya untuk masa depan,” katanya.
Ia mengaku, fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah atau kampus-kampus tidaklah kalah. Sekarang, teknologinya serba maju. Tetapi, apalah gunanya fasilitas yang serba wah itu jika tidak diimbangi dengan cara berpikir yang maju. “Perlu deh ada evaluasi yang menyeluruh kayaknya. Apalagi sekarang ini orientasi pendidikan sudah sangat jauh meleset. Sekarang, orientasi sekolah atau orang tua tentang pendidikan bukan lagi mendidik anak menjadi orang baik. Tetapi, orientasinya sudah serba materialistis. Itu sangat disayangkan,” ungkap Eko HC.
“Ah! Kata siapa? Menurut saya, pendidikan sudah cukup mendidik anak-anak untuk menjadi orang baik lho ya. Buktinya, sekarang sudah jarang terjadi anak sekolah tawuran. Para mahasiswa juga sudah semakin lebih tertib. Taat aturan!” kelakar saya.
Eko HC pun membalas, “Nah, itu dia! Kategori orang baik kadang memang masih ambigu. Bergantung dari sudut pandang siapa. Otomatis, sudut pandang itu mengarahkan pada tujuan-tujuan tertentu. Lha kalau yang dimaksud orang baik itu sekadar taat aturan, sementara mereka tidak tahu aturan itu dibuat untuk tujuan apa, ya sama saja bohonglah.”
Memang, kalau sesama “pemberontak” ngobrol selalu saja ada yang jadi perdebatan. Tetapi, perdebatan antara saya dengan Eko HC justru menjadi obrolan yang mengasyikkan. Tidak dalam rangka bersaing untuk menentukan siapa paling benar.
Baca juga : Pembangunan di Penghujung Masa Jabatan Walikota Pekalongan Sungguh Bikin Bahagia
Sayangnya, seperti diungkapkan Eko HC, pendidikan kita kadung mengamini kompetisi. Sehingga, dunia dalam gambaran anak-anak sekolah atau mahasiswa adalah persaingan. “Memang, persaingan itu perlu juga. Tetapi, dalam hal apa? Untuk tujuan apa? Jika orientasinya hanya untuk diri sendiri, buat apa?! Kita malah menghabiskan energi untuk hal-hal yang percuma,” tandasnya.
“Jadi, apa simpulannya?” tanya saya.
Belum terjawab pertanyaan saya, eh jam dinding di cafe sudah menunjuk angka dua belas lebih. Walhasil, kita bubaran. Dan memang, tak ada yang bisa disimpulkan. Sebab, PR-nya dunia pendidikan masih banyak yang belum tergarap. Jadi, silakan kerjakan PR-nya dulu. Saya sudah mengantuk dan segera pulang ke rumah. Saya perlu mendidik diri saya untuk tak bermalam di teras rumah, menjadi santapan kerumunan nyamuk. Padahal, di era pandemi orang nggak boleh berkerumun. Kenapa nyamuk masih saja berkerumun ya? Dasar nyamuk! Pasti nggak berpendidikan itu nyamuk.
BACA JUGA artikel Ribut Achwandi lainnya