KOTOMONO.CO – Sempat dikenang oleh Google tiga tahun silam, gagasan Ani Idrus terkait pendidikan terbukti masih relevan.
Ani Idrus mestinya bukan nama asing bagi kita sekalian. Pada tanggal 25 November 2019, sosoknya bahkan dimuliakan oleh Google dengan memajangnya dalam bentuk doodle art pada peringatan hari guru tiga tahun silam. Kendati demikian, pembahasan mengenai Ani Idrus masih lebih banyak berkisar seputar kontribusnya pada ranah jurnalistik.
Jurnalistik dan Ani Idrus memang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana yang dimuat oleh historia.id dengan judul Ani Idrus, Wartawan Perempuan Lintas Zaman pada 30 November 2019, Ani Idrus memulai karir dari mengarang dan menghibahkan seluruh hidupnya pada dunia kepenulisan.
Pada tahun 1930, ketika usianya masih 12 tahun, Ani sudah menerbitkan tulisan pertamanya di sebuah majalah yang bernama Pandji Pustaka. Setelah itu karir kepenulisannya berkembang terus. Hingga pada detik terakhir misinya di dunia selesai, Ani Idrus masih menjadi bagian penting dari Pers Indonesia, yakni sebagai pemimpin redaksi untuk Harian Waspada dan Majalah Dunia Wanita.
BACA JUGA: Pendidikan dan Strategi Mendorong Perempuan Berkemajuan
Terutama melalui Dunia Wanita yang didirikan bersama rekan-rekannya pada tahun 1949, Ani Idrus giat sekali menuangkan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan wanita. Majalah Dunia Wanita -seperti namanya- memang ditujukan sebagai corong eksklusif bagi wanita dan pihak-pihak yang menaruh perhatian kepada kemajuan kaum wanita untuk melawan narasi androsentris pada masa itu.
Sejatinya di samping pembahasan yang ditujukan khusus kepada wanita, ada hal yang lebih menarik lagi dari majalah Dunia Wanita. Hal itu adalah konstruksi berpikir para penulis terhadap permasalahan bangsa. Salah satu yang mencurahkan buah pikirnya adalah Sang “Pengemudi” majalah itu sendiri, Ani Idrus. Dalam hal ini, kita hanya akan membahas artikel pendek dari Ani Idrus yang terbit pada majalah itu pada 1 November 1949, No.10 Tahun ke-1, dengan tajuk Guru dan Pendidikan.
Guru Pangkal Kemajuan
Sesungguhnya tulisan Ani Idrus pada Majalah Dunia Wanita itu adalah sebagai respons atas adanya konferensi guru-guru se-Indonesia. Konferensi itu berlangsung pada pertengahan Oktober tahun 1949 di Yogyakarta. Menarik bahwa pada masa genting ternyata Pendidikan tidak dibiarkan bergeming.
Ani Idrus menitipkan pesan yang besar bagi penyelenggaran musyawarah di tengah-tengah periode revolusi itu. Menurut Ani Idrus, momentum revolusi yang menuntut adanya perubahan secara fisik pada negara dan sistem pemerintahan harus dibarengi dengan revolusi pula pada institusi Pendidikan.
BACA JUGA: Menyoal Pandangan Wanita Tidak Boleh Berkarir dan Berpendidikan Tinggi
Penyelenggaraan musyawarah atau konferensi antar guru se-Indonesia itu menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi bahwa Pendidikan merupakan dasar dari konstruksi sebuah bangsa. Sebagaimana dinyatakan pada sebuah esai yang dipublikasikan oleh UKessays dengan judul The Role of Education in a Developing Country pada 22 Juli 2021, bahwa Pendidikan dipercaya dapat membantu mengembangkan sebuah negara dalam setiap bidang.
Masyarakat yang terdidik memiliki kesempatan lebih untuk memperoleh pekerjaan yang layak daripada mereka yang tidak. Dengan demikian, semakin banyak masyarakat terdidik akan mendorong perekonomian negara. Akan tetapi itu baru dari sisi ekonomi saja, bayangkan apa yang dapat dilakukan oleh Pendidikan pada bidang lainnya.
Menurut Ani Idrus kemajuan yang dicapai dengan pendidikan berpangkal pada guru. Ani Idrus berpandangan bahwa cepat atau lambatnya kemajuan itu terwujud bergantung pada kuantitas guru, sebagaimana terangnya, “Mangkin banjak guru di atas dunia ini, mangkin tjepat madjunja manusia.”
BACA JUGA: Fatima Al-Fihri, Sang Pendiri Universitas Pertama di Dunia
Selain kuantitas, Ani Idrus juga menekankan aspek kualitas guru. Hal itu ditekankan oleh Ani Idrus disebabkan ketertinggalan Indonesia dari negara-negara lain yang dia rasakan. Dari Ani Idrus kita belajar bahwa dalam rangka mengejar ketertinggalan itu formulanya adalah dua: perbanyak guru dan tingkatkan kualitasnya.
Pendidikan yang Memerdekakan
Tujuh puluh tiga tahun yang lalu, sebelum jargon Merdeka Belajar, Guru Penggerak, dan atau Merdeka Belajar bergema dan menjadi program resmi pemerintah, Ani Idrus telah tampil dengan gagasan pendidikannya sendiri, yang dapat diterjemahkan sebagai Pendidikan yang memerdekakan.
Langkah awal yang diterangkan oleh Ani Idrus untuk mencapai Pendidikan yang demikian itu adalah dengan memastikannya terlepas dari bayang-bayang Kolonialisme Belanda. Ani Idrus berkeyakinan bahwa Pendidikan yang selama ini diselenggarakan oleh Belanda di Indonesia telah mengungkung rakyat Indonesia pada tujuan Pendidikan yang sempit, yakni sebatas menjadi pegawai. Oleh karena itu hal ini juga dapat dianggap sebagai bagian dari dekolonisasi Pendidikan.
Tidak ada yang salah dari menjadi pegawai, berseragam, punya pengasilan tetap dan jaminan hari tua. Akan tetapi yang ditekankan oleh Ani Idrus adalah bahwa Pendidikan memiliki tujuan yang lebih daripada itu. Pendidikan seharusnya tidak hanya tentang tercukupinya kebutuhan jasmani, melainkan terpenuhinya juga kebutuhan rohani.
BACA JUGA: Maestro Tari Bali Ni Ketut Arini, Sang Penjaga Tradisi Bali
Apa yang ada di dalam akal dan jiwa masyarakat itulah yang lebih penting menurut Ani Idrus, yakni, “…mendjadi manusia jg berharga, manusia jang dapat bertindak dan berpikir setjara merdeka…”. Maka Pendidikan yang memerdekakan seharusnya tidak berhenti pada “merdeka” dalam arti siapa dapat mempelajari apa, kepada siapa serta di mana saja, namun lebih kepada luaran yang dihasilkan.
Luaran itu ialah terciptanya masyarakat yang memiliki kesadaran akan marwah dan keterampilan berpikir serta kebebasan dalam mengembangkan potensi dirinya. Hal itulah yang dapat meningkatkan kualitas pribadi seseorang dan menjadi tolok ukur keberhasilan Pendidikan yang telah terselenggara.
Sementara dalam konteks periode itu, Ani Idrus juga meng-highlight bahwa Pendidikan harus memiliki muatan nasionalisme dan kerakyatan. Hal itu barangkali juga masih relevan hingga dewasa ini, di mana persatuan masih menjadi topik yang berulang kali digaduhkan. Ani Idrus boleh jadi tidak sekadar merespons konferensi guru pada waktu itu tetapi sekaligus menitipkan pengajaran yang sampai hari ini masih kita butuhkan. Akhirnya, tersisalah bagi generasi ini suatu pertanyaan sederhana, “Sejauh mana gagasan Ani Idrus itu telah dilaksanakan?”.
Berikan komentarmu