KOTOMONO.CO – Hidup ini keras. Adigium ini sudah sering kita dengar. Bahkan, saking seringnya kita dengar, adigium ini nyaris menjadi semacam aksioma.
Biar begitu, sekeras apapun hidup, sebenarnya selalu ada sisi lain yang membuat hidup terasa begitu lunak. Ini terjadi pada seorang kawan SD saya. Dulu, ketika masih duduk sebangku di SD, kami selalu bermain bersama. Tak pandang waktu, tak pandang cuaca.
Hari-hari itu terasa begitu menyenangkan. Apalagi, selalu saja ada yang kami bagi. Tak jarang kami makan bersama. Walau lauknya seadanya.
Dan, waktu lantas menumbuhkan kami. Perjalanan kami selanjutnya agak membuat hubungan kami merenggang. Lebih-lebih karena sekolah kami berbeda. Kesempatan untuk bermain bersama pun semakin berkurang. Masing-masing kami juga punya kawan-kawan baru.
Meski begitu, kesempatan untuk bertemu masih selalu ada. Maklum, kami tinggal di kampung yang tak terlalu berjauhan. Kami tinggal dalam satu desa.
Barulah ketika kami beranjak mendewasa, kami terpisah. Saya memutuskan untuk hengkang dari kota kelahiran. Sementara kawan saya, masih saja di kota ini. Perbedaan di antara kami pun kian meruncing. Ia memutuskan menjadi seorang pekerja serabutan. Saya, masih terlalu takut untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Saya pura-pura bersekolah. Jadi mahasiswa ceritanya.
Singkat cerita, setelah masa perantauan saya habis, saya putuskan pulang kampung. Di masa-masa awal saya tinggal lagi di kampung halaman, saya mendapati pemandangan yang cukup membuat rasa prihatin saya terusik. Terutama, ketika menyaksikan perubahan yang terjadi pada kawan SD saya itu.
BACA JUGA: Pendidikan dan Strategi Mendorong Perempuan Berkemajuan
Ia benar-benar bukan seperti yang dulu. Polos dan menyenangkan. Sekarang, ia telah mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang membuat saya merasa kasihan padanya. Hampir tiap malam, dari mulutnya menyebarkan aroma alkohol. Hampir tiap malam, ia habiskan waktu dan uangnya di atas meja judi.
Sebagai seorang teman, saya merasa prihatin. Tetapi, saya tak bisa berbuat banyak. Apalagi itu sudah menjadi pilihannya.
Cukup dilematis juga. Di satu sisi, perubahan itu membuat kami cukup berjarak. Di sisi lain, saya masih merasa hubungan pertemanan itu tak semestinya terputus begitu saja. Satu-satunya jalan, saya harus menerima kenyataan itu dengan terbuka.
Hingga pada suatu kesempatan, saya mendapati sebuah peristiwa yang ajaib. Malam itu, saya diajak seorang kawan yang kebetulan seorang ustaz ke rumah seseorang. Saya tidak tahu, siapa.
Sampai di halaman rumah itu, saya diminta sebentar menunggu. Tak lama kemudian, kawan saya yang ustaz itu menyilakan masuk. Segera saja saya ikuti saran kawan saya itu.
Begitu memasuki ruangan yang sederhana itu, saya dan beberapa teman yang duduk bersila di atas karpet menyaksikan orang-orang tengah duduk-duduk di dalam ruangan yang kami masuki itu. Wajah-wajah mereka tampak asing bagi saya. Tak satu pun yang saya kenal.
BACA JUGA: Jika Kita Bisa Memilih, Pengennya Jadi Anak Pertama, Tengah, atau yang Bontot?
Namun, ketika pandangan mata saya tertuju pada sudut belakang ruangan itu, saya mendapati sosok yang bagi saya sudah tak asing lagi. Ia begitu sibuk menyiapkan segala keperluan untuk menjamu tamu-tamu yang duduk-duduk di ruangan itu. Termasuk saya dan teman-teman.
Sambil membawa cangkir-cangkir berbahan alumunium dengan baki, sosok itu kemudian mengangsurkan cangkir-cangkir itu kepada semua tamu. Dan rupanya, sosok itu adalah kawan SD saya dulu. Sebentar dia tersenyum dan saling sapa. Kami bertukar kabar dan sedikit cerita.
Ia katakan, sudah beberapa tahun terakhir ini ia ikut ngenger di sini. Di rumah Pak Kiai. Sontak, saya kaget plus senang. Kaget, karena dulu ia tidak begini. Senang, karena ia telah berubah.
Tetapi, ada yang lebih membuat saya kaget lagi. Ternyata, kawan saya yang ustaz itu membawa saya ke kediaman seorang Kiai. Ini sungguh di luar dugaan. Saya tak pernah membayangkan akan sampai di sini.
Maklum, dulu, saya punya anggapan kurang baik tentang sosok Kiai. Waktu itu, saya memandang sosok Kiai sebagai sosok yang horor. Saya takut, kalau-kalau semua dosa saya dibaca beliau dan saya akan dicampakkan sebagai seorang pendosa.
Tapi apa boleh buat, saya sudah ada di dalam ruangan itu. Mana mungkin saya keluar begitu saja dan pulang tanpa pamit. Ya sudah, saya hanya bisa manut.
BACA JUGA: Tiga Kata yang Sering Digunakan Sebagai Dalih untuk Bersikap Kurang Baik
Tak lama, Pak Kiai muncul. Beliau hanya berkaos oblong dan sarungan. Sampai-sampai saat itu saya tak tahu kalau beliau itu Pak Kiai. Makanya, sikap saya saat itu biasa saja. Nyaris bisa dibilang ‘kurang ajar’.
Baru saya tahu, ketika obrolan sudah berlangsung agak lama. Dan cilakanya, saya masih saja bersikap biasa saja. Hampir-hampir tak memperlihatkan sikap hormat kepada beliau. Maklumlah, saya memang bukan orang yang cukup tahu bagaimana tradisi orang-orang saat berhadapan dengan seorang Kiai.
Tapi, sungguh di luar ekspektasi, sosok Pak Kiai yang saya temui malam itu membuat cara pandangku seketika rontok. Beliau, Pak Kiai, memberikan sebuah pandangan baru pada saya tentang siapa dan bagaimana seorang Kiai. Sangat berbeda. Beliau begitu humble. Low profil dan sangat mau diajak ngobrol tentang apa saja.
Dan, dari kisah beliau pula saya akhirnya mengetahui, bagaimana kawan SD saya itu berubah. Bahkan, kini, kawan saya itu menjadi salah seorang santri andalan Pak Kiai. Terutama, ketika Majelis Taklim Al Maliki yang diasuh Pak Kiai itu sedang punya gawe. Kata Pak Kiai, kawan saya yang semula pemabuk dan penjudi itu kini lebih memilih tinggal di Majelis Taklim. Dan, itu didukung penuh oleh istrinya. Malah, anak-istrinya kerap diajak mengikuti kegiatan rutin di Majelis Taklim Al Maliki.
BACA JUGA: Review Film Losmen Bu Broto
Mendengar kisah itu, rasanya saya malu. Sebab, saya sampai saat ini belum bisa seperti kawan SD saya itu. Saya masih belum sepenuhnya berubah, sebagaimana yang dialami kawan saya itu. Tetapi, setidaknya saya ikut senang dan berbahagia menyaksikan perubahan besar dalam diri kawan saya itu. Saya sangat menghormati kegigihannya dalam mengubah dirinya itu.
Ya, hidup memang keras. Ketika dalam keadaan terperosok, kita akan menganggap hidup tak memihak pada keinginan kita. Pun ketika kita hendak melakukan sebuah perubahan besar dalam hidup, kita mesti berusaha keras untuk menempuh jalan terjal. Sesusah apapun itu, mesti kita lalui.
Komentarnya gan