KOTOMONO.CO – Merasa familiar? Yap! Itu adalah judul puisi Kahlil Gibran, penyair asal Libanon. Beberapa kali saya membolak-balik halaman puisi itu. Mencerna kata demi kata dan sebanyak itu pula saya jatuh cinta. Sajak ini membawa saya mengingat kembali sebuah peristiwa.
Di bawah bayangan rerimbun daun pohon yang melindungi kulit dari sengat matahari, saya nongkrong di pinggiran jalan pantura yang padat. Sebuah janji tengah saya tagih. COD. Jarum jam pada arloji tak kenal kompromi, menjebak saya dalam perangkap kebosanan.
Ah, sembari menikmati rasa bosan itu pandangan mata saya edarkan ke segala arah. Mengamati setiap gerak di sekeliling. Lalu lalang laju mesin penggilas aspal, orang-orang yang berburu mimpi, dan semua yang hadir silih berganti.
Di seberang jalan, di antara laju kendaraan pengangkut barang yang berbadan besar, tatapan saya tertancap pada seorang Ibu dengan dua anaknya. Tangannya menggandeng kedua anaknya. Di kanan, ia genggam tangan mungil anak perempuannya. Agak kerepotan ia menuntun putrinya, lantaran sang anak tak mau berhenti menggerakkan badan. Sesekali tampak ingin melepaskan genggaman sang Ibu. Di kiri, seorang anak laki-laki dengan tubuh sedang tampak lebih tenang. Saya kira usia mereka tak terpaut jauh.
Mereka melintas di atas trotoar. Langkah kaki kedua anak itu terseok-seok mengikuti ibunya. Baju yang (maaf) kelihatan kumal dengan roman muka kusamnya menampakkan keletihan. Tampak betul keletihan itu. Apalagi jarak pandang yang tak terlalu dekat tersebut.
Tetapi, ada yang tiba-tiba menghentak dada saya. Ketika langkah mereka terhenti. Sang Ibu menghempaskan tangan mungil putrinya yang belia itu. Lalu, berjongkok melepas sandal yang tengah dikenakan putrinya itu. Tak cuma itu, dari gerak bibir dan nada suaranya, terdengar kalau sang Ibu kesal. Ia mengomel sejadi-jadinya. Menuding anak perempuannya salah dan bikin masalah.
Menyaksikan itu, rasanya hati seperti diiris-iris. Ngilu. Risih. Terbersit dalam benak, bagaimana kiranya perasaan gadis kecil itu.
Saya menghela napas sejenak. Mencoba sabar menyaksikan kejadian itu. Namun, tak bisa saya hindari, rasa kesal menghinggap. Bagaimana bisa Ibu itu membiarkan telapak kaki sang putrinya yang mungil itu terbakar panas aspal? Apa sebenarnya yang tengah dipikirkannya? Apakah ia tak memikirkan rasa perih pada kaki anak itu? Bagaimana pula jika kaki mungil itu menginjak benda tajam, atau bagaimana jika langkahnya mepet jalan raya yang ramai itu, serta bagaimana-bagaimana yang lainnya.
Ini bukan kali pertama. Peristiwa serupa kerap saya jumpai. Sampai saya sadar, saya sering kali tidak bisa memahami perilaku seorang ibu. Entah ibu saya, ibu teman saya, teman saya yang sudah menjadi ibu-ibu, atau ibu-ibu lainnya yang saya temui di pinggir jalan seperti cerita tadi.
Tidak ada sekolah untuk menjadi ibu yang baik, namun saya yakin semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
Dengan premis tersebut, tulisan ini saya buat sebagai bentuk protes saya untuk orang tua yang memperlakukan anaknya seperti tawanan, tidak pernah mengajak anak diskusi, terlalu permisif, memberikannya HP kapan pun asalkan dia tidak mengganggu pekerjaan orang tua, tak pernah meluangkan waktu untuk quality time, dan orang tua yang menitipkan anaknya dengan sembrono.
Sigmund Freud, pakar psikologi dalam aliran psikoanalisis memiliki teori bahwa kehidupan seseorang ditentukan oleh 6 tahun pertamanya. Jika dalam fase tersebut terdapat konflik yang belum terselesaikan, maka ketika dewasanya kelak masalah lain dapat terjadi. Walaupun yang seringkali dicontohkan Freud adalah masalah neurotik, teori Freud ini juga selaras pada pengalaman anak lainnya.
Misalnya, ketika dalam masa perkembangan anak sering mengalami pengabaian dari orang tua, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki rasa rendah diri amat tinggi.
Mari kita tarik beberapa garis waktu ke depan. Anak yang tidak memiliki kepercayaan diri, tumbuh kembangnya menjadi tidak optimal. Ketika teman sebayanya berani mengeksplor hal-hal baru, ia justru terkurung dalam ketakutan. Tidak berani berpendapat, takut membuat kesalahan, dan bersikap pasif. Menjadi lebih parah lagi jika tidak ada bantuan yang diberikan hingga rasa itu terus mengikuti tahapan perkembangan selanjutnya.
Tulisan ini bukan kampanye untuk tidak memiliki anak, namun saya mengajak pasangan suami-istri atau perempuan lebih khususnya, untuk berpikir lebih jauh sebelum memutuskan memiliki anak. Saya juga tidak sedang mendiskreditkan perempuan. Hanya saja, kebanyakan yang terjadi di daerah kita adalah perempuan memiliki lebih banyak waktu bersama anak. Mau tidak mau, mereka memiliki kesempatan yang lebih banyak (dibanding suaminya) dalam mengedukasi anak. Pun resiko lelah mengurus keperluannya. Apakah ibu-ibu tersebut baik-baik saja?
Kampanye pemerintah soal Keluarga Berencana (KB) saat ini bisa dikatakan cukup berhasil. Di daerah saya saja, di desa yang rerata pendidikan menengah, keluarga muda tak ingin repot memiliki banyak anak. Dua anak lebih baik, sungguh mereka amini. Tapi hanya sebatas itu Keluarga Berencana dalam kacamata mereka.
Jarak kelahiran anak dan kesiapan psikis orang tua tampaknya luput dari perhatian. Seringkali saya mendengar ibu itu kebobolan, ibu ini repot memiliki anak yang hanya terpaut satu dua tahun, atau ibu muda yang menitipkan anaknya agar diasuh orang tua. Sering juga anak dibiarkan bermain sendiri tanpa pengawasan orang dewasa.
BACA JUGA: Ganti TV Digital? Jangan Kuwatir, Katanya Ada Bantuan!
Saya tahu anak kecil kadang susah diatur dan banyak maunya. Belum lagi kesibukan dan pikiran orang tua yang tumpang tindih. Akan tetapi, mereka bagaikan kertas putih yang jika tercoret sedikit saja akan tetap membekas. Toh kelak, nanti dia akan tumbuh dan melewati hidupnya sendiri.
Maksudnya, orang dewasa tentu lebih paham bagaimana hidup itu sendiri berjalan, akan tetapi tidak serta merta berhak mengatur hidup anaknya. Maka dari itu, tidak hanya memikirkan segi finansial saja, namun juga keadaan psikologis dan edukasi anak nantinya. Jangan biarkan ketidaksiapan orang tua memiliki anak berdampak buruk pada tumbuh kembangnya.
Sebagai bekal untuk menjadi orang tua yang lebih baik, biarkan kutipan sajak Kahlil Gibran (yang relate bagi orang tua guna menyadari posisi dan jarak yang harus ia ambil untuk buah hatinya) ini mengisi hati kita.
Anakmu bukanlah milikmu,
Mereka adalah putra putri sang Hidup,
Yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
Tetapi bukan dari engkau.
Mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
Namun jangan sodorkan pemikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.