Kotomono.co – Tembang macapat merupakan salah satu jenis tembang (lagu) yang menjadi warisan budaya tak benda di Indonesia. Tembang ini terdiri dari 11 macam, dan umumnya dikenal di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Tentu saja masing-masing daerah memiliki gaya yang khas dalam melagukan tembang macapat ini.
FYI, terdapat 2 jenis tembang selain macapat, yaitu tembang gedhe dan tembang tengahan. Yang termasuk jenis tembang gedhe contohnya adalah: Pamularsih, Lebdajiwa, Nagabanda, dan lain-lain. Sedangkan untuk jenis tembang tengahan ada Balabak, Wirangrong, Juru demung, dan lain-lain. Kedua jenis tembang ini lazimnya dikenal secara terbatas di kalangan tertentu saja, seperti seniman pedalangan dan kaum priyayi keraton.
Kembali ke tembang macapat yang diajarkan di sekolah mulai dari level SD hingga SMA, saya sering menjumpai murid-murid yang kesulitan dalam memahami 11 macam tembang macapat. Apalagi untuk membedakan karakteristik dari masing-masing metrum tersebut. Maka untuk memudahkan pemahaman perlu penjelasan step by step seperti berikut:
Metrum dan Pakem (Aturan Wajib) Tembang Macapat
Tembang macapat terdiri dari 11 metrum yaitu: Mijil, Maskumambang, Kinanthi, Sinom, Durma, Asmarandana, Gambuh, Dhandhanggula, Pangkur, Megatruh, dan Pucung; seperti tercantum dalam tabel di bawah ini:

Untuk mengenali masing-masing metrum bisa dilihat dari 3 aturan wajib atau biasa disebut dengan pakem. Ketiga pakem tersebut adalah guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan. Guru gatra merupakan jumlah baris dalam setiap bait; guru lagu adalah jatuhnya suara vokal di akhir setiap baris; sedangkan guru wilangan adalah jumlah suku kata dalam setiap baris. Agar lebih mudah dalam memahami pakem tersebut, mari kita perhatikan contoh tembang pangkur berikut:
Tembang di atas disebut pangkur karena memenuhi 3 aturan wajib berupa guru gatra, guru lagu serta guru wilangan. Jika sampeyan bandingkan tembang ‘Taruna Kang Utama’ tersebut dengan tabel metrum tembang macapat, maka akan terpampang bahwa guru gatranya ada 7 baris, dengan guru lagu a-i-u-a-u-a-i; serta guru wilangannya 8-11-8-7-12-8-8. Dari ketiga hal tersebut jelas bahwa tembang tersebut bermetrum pangkur.
Lalu bagaimana jika ada salah satu aturan wajib yang tidak terpenuhi? Misalkan saja di baris pertama dimodifikasi menjadi ‘prayogane para taruni’, maka guru lagunya berubah menjadi i dan guru wilangannya bertambah menjadi 9 suku kata. Jika ini yang terjadi maka keseluruhan bait tersebut ‘hanya’ akan menjadi geguritan atau puisi, alih-alih sebagai tembang pangkur. Hal ini juga berlaku untuk 10 macam tembang macapat yang lain.
Aturan Sunnah Tembang Macapat: Purwakanthi
Selain 3 aturan wajib tadi, tembang macapat juga memiliki aturan sunnah. Artinya aturan yang lebih baik jika terpenuhi, namun boleh juga tidak dipakai. Aturan yang dimaksud adalah purwakanthi guru swara, purwakanthi guru lumaksita, dan purwakanthi guru sastra.
Secara harfiah purwa berarti awal, dan kanthi bermakna menggandeng atau mengikuti. Maka purwakanthi berarti menggandeng atau mengikuti kata sebelumnya. Menurut Mulyono Atmosiswartoputra dalam buku Unsur-unsur Budaya dalam Babad Sekaten (2021:21), purwakanthi adalah permainan alunan bunyi yang sama pada beberapa kata dalam suatu kalimat yang dipergunakan agar kalimat tersebut menjadi lebih indah.
BACA JUGA: Layang Kanggo Sekar
Purwakanthi guru swara adalah purwakanthi yang memiliki persamaan dalam bunyi (asonansi) huruf vokal. Purwakanthi guru sastra merupakan purwakanthi yang memiliki persamaan huruf konsonan di awal, tengah, ataupun di akhir kata. Sedangkan purwakanthi guru lumaksita adalah pengulangan sebagian atau seluruh kata dalam rangkaian kalimat.
Agar lebih jelas, mari kita perhatikan contoh tembang pucung berikut ini:
Satu bait tembang pucung di atas mengandung 3 jenis purwakanthi dengan lengkap. Dalam satu kalimat ‘Tunggulwulung kaloka tulung-tinulung’ saja terdapat pengulangan bunyi vokal u sebanyak 8 kali. Itulah yang disebut purwakanthi guru swara.
Masih di baris pertama, kalimat tersebut juga mengandung pengulangan bunyi konsonan ng sebanyak 4 kali, dan bunyi konsonan L sebanyak 5 kali. Ini merupakan contoh sempurna dari purwakanthi guru sastra.
BACA JUGA: Cara Mudah Belajar Membaca dan Menulis Aksara Jawa Nglegena
Sedangkan purwakanthi guru lumaksita diwakili oleh bersambungnya bunyi di akhir sebuah baris dengan bunyi di awal baris berikutnya. Bunyi lung di akhir baris pertama disambung dengan bunyi lu di awal baris kedua. Bunyi ya di akhir baris kedua dilanjutkan dengan bunyi gya di awal baris ketiga. Demikian juga dengan bunyi sesami di akhir baris ketiga disambung bunyi sami di awal baris terakhir. Ini adalah contoh yang paripurna dari purwakanthi guru lumaksita.
Tembang Macapat, Sebuah Sastra Kang Sinandi
Hal unik berikutnya tentang tembang macapat yaitu sastra kang sinandi. Artinya adalah karya sastra yang menyimpan sandi-sandi rahasia. Dalam hal ini tembang macapat boleh lah diadu dengan kode-kode rahasia dalam cryptexnya Da Vinci Code. Tak percaya? Coba perhatikan sebait tembang pucung berikut ini:
Sebuah tembang macapat bisa saja memuat angka tahun penyusunannya tanpa perlu ditulis secara eksplisit. Hal ini bisa dilakukan dengan memuat kode sengkalan dalam baris-baris syair tembang. Contohnya kalimat kerta suwung nir sikara warsa iku memiliki arti harfiah sukses tanpa satupun halangan di tahun itu. Namun selain itu juga menyimpan makna ganda berupa sengkalan, yaitu kerta = 4, suwung = 0, nir = 0, dan sikara = 2. Jika dirangkai akan menunjukkan angka tahun 2004, tahun ketika tembang tersebut ditulis.
Jika mengamati sandi berupa sengkalan saja sudah sedemikian seru dan mengasikkan, coba sampeyan tamatke tembang pangkur Taruna Kang Utama di awal tadi. Di situ sampeyan akan menjumpai nama si pengarang melalui permainan huruf konsonan dan vokal di awal setiap barisnya.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai tembang macapat. Semoga bisa menambah wawasan tentang warisan budaya kita, dan semoga bermanfaat.
Tulis Komentar Anda