KOTOMONO.CO – Sengkarut kesejahteraan buruh hotel yang tak berdaya dalam menghadapi fleksibilitas kerja dan kerentanan ekonomi turisme ini sudah semestinya kita cermati bersama.
Berbagai destinasi wisata “unggulan” seperti di Bali, Yogyakarta dan daerah lainnya melalui konten media sosial digambarkan memiliki “kearifan lokal, kekayaan budaya,” serta diklaim memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Salah satu indikator yang digunakan untuk menunjukkan sumbangsih pariwisata terhadap kesejahteraan di daerah-daerah turisme adalah tingkat hunian kamar. Hal tersebut terkait dengan kapasitas suatu daerah turisme untuk menerima kedatangan wisatawan baik domestik maupun asing. Kunjungan wisatawan yang dilihat melalui keterisian kamar diklaim menunjukkan geliat perekonomian di daerah turisme.
Misalnya dapat dilihat dari kondisi terbaru pasca pencabutan kebijakan PPKM diklaim oleh pemerintah pusat bahwa ekonomi turisme di beberapa daerah sudah meningkat ditunjukkan dengan tingkat keterisian kamar mencapai 80-90% (setkab.go.id, 2023).
Kenyataannya di balik klaim janji kesejahteraan yang dilihat dari tingkat keterisian kamar, nasib buruh hotel yang menjadi bagian dari ekonomi turisme di destinasi wisata tak pernah disampaikan ke publik. Temuan Sanjaya, Sandang dan Satiani (2014) di salah satu hotel di satu daerah misalnya menemukan bahwa tidak semua buruh hotel mendapatkan ijin libur berbayar kala sedang melaksanakan tugasnya sebagai orang tua.
Pihak hotel tersebut mengklaim bahwa tidak menghalangi tugas buruhnya dalam pengasuhan anak asalkan tidak “melupakan tanggungjawab kerjanya.” Hotel tersebut juga belum memberikan pengaturan jam istirahat bagi buruhnya dengan baik dengan alasan pekerjaan mereka cenderung fleksibel sesuai dengan permintaan pelayanan dari tamu.
Konteks kerja fleksibel sesuai pesanan tamu itu pulalah yang menyebabkan buruh hotel seringkali harus bekerja melebihi jam kerja maksimum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Hal tersebut misalnya ditemukan di salah satu hotel yang dikaji Jayanti, Udiana, Pujawan (2017), di mana buruh hotel harus mengerjakan banyak pekerjaan di tengah jumlah pekerja yang sedikit.
BACA JUGA: Nestapa Ekonomi Tengkawang, Rakyat Ingin Sejahtera Kok Dihambat?
Pihak hotel tersebut hanya memberikan kompensasi berupa waktu istirahat makan lebih lama. Pihak hotel tersebut juga tak menyediakan pangan bergizi bagi buruh perempuan yang bekerja di malam hari, melainkan mengantinya dengan “uang makan” sesuai kontrak kerja.
Insentif yang diberikan oleh pengusaha hotel kepada buruhnya seringkali fluktuatif tergantung pada tingkat kunjungan tamu. Akibatnya kemampuan buruh untuk memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup juga sangat bergantung dengan tingkat kunjungan tamu.
Buruh hotel yang berasal lingkungan sekitar juga seringkali belum mendapatkan pembekalan yang memadai, sehingga berdampak pada kemampuan mereka dalam bekerja misalnya dalam temuan Herlambang, dkk (2021) di salah satu hotel.
Buruh di hotel tersebut terkadang kurang teliti dalam menyiapkan kamar. Misalnya dalam memastikan ketersediaan sabun, pasta gigi, dan lain-lain. Bahkan pernah juga terdapat keteledoran berupa kebersihan kamar.
Masalah seperti salah satunya dapat muncul dari kurang baiknya kerjasama antara buruh dari berbagai divisi. Buruh hotel tersebut kurang dapat bekerja dengan baik juga tak dapat dilepaskan dari jaminan kesejahteraan yang minim.
Persaingan untuk menjadi calon buruh hotel sebenarnya tidak mudah. Setidaknya ada tiga faktor yang pengaruhi kemungkinan calon buruh diterima bekerja di hotel (Sasongko dan Wijayati, 2014). Pertama, kelompok usia muda lebih disenangi daripada mereka yang berasal dari kelompok usia lainnya. Calon buruh berusia muda dianggap lebih kuat secara fisik dan dianggap telah memiliki tingkat pendidikan.
Kedua, kelompok perempuan dianggap lebih memiliki “keunggulan kompetitif” dalam perhotelan. Hal tersebut muncul stigma bahwa buruh perempuan lebih rajin, teliti dan tunduk pada peraturan serta atasan. Ketiga, tingkat pendidikan. Banyak mekanisme alih daya berkembang saat ini terutama disebabkan oleh kesempatan kerja yang terbatas dan pelamar kerja memiliki latar belakang pendidikan yang semakin tinggi.
Waktu kerja di hotel pada dasarnya berbentuk shift, bukan office hour (hanya berlaku bagi divisi keuangan dan pemasaran). Jadwal kerja di hotel tidak menentu, akibatnya buruh perempuan yang sudah menikah apalagi yang telah memiliki anak harus membagi waktunya dalam urusan rumah tangga, pengasuhan anak dan bekerja (Adiati, 2013).
BACA JUGA: Perihal Larangan Jual Rokok Ketengan, ini Cara Mengakalinya
Buruh perempuan yang masuk shift siang seringkali pulang malam saat anak dan suami sudah tidur. Buruh perempuan yang mendapat jadwal kerja pagi harus mengatur waktu sebelum berangkat menyiapkan sarapan dan keperluan lainnya bagi keluarga.
Kajian Adiati (2013) menunjukkan bahwa buruh perempuan yang mendapat shift siang seringkali mendapatkan kesulitan akses transportasi untuk pulang. Memang terdapat hotel yang menyediakan kendaraan dinas untuk mengantar pulang dengan mendaftar saat mereka mulai bekerja dengan lapor pada bagian keamanan. Hotel juga ada yang menyediakan kupon taksi bagi buruh perempuan yang pulang malam, apabila tak tersedia kendaraan dinas.
Pemodal ada yang “menyalahartikan” pemberian jaminan kesejahteraan kepada buruhnya sebagai corporate social responsibility (CSR) internal. Pemodal di hotel yang dikaji oleh Darmawan, Sanjaya, dan Rini (2020) memandang bahwa pemberian akses BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), membesuk buruh yang sakit, memberikan sumbangan kepada buruh yang sedang berduka cita, cuti hamil selama 3 bulan, pemberian dana khusus dan bingkisan kepada buruh yang menikah, berbagai pelatihan tiap 3 bulan sekali, dana khusus bagi minat olahraga buruh, serta beasiswa bagi anak kandung buruh hotel yang ingin melanjutkan pendidikan di bidang pariwisata sebagai “CSR Internal.”
CSR semestinya berbeda dengan insentif bagi buruh hotel disebabkan tanggungjawab sosial dan lingkungan yang dimaksud adalah “tetesan manfaat ekonomi” bagi masyarakat sekitar unit hotel.
BACA JUGA: Sebagai Warga Negara, Apa Salahnya Berkeluh Kesah?
Buruh hotel rentan pula dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak disebabkan pemodal ingin meningkatkan ekspansi modalnya. Misalnya temuan Mahbubi dan Suyatna (2013) terdapat pemodal salah satu hotel yang melakukan PHK sepihak kepada buruhnya dengan alasan “yang dibuat-buat,” padahal sebenarnya pemodal sedang berupaya melakukan pengembangan bisnis resort.
Buruh hotel tersebut tidak mendapatkan kejelasan alasan pemecatan, padahal regulasi ketenagakerjaan telah mengatur kondisi-kondisi yang memperbolehkan pemodal melakukan PHK.
Beberapa hotel di salah satu daerah destinasi wisata utama bahkan masih memiliki beberapa “buruh kontrak” yang bekerja selama lebih dari lima tahun, tetapi belum diangkat menjadi buruh tetap. Buruh kontrak hotel tersebut di daerah tersebut mendapatkan insentif berupa upah sesuai upah minimum kabupaten, uang makan dan uang transportasi per harinya, BPJS dan pelatihan terkait kebencanaan, dan waktu penyesuaian kerja dengan alat-alat yang digunakan saat bekerja (Putra, Udiana, Priyanto, 2018).
Buruh kontrak di hotel tersebut mengeluhkan belum adanya pengangkatan, namun pihak manajemen beralasan bahwa ketiadaan pengangkatan buruh tetap disebabkan “kuota telah penuh.” Buruh tetap memiliki insentif yang berbeda berupa gaji pokok, service charge, bonus, THR, dan tunjungan lainnya; sedangkan buruh kontrak hanya mendapat gaji pokok, tunjangan makan serta transportasi. Buruh kontrak pada hotel tersebut tak mendapatkan cuti berbayar.
BACA JUGA: Poin Penting Pola Asuh Anak Untuk Para Orang Tua Zaman Now
Pemodal hotel lainnya di daerah destinasi wisata yang sama justru menyalahkan faktor kelalaian buruh yang dianggap tak mengerti tata cara mengakses program jaminan hari tua, kala buruh hotel tersebut tak memiliki akses BPJS.
Di sisi lain, buruh hotel tak mengakses BPJS disebabkan mendapatkan mutasi ke unit hotel lainnya yang masih dikelola grup pemodal yang sama saat memerlukan tambahan pekerja. Akibatnya buruh tidak terdaftar dalam program jaminan hari tua (Wiyarta, Markeling dan Darmadha, 2018).
Buruh hotel berada dalam kerentanan pula sebagai akibat dari ekonomi turisme yang mudah tergoyahkan situasi eksternal seperti pandemi Covid-19. Hotel yang dikaji Ferdian dan Dinitri (2020) misalnya melakukan penyesuaian insentif kesejahteraan kepada buruh berupa gaji pokok bahkan setengah dari gaji pokok sebagai akibat dari berkurangnya pengunjung saat pandemi.
Buruh hotel tersebut sebenarnya tidak puas dengan insentif saat pandemi dan memiliki kekhawatiran mengenai masa depan penghidupan. Mereka memiliki kecemburuan sosial dengan PNS dan buruh BUMN yang relatif memiliki keamanan karir di tengah pandemi.
BACA JUGA: Masalah Stunting dan Hal-hal yang Perlu dipahami Masyarakat
Buruh hotel yang berada di salah satu daerah destinasi wisata yang banyak menggunakan mekanisme alih daya bahkan menghadapi kondisi yang lebih sulit. Buruh hotel tak hanya menghadapi pengurangan gaji bahkan ada sebagian dari mereka yang menghadapi PHK. Buruh yang biasanya mendapatkan service charge, kala pandemi tidak mendapatkannya.
Saat pandemi merebak bahkan mereka menghadapi pengurangan gaji mencapai 70% dari total gaji, baru setelah ada pelonggaran PPKM buruh hotel mendapatkan 50% dari total gaji.
Buruh kontrak mau tidak mau menerima kontrak kerja disebabkan mereka tak diangkat menjadi buruh tetap, apabila tak ada buruh tetap yang pensiun ataupun mengundurkan diri. Lama bekerja tak menjadi penentu dalam kontrak kerja, artinya saat kontrak kerja diperbaharui buruh harus memulai lagi kesepakatan yang baru (Sari, Dewi, dan Arthanaya, 2021).
Jangan sampai kita sebagai sesama rakyat terbuai dengan konten-konten yang terlalu melebih-lebihkan ekonomi turisme tanpa jujur dengan masalah penghidupan yang dihadapi oleh buruh-buruh di dalamnya. Jangan sampai kita merasa ingin dilayani untuk mendapatkan “refreshing,” tetapi di balik “rasa santai” kita sebenarnya ada buruh hotel yang belum tentu dapat menikmati kenikmatan yang anda nikmati.
Berikan komentarmu