KOTOMONO.CO – Saat senggang dan gabut nggak ketulungan, atau sengaja menyempatkan diri diam sejenak, saya akan menjadi pengamat dadakan. Duduk di teras rumah sembari plonga-plongo memegang HP. Tiba-tiba, saya mendengar keributan dari dalam rumah tetangga saya. Nggak usah mikir aneh-aneh, itu cuma perdebatan kecil ibu dan anak yang nganyang (menawar) saat diberi uang koin alias receh.
Sewaktu saya kecil, anak-anak menerima begitu saja ketika diberi uang receh. Mungkin karena saat itu nilainya besar juga, beda dengan sekarang ini. Uang Rp500 sama dengan satu jenis jajan. Di zaman saya SD, dengan nilai uang yang sama saya bisa makan satu porsi soto (versi kantin sekolah) beserta gorengan.
Tidak berbeda jauh dengan anak kecil saat ini, pengemis yang datang ke rumah-rumah juga kerap mengekspresikan ketidaksukaannya dengan uang receh. Meskipun tidak terus terang menolak, gesture tubuh dan mimik mukanya menyiratkan keberatan hati. Apalagi kalau recehnya pecahan Rp100 dan Rp200. Ada yang kecap (mengatakan ‘ck), dan menghela nafas.
Untungnya, keadaan bisa berbanding terbalik dalam beberapa momen. Uang receh masih menjadi primadona dan rebutan ketika diberikan secara cuma-cuma dalam beberapa tradisi wong Batang. Lebih khususnya, di daerah saya, Batang yang berbatasan Pekalongan. Bisa jadi wong Batang bagian lain nggak relate.
Dundunan
Dundunan, atau biasa juga disebut dengan bancakan dan tedak siten adalah rangkaian prosesi adat tradisional masyarakat Jawa ketika anak kali pertama melangkah. Secara bahasa, tedak artinya turun (mudun), siten (siti) berarti tanah. Biasanya tradisi ini dilakukan saat bayi berusia tujuh bulan.
Di daerah saya, tradisi ini identik dengan bubur cocoh dan bancakan (biasa juga disebut sawuran atau udik-udikan). Setelah bubur cocoh atau bubur cenil dibuat dan dibagikan ke tetangga, prosesi selanjutnya adalah memasukkan bayi ke dalam kurungan ayam yang diisi berbagai barang. Hal itu sebagai simbolisasi bayi bisa memilih apa yang dia inginkan untuk menjadi apa ketika dewasa kelak.
Secara umum, prosesi ini sebenarnya disertai dengan banyak hal. Namun, tampaknya sudah luntur dan hanya dilakukan beberapa pihak saja dengan bantuan event organizer. Nah, puncaknya adalah sawuran sejumlah uang dan beberapa barang lain untuk orang-orang yang datang. Biasanya sawuran orang kampung cenderung didominasi dengan uang koin.
Sunatan
Sunat atau khitan di daerah saya tidak dilakukan begitu saja. Tidak sesimpel pergi ke dokter kemudian pulang menunggu sembuh. Biasanya saat anak dikhitan, keluarga akan menyiapkan beberapa jajanan tradisional.
Orang tua kerap menyebut jajan sunatan ini sebagai arang-arang kambang. Isinya berupa ketan hitam dengan topping kelapa dan kinco, bubur abang putih, bubur sumsum, bubur sandung (bubur tepung beras dengan biji salak) dan jedah pasar yang diisi dengan jajanan pasar secara random seperti aneka snack.
Saat prosesi khitan selesai, arang-arang kambang tadi akan dibagikan bebarengan dengan sawuran. Lagi-lagi, uang koin mendominasi dan diperebutkan banyak orang.
Mantenan
Seperti yang sudah kita ketahui, prosesi adat tradisional pernikahan masyarakat Jawa cenderung panjang dan mengandung makna. Mulai dari proses pasang tarub atau tratag, srah-srahan, siraman, midodareni, ijab kabul, temu manten, sungkeman, hingga ngunduh mantu atau balik kloso.
Masyarakat Batang saat ini cenderung mengambil beberapa prosesi inti saja. Selain karena meringkas biaya, estimasi waktu juga diperhitungkan karena proses adat yang lengkap membutuhkan waktu yang cukup panjang. Lah gimana ya wong cuti dari perusahaan aja nggak bisa lama-lama.
BACA JUGA: Panduan Menggunakan Partikel Kata We, Si, dan Pog Asli dari Kabupaten Batang
Tapi sekalipun proses adatnya dipersingkat, wong Batang daerah saya tidak meninggalkan tradisi bancakan mantenan. Biasanya bancakan dilakukan setelah prosesi ijab kabul selesai. Pasca akad, kedua mempelai akan melakukan sesi foto dan ketika orang berkumpul, mempelai laki-laki dan perempuan secara bersama membagikan atau nyawurke uang koin.
Rabu Pungkasan
Disebut juga Rebo Wekasan adalah hari Rabu terakhir di Bulan Safar kalender Jawa atau Hijriah. Mitosnya, dalam bulan itulah orang-orang perlu mengadakan ritual untuk menolak kesusahan atau kesialan pada bulan-bulan selanjutnya.
Di beberapa daerah, tradisi Rabu Pungkasan dilakukan dengan cara yang berbeda. Di Banten dan Tasikmalaya, tradisi ini dilakukan dengan melaksanakan shalat khusus bersama. Di Banyuwangi, Rabu Pungkasan diperingati dengan mengadakan tradisi petik laut di Pantai Waru, Doyong. Ada juga dengan cara makan nasi yang dibuat secara khusus di tepi jalan.
BACA JUGA: Tentang Angkernya Jalur Tengkorak Alas Roban Batang
Berbeda dengan dua daerah tadi, Rabu Pungkasan di daerah saya diperingati dengan menggelar doa bersama di musholla pada malam Rabunya. Selain itu, orang-orang tiap rumah juga secara bergantian sawuran. Bayangkan , satu gang saja berisi puluhan rumah dan sawuran dilakukan bergiliran. Anak-anak akan lari dari timur ke barat dan sebaliknya untuk mendapatkan uang koin.
Selain empat tradisi tadi, masyarakat di daerah saya kadang juga melakukan sawuran uang koin ketika ada kematian. Sawuran dilakukan saat mengantar jenazah ke makam dan tepat di perempatan jalan.
Namun, dalam masyarakat kami, sawuran biasanya dimaknai sebagai tanda syukur atas sesuatu yang terjadi. Meskipun hanya berupa sejumlah uang kecil (uang koin receh). Maka saya tidak heran ketika putusan pengadilan perihal sidang cerai tetangga saya dikabulkan, dia lantas mengadakan sawuran.
komentarnya gan