KOTOMONO.CO – Mungkin benar, lupa itu anugerah. Minimal, ketika kita bisa melupakan mantan. Tetapi, bagaimana jika kita terlalu sering lupa? Wah, itu bisa saja musibah.
Lupa bisa menyerang pada siapa saja. Tak pakai pandang bulu. Tak pula kudu kenalan terlebih dahulu. Bahkan, seorang jenius seperti Albert Einstein pun dijuluki gurunya sebagai murid yang susah menghafal. Ia suka lupa nama, wajah, dan tanggal pertemuan.
Jadi, kalau menemui kawan yang suka lupa ya bersyukurlah. Artinya, kawan kita masih tergolong manusia. Asal bukan lupa saat ditagih utangnya saja.
Lupa, bisa diartikan sebagai hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengungkapkan kembali informasi yang telah diterima atau yang sudah dipelajari. Lupa berarti pula ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu (seperti informasi) yang pernah dipelajari atau dialami.
Saya sendiri sering kok lupa. Terutama lupa nama dan arah jalan. Bila saya pergi ke suatu tempat, jalan yang saya lalui saat berangkat masih bisa saya ingat. Begitu pulang, acap sekali saya bertanya-tanya sendiri jalan mana yang tadi saya lewati.
BACA JUGA: Tahap-Tahap Menuntut Ilmu Menurut Umar bin Khattab
Makanya, saya bisa tersesat jalan. Terpaksa pula harus membuka google maps atau nanya-nanya ke penduduk setempat. Sangat mungkin kelupaan yang saya alami itu karena nama dan arah jalan tersebut tidak saya simpan dengan baik.
Selain nama dan arah jalan, saya juga suka lupa saat belajar. Lupa hal-hal yang pernah pelajari sebelumnya. Umpamanya, saat membaca buku atau mendengarkan sebuah kajian di media sosial. Beberapa waktu setelah itu sama-samar saya lupa materi buku yang saya baca atau materi kajian dari yang saya dengarkan.
Tentu, rasanya geregetan saat sadar saya ternyata lupa. Apalagi kalau materi yang disajikan di buku atau kajian itu sangat menarik dan bermanfaat. Tapi, ya apa daya.
Saya memang belum mengetahui bagaimana untuk tidak lupa nama dan arah jalan. Akan tetapi, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir kelupaan kita terhadap suatu ilmu/pengetahuan yang sudah kita terima dan pelajari. Saya berusaha menerapkannya walaupun masih terseok-seok.
Pertama, mencatat. Dengan mencatat atau menuliskan materi yang dipelajari membuat otak kita secara tidak langsung merekam semua materi tersebut. Selain untuk mengingat informasi penting, kegiatan mencatat dapat membantu menemukan poin penting yang kita butuhkan dari sesuatu yang dipelajari.
BACA JUGA: Spirit Persaudaraan Antarbudaya Tersaji dalam Semangkuk Wedang Ronde
Ada yang mengatakan bahwa proses daya ingat seseorang yang mencatat lebih ampuh dibandingkan mereka yang sekadar membaca atau mendengar materi yang disampaikan. Ada pula anggapan bahwa seseorang yang memiliki catatan, tujuh kali lebih baik untuk mengingat materi seminggu yang lalu dibandingkan mereka yang tidak mencatat.
Kegiatan mencatat juga membuat kita menjadi efektif dalam membaca, lebih rinci, dan runtun. Hal itu akan mempermudah kita dalam mengolah data dan informasi, serta melatih daya analisis.
Kedua, menceritakan atau mendiskusikan kembali. Selain untuk membagikan pengetahuan kepada orang lain, mendiskusikan atau menceritakan kembali materi yang sudah dipelajari baik yang dibaca maupun yang didengar dapat melatih kita dalam mengembangkan daya serap, daya tangkap, daya pikir, konsentrasi, dan daya ingat.
Kegiatan ini pun sangat potensial untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dalam menyampaikan ide atau hal lain dalam bentuk lisan. Selain itu juga berguna untuk menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi yang muncul di pikiran.
BACA JUGA: Membayangkan Resolusi Tahun Baru di Dunia Metaverse
Ketika membaca buku atau mendengarkan kajian, kita sering sekali beimajinasi, bukan. Nah, imajinasi yang kita bangun tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan menyelesaikan masalah secara kreatif.
Dalam menceritakan atau mendiskusikan kembali apa yang telah kita pelajari, memungkinkan kita untuk mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru. Sudah barang tentu, dengan mengucapkan narasi kita sendiri yang didasarkan pada yang pernah dilihat, dibaca, didengar, dipahami, dan diinterpretasikan, kita berarti secara aktif membangun ingatan.
Ketiga, tentu dengan mengulang pembelajaran sebelumnya. Melakukan pembelajaran (seperti membaca dan mendengarkan) ulang terkait sesuatu yang sudah dipelajari menjadi semacam pengobat atas kelupaan terhadap materi yang sudah dipelajari.
Selain itu, mempelajari ulang dapat menjadi sarana pengoreksian untuk memperbaiki bahkan menambah pemahaman atas sesuatu yang kita pelajari, sekaligus untuk menghubungkan materi yang sudah dan yang akan dipelajari. Umpamanya saat kita membaca buku yang sama lebih dari sekali. Biasanya pemahaman yang didapatkan saat pertama kali membaca buku tersebut, tidak sama saat membaca untuk kedua kalinya.
BACA JUGA: Lakukan 4M dalam Belajar supaya Kamu Benar-benar Dapat Ilmunya
Mungkin ada yang harus mendengar atau membaca hingga berulang-ulang, baru kemudian bisa memahami materi yang dijabarkan. Karena itu ada pepatah mengatakan, suatu hal yang penting di dalam belajar bukan seberapa banyak buku yang engkau baca melainkan seberapa sering engkau mengulangi bacaannmu.
Demikianlah tiga hal yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir kelupaan atas suatu ilmu/pengetahuan dalam belajar. Jika tidak memungkinkan untuk melakukan tiga hal di atas, paling tidak salah satu di antaranya bisa kita terapkan agar ilmu/pengetahuan bisa benar-benar melekat pada diri kita.
komentarnya gan