KOTOMONO.CO – Nurcholis Madjid atau akrab dipanggil Cak Nur merupakan Intelektual Indonesia. Cak Nur terlahir di lingkungan agamis tradisional Jawa Timur yaitu Jombang, tanggal 17 Maret 1939 dan wafat pada 29 Agustus 2005. Dalam mewarnai panggung intelektual di Indonesia, Cak Nur sebaya dengan Gus Dur. Sebagai pemikir muslim, keduanya lahir dari kota yang sama, memiliki rekam jejak dan reputasi ilmiah yang apik di dalam maupun di luar negeri.
Cak Nur boleh dikata merupakan generasi awal putra bangsa yang lulus dari Universitas Chicago Amerika Serikat dan mendapat gelar doktor bidang filsafat dan pemikiran Islam. Dua lulusan yang lain ada dua tokoh bangsa yakni Amin Rais dan Ahmad Syafi’i Maarif. Universitas Chicago ini terkenal sebagai pencetak akademisi di bidang pemikiran Islam, tidak heran jika Gus Dur memberi julukan Tiga Pendekar Chicago kepada tiga alumni Universitas Chicago tersebut.
Kemudian nama Nurcholis Madjid melejit semenjak menduduki kursi ketua umum HMI periode 1966-1969. Pemikiran-pemikiran cemerlang Cak Nur terkait modernitas sejalan dengan Islam serta penolakan terhadap westernisasi dan sekularisme mampu mengilhami banyak orang sehingga sosok Cak Nur ini kerap mendapat julukan sebagai Natsir Muda.
Namun, semenjak gagasan kontroversial yang ia cetuskan pada tahun 1970-an tentang sekularisasi dalam Islam yang dibalut dalam tajuk “Islam Yes, Partai Islam No” julukan Narsir Muda pun berubah menjadi kritik. Padahal pemikiran Cak Nur jika ditelaah memang unik, aneh, bahkan nyleneh tetapi mampu memberi inspirasi bagi akademisi Indonesia, salah satu pemikiran yang terkenal yaitu Integrasi Islam dan modernitas.
Argumentasi Cak Nur terkait modernitas dalam Islam dibangun dari dua landasan. Pertama, (QS Al-Mujaadilah/[58]: 11) dan kedua fakta historis. Menurut M. Quraish Shihab sebab ayat ini turun adalah ada orang-orang mukmin yang baru datang dalam majelis Rasulullah SAW tetapi mereka tidak mendapat tempat duduk karena tempat duduk sudah terisi penuh oleh orang mukmin yang lebih dulu datang. Sedangkan orang mukmin yang lebih dulu datang tidak mau berbagi tempat duduk dengan mereka (orang-orang mukmin yang baru datang).
Dalam tafsir al-Mishbah ayat tersebut menjelaskan bagi orang-orang yang mempercayai Allah dan rasul-Nya, apabila kalian diminta untuk melapangkan tempat duduk bagi orang lain agar ia dapat duduk bersama kalian maka lakukan, Allah pasti akan melapangkan segala sesuatu untuk kalian! Apabila kalian diminta untuk berdiri dari tempat duduk maka berdirilah! Allah akan mengangkat derajat orang-orang mukmin yang ikhlas dan orang-orang berilmu menjadi beberapa derajat. Allah maha mengetahui segala sesuatu yang manusia perbuat.
Dari tafsir ayat tersebut kita dapat menyoroti keutamaan orang yang menghiasi diri dengan ilmu, misal diajarkan untuk ikhlas dan berbagi yang berkaitan dengan ilmu. Hal ini dibuktikan dengan semangat seorang muslim berdesak-desakan dalam majelis ilmu Rasulullah SAW. Bagi Cak Nur, ketika umat muslim memiliki semangat untuk berpikir, analisa, dan merenung, sejatinya modernitas adalah keniscayaan bagi umat muslim.
BACA JUGA: Arti dan Makna Gusjigang yang Menjadi Falsafah Hidup Masyarakat Kudus Sedari Lama
Dalam sejarah peradaban Islam kita mengenal, Spanyol (Andalusia) adalah negara yang memiliki kesadaran pluralis. Spanyol di bawah pimpinan Abdurahman III menjadi pusat peradaban (negara modern) paling baik di wilayah barat, baik dari ilmu pengetahuan, arsitektur dan kerukunan hidup antar umat beragama. Kesadaran pluralis runtuh ketika raja Kristen menguasai Spanyol, hal itu dibuktikan dengan hanya diberi dua pilihan bagi umat muslim disana, memeluk Kristen atau pergi.
Dari dua landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa umat muslim tidak ada masalah apapun dengan modernisasi. Disini Cak Nur melakukan otokritik terhadap internal umat muslim yang sering menyamakan antara modernisasi dengan westernisasi. Modernisasi adalah fitrah bagi manusia yang memiliki semangat dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, sedangkan westernisasi adalah pemujaan terhadap barat secara berlebihan. Dan ketika umat muslim mencampur aduk dua hal itu, niscaya umat Islam akan tertinggal dari segala bentuk modernitas.
Sejarah telah merekam bahwa cendekiawan muslim klasik dengan bebas belajar dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi atau dicap keyunani-yunanian. Alhasil dunia Islam mampu melahirkan filsuf muslim yang memperkuat dan membela agama Islam. Berbeda dengan filsuf Eropa dimasa Skolastik dan Renaisance yang umumnya menolak atau meragukan agama yang mereka yakini. Dampaknya adalah lahirnya modernitas semu yang kehilangan jati diri sebagai manusia.
Max Dimont seorang ahli sejarah memberi kesaksian bahwa pluralisme Islam di masa lalu adalah paham modern yang tertuang dalam sikap kurang fanatik dan keterbukaan, hal itu justru membuat kaum muslim mampu memimpin daerah yang sangat luas dari berbagai bangsa dan melahirkan peradaban paling modern pada masa itu.
BACA JUGA: Universalisme Islam dan Upaya Memanusiakan Manusia
Dilihat dari sisi teologi pun menurut Bertrand Russell, monoteisme Muhammad adalah konsep teologi modern dan sederhana, berbeda dengan konsep Trinitas dan Inkarnasi. Umat muslim cukup meyakini satu Tuhan, karena Nabi dengan tegas menyatakan bahwa Ia adalah manusia biasa bukan sebagai Ilahi yang harus di sembah. Berbeda dengan agama lain yang pada umumnya terjebak pada sembahan tokoh-tokoh pendirinya.
Sebagaimana diungkapkan Ernest Gellner diantara tiga agama monoteis yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, hanya agama Islam yang paling dekat dengan modernitas. Hal itu dibuktikan dengan kualitas ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis Nabi yang memiliki semangat akademisi (scholary). Jadi sebagai anak muda dan mungkin seperti yang diharapkan Cak Nur, kita semua harus bisa menumbuhkan semangat riset, bukan untuk mempertanyakan hal di luar nalar, akan tetapi untuk membangkitkan semangat scholary dalam tubuh umat muslim.
Komentarnya gan