KOTOMONO.CO – Video viral matahari yang terbit di utara itu bikin saya perlu mengapresiasi Bapak guru yang sempat merekam peristiwa itu.
Pertama, dengan video itu, beberapa lembaga resmi ikut mengomentari video viral itu, seperti BMKG dan LAPAN. Dua lembaga resmi ini akhirnya angkat bicara dan meluruskan klaim si perekam video itu, bahwa kejadian matahari terbit di sebelah utara adalah kejadian alam biasa. Tidak ada kaitan langsung dengan tanda-tanda kiamat, sebagaimana diklaim oleh si perekam video yang notabene guru di MAN Binamu Jeneponto itu.
Artinya, kehadiran BMKG dan LAPAN ternyata sangat diperlukan masyarakat. Terutama untuk memberikan informasi-informasi yang berkenaan dengan gejala alam. Sebab, tidak bisa dipungkiri, bahwa kebiasaan untuk mengamati dan menggauli alam nyaris sudah hilang di masyarakat. Utamanya, masyarakat perkotaan.
Kedua, Pak guru ini membuka mata saya lebar-lebar. Bahwa ternyata, dunia pendidikan kita masih memiliki segudang masalah. Utamanya, berkenaan dengan budaya literasi.
Ketika hasil rekaman video itu diunggah, sejumlah netizen berkomentar, bahwa sebenarnya kejadian itu lumrah. Malah, sudah menjadi bagian dari materi pelajaran di sekolah. Tetapi, pengakuan polos Pak guru yang memvideokan peristiwa itu justru menganggapnya sebagai keanehan. Parahnya lagi, dia mengaku baru menyaksikan peristiwa itu.
BACA JUGA: Perjalanan Menegangkan Saat Membelah Hutan Petungkriyono
Artinya, pengakuan polos Pak guru ini secara implisit ingin menyampaikan kepada publik agar senantiasa mengamati kejadian-kejadian alam. Ajakan ini sangatlah bagus. Dengan membiasakan diri mengamati setiap kejadian alam, orang akan dekat dengan alam. Sehingga, tidak kagetan. Kalau dalam falsafah orang Jawa, kita mengenal pepatah, “dadi wong Jawa iku aja gumunan, aja kagetan, aja getunan (jadi orang Jawa itu jangan gampang terheran-heran, jangan kagetan, jangan mudah merasa kecewa)”.
Kebiasaan mengamati kejadian alam juga akan melatih kita menjadi seorang pembaca fenomena alam yang baik. Apalagi, jika setiap hasil pengamatan itu kita tulis dan dijadikan sebagai bahan riset. Seperti yang dilakukan oleh para filsuf zaman dulu dan para saintis di masa kini, mereka setiap waktu mencatat kejadian-kejadian alam. Kemudian, membuat serangkaian analisis dengan menggunakan metode-metode keilmuan tertentu. Lalu, jadilah teori atau rumusan tertentu pula. Dengan begitu, pengamatan atas kejadian alam merupakan bagian dari tradisi literasi.
Ketiga, keberanian Pak guru membuat klaim, bahwa kejadian itu ada kaitannya dengan kiamat. Klaim itu disampaikan dengan ungkapan begini, “Jadi, ini kalau kita sebagai orang beriman, selaku orang muslim, ya dimana kita biasa dengar ada peringatan dari Rasulullah Muhammad SAW bahwa salah satu tanda daripada akan terjadinya kiamat adalah ketika matahari sudah terbit di sebelah barat dan terbenam di sebelah timur. Ah, sepertinya dengan situasi yang kita lihat pada pagi ini, adalah merupakan satu isyarat bahwa satu waktu nanti matahari akan terbit di sebelah barat. Karena sekarang sudah berada di sebelah utara ya ini saya kira.”
Memang, klaim itu berkesan berlebihan. Dalam pandangan sains yang telah disepakati, peristiwa matahari terbit dari arah utara adalah hal umum. Maka, klaim yang disampaikan Pak guru itu menjadi keliru dan dianggap mengada-ada. Apalagi, dasar pengambilan klaim itu masih sangat terbatas. Referensi yang digunakannya pun masih perlu diulas secara mendalam.
Namun, dengan klaim ini pula, sepertinya Pak guru yang satu ini sedang mengajak semua orang yang peduli dalam urusan keilmuan untuk ramai-ramai membuat riset. Tujuannya, untuk membuktikan kebenaran klaim tersebut. Apakah gerak semu tahunan matahari ini berkaitan dengan tanda-tanda kiamat atau tidak?
Boleh jadi, Pak guru yang satu ini memiliki pemikiran yang melampaui zamannya. Pemikirannya jauh melesat cepat ke depan. Sampai-sampai sulit terkejar. Karena saya—dan mungkin Anda—barangkali saja pengetahuannya masih sangat dangkal. Buku-buku yang saya—atau mungkin juga Anda—baca masih sangat terbatas. Kemauan untuk meriset pun belum seberapa, sehingga tak cukup mampu melesatkan pikiran secepat itu.

Jadi, saya bersyukur ada Pak guru yang mau berbagi pengalamannya dan diungkapkan dengan—semoga saja—sikap jujur sejujur-jujurnya. Mengapa saya katakan “semoga saja”? Karena di era serba digital ini, sebagian orang kadang membuat hal-hal semacam itu demi menaikkan popularitas pribadinya. Membuat berita-berita yang penuh sensasi dan kontroversi demi banyaknya jumlah viewer di youtube atau platform-platform sejenis. Tanpa memedulikan apakah itu akan menyesatkan cara berpikir orang atau tidak.
Tetapi, dugaan saya, Pak guru ini jujur. Beliau tidak dalam rangka agar dirinya menjadi viral. Itu murni ungkapan kekaguman seorang guru yang baru kali pertama—mungkin—menyaksikan matahari terbit di sebelah utara.
Hanya saja, beliau sedikit agak teledor. Mungkin lupa atau sedikit gugup, sehingga ketika membuat klaim semacam itu disampaikan secara spontan. Padahal, klaim semacam itu tidak mudah dibuat. Masih sangat diperlukan serangkaian penelitian yang komprehensif. Perlu kehati-hatian. Apalagi kedudukan beliau sebagai seorang guru.
Sebagai guru, tentu beliau juga menjadi panutan murid-muridnya, karena kekayaan pengetahuannya. Dengan pengetahuannya, guru juga seorang ilmuwan karena guru senantiasa mengamati setiap gejala. Baik itu gejala alam maupun gejala sosial budaya. Maka, di tengah-tengah masyarakat, guru juga dipandang sebagai tokoh masyarakat.
Keempat, Pak guru yang satu ini sebenarnya membuka kesadaran seluruh bangsa ini untuk kembali menggali pengetahuan yang diwariskan oleh masa lalu. Seperti saya katakan tadi, kemajuan teknologi rupanya membuat kita kerap terheran-heran. Begitu kita ketemu dengan suatu kejadian—entah sengaja atau tidak—kita akan sesegera mungkin merekamnya dan membuat simpulan-simpulan atas kejadian itu.
Kemajuan teknologi telah membuat kita silau. Sampai-sampai lupa mempelajari apa-apa yang sudah dirumuskan oleh leluhur-leluhur kita. Baik itu dalam bentuk kisah maupun dalam bentuk-bentuk lainnya. Apa yang ditinggalkan dan diwariskan oleh masa lalu, acap kali kita anggap sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman. Padahal, belum tentu.
BACA JUGA: Aa Gym, Tolong, Bedakan Antara Perempuan dan Kendaraan Bermotor!
Sebagai contoh, candi peninggalan Wangsa Syailendra yang dibangun di atas bukit, di tengah danau, Candi Borobudur. Dalam sebuah studi, candi itu diketahui adalah sebuah kalender raksasa. Ia menggunakan tiga sistem kalender sekaligus, sistem kalender solar, lunar, dan astronomi. Fungsinya, sebagai pemberi informasi mengenai tanda pergantian musim yang sangat berguna bagi pertanian dan kemaritiman.
Maka, candi itu dibangun dalam kurun waktu yang amat panjang. Dibutuhkan 100 tahun untuk menyelesaikannya. Karena untuk mengukur keakuratan peletakan tiap-tiap bagian berdasarkan pengamatan yang tidak sembarangan.
Ah, ya. Pak guru yang budiman ini sungguh-sungguh telah melecutkan kesadaran kepada seluruh bangsa ini, apa itu artinya literasi dan apa kegunaannya. Saya mendoakan, dan semoga saja diamini oleh seluruh bangsa ini, semoga segala kebaikan dan keberkahan umur panjang, kesehatan, dan rezeki terlimpah kepada beliau. Dan semoga, dunia pendidikan kita menjadi lebih baik, sehingga benar-benar dapat dirasakan manfaatnya lebih baik pula, demi kemajuan bangsa. Amin.
Discussion about this post