KOTOMONO.CO – Sebuah ucapan terima kasih dari seorang murid cengeng yang kerap tertinggal pelajaran di kelas. Tanpamu, mungkin belajar tak akan se-menyenangkan ini.
Hari Guru Nasional yang selalu diperingati pada tanggal 25 November, pada tahun 2022 ini jatuh pada hari Jum’at. Sebuah hari yang penuh dengan keberkahan dan kebaikan. Di setiap peringatan Hari Guru Nasional ini tentu kita ucapkan banyak-banyak terima kasih pada para guru, sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang telah mengajari kita banyak hal.
Di antara semua guru yang pernah kutemui, barangkali salah satu yang namanya sangat berkesan dalam kehidupanku adalah Bu Astutik, seorang guru SD yang pernah mengajar sekaligus menjadi wali kelasku ketika masih duduk di kelas 1.
Dulu, aku masih terlalu belia untuk memahami betapa besar jasanya terhadap kehidupan pendidikanku sampai saat ini. Andai bukan karena hubungan antara guru dan orang tua wali murid yang kuat dan akrab, barangkali nama Bu Astutik tak akan memiliki kesan yang kuat dalam benakku.
Namun, kini aku sudah cukup dewasa, setidaknya usia di usia 20 tahun ini, aku sudah bisa memahami, betapa bantuan dan perhatian kecil yang diberikan padaku dari seorang guru dahulu, sangat berperan besar dalam kehidupanku di masa dewasa ini.
Mari memutar kenangan ke masa di mana aku masih seorang anak berusia 5 tahun yang duduk di bangku kelas 1 SD pada tahun 2007 silam. Oh, kalau dihitung-hitung lagi, sudah 15 tahun berlalu rupanya. Waktu yang cukup panjang untuk mampu memahami sebuah kebaikan ya…
Saat itu aku masih berusia 5 tahun, dan kalian tidak salah baca. Bisa dibilang, aku adalah siswa termuda di kelas waktu itu. Katanya, aku terlalu cepat memasuki bangku sekolah dasar, harusnya menunggu sampai usia 7 tahun atau seminimalnya 6 tahun.
Kata Ibu, aku masuk sekolah lebih cepat dari yang seharusnya karena teman-teman sepergaulanku sudah masuk SD lebih dahulu. Padahal, rentang usia antara aku dan mereka hanyalah 1 tahun, tetapi tetap saja hal itu memantik rasa kekhawatiran ibuku. Khawatir jika anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Aku cukup setuju dengan kekhawatiran itu, karena sejauh yang kumengerti saat ini, pemahaman dan usia memang sangat terkait. Semakin dewasa usia seorang anak, maka pemahamannya akan semakin baik pula. Aku kadang berandai-andai, jika saja aku masuk sekolah pada usia 7 tahun, akankah aku menjadi rangking 1 di kelas dan disegani banyak orang karena lebih tua?
BACA JUGA: Salah Guru Ya Kalau Kualitas Pendidikan Kalah Saing?
Kekhawatiran ibuku itu cukup terbukti di kelas 1 sampai aku naik ke kelas 2. Sejujurnya aku tidak terlalu ingat bagaimana aku menjalani kehidupan sekolahku di kelas 1, apakah aku termasuk pandai, apakah aku termasuk rajin, atau apakah aku termasuk anak yang pendiam. Aku tidak terlalu mengingatnya. Yang jelas, kelas 1 mampu kulalui dengan baik.
Hanya saja aku sangat ingat, bahwa sedari kelas 1 SD itu , label cengeng sudah diberikan padaku. Barangkali karena usiaku adalah yang paling muda di kelas sehingga menyenangkan untuk dijaili.
Barulah, ketika aku sudah memasuki kelas 2 SD sosok Bu Astutik menjadi sangat kuingat, bahkan sampai saat ini. Kecengengan masih melekat dalam diriku, bahkan ketika aku sudah naik kelas. Wali kelas yang baru nampaknya tidak sesabar itu dalam menghadapi tangisanku.
Lebih-lebih lagi aku menangis bukan saja karena dijaili, tetapi sering pula karena tertinggal ketika guru tengah mendiktekan pelajaran untuk kutulis. Menurutku, beliau membaca dengan cukup cepat, sehingga aku sering tertinggal untuk ketika sedang mencatatnya. Tentunya ketika aku bertanya pada siswa lain, ia juga sama sibuknya menyimak dan mencatat apa yang dibaca oleh guru.
BACA JUGA: 4 Kelompok Pelajaran yang Perlu Kamu Kuasai untuk Jadi Guru
Lagi-lagi, yang bisa kulakukan hanya menangis. Menangis karena tertinggal pelajaran, menangis karena takut dimarahi, menangis karena tidak dibantu oleh teman, menangis karena tidak tahu harus apa. Hanya menangis saja yang bisa kulakukan.
Di tengah sesenggukan tangis itu, Bu Astutik yang harusnya mengajar di kelas 1 malah menghampirku di kelas 2 yang letaknya berada tepat di ruangan sebelahnya. Ya, mungkin memang sekeras itulah tangisanku, sampai-sampai bisa mengganggu kegiatan belajar di kelas sebelah. Bu Astutik membantuku mendiktekan materi itu, perlahan, dan aku pun bisa menuliskannya dengan baik.
Hanya secuil kenangan itu tentang Bu Astutik yang paling berkesan dalam ingatanku. Aku bahkan tak ingat bagaimana aku menjalani aktivitas sekolahku setelah kejadian itu, apakah wali kelasku di kelas 2 menjadi lebih sabar dalam menghadapiku, apakah ia mendiktekan pelajaran dengan lebih pelan agar semua siswa -termasuk aku- bisa mengikutinya?
Selebihnya, ingatan tentang Bu Astutik hanyalah kepingan-kepingan kejadian di mana aku berserta keluargaku, lalu salah seorang teman sekelasku dan keluarganya, bersama-sama berkunjung ke rumah beliau. Waktu itu beliau tengah sakit, dan seingatku tidak lagi mengajar di sekolah.
Tentunya aku tak bisa banyak mengingat kejadian itu, karena tidak banyak interaksi yang terjadi. Bu Astutik lebih banyak mengobrol dengan keluarga kami. Sedangkan aku dan teman sekelasku yang sama-sama masih anak-anak hanya bisa bermain-main bersama di teras.
Meski begitu, hubungan antara keluargaku dan Bu Astutik cukup –atau bahkan kalau boleh kubilang sangat dekat. Bahkan sampai saat ini, ketika beliau tidak lagi hidup di dunia ini. Mungkin salah satu alasannya adalah kepandaian Ibu dalam menjalin dan menjaga hubungan dengan orang-orang sekitarnya, hingga dapat awet selama 15 tahun lamanya.
Saat ini aku telah berusia 20 tahun, dan 15 telah berlalu dari masa di mana aku masih kelas 1 SD. Aku berpikir, andaikan diriku yang masih belia saat itu dimarahi karena tertinggal, menangis dengan nyaring di kelas, dan mengganggu kegiatan belajar siswa lain, jangan-jangan aku akan menjadi manusia yang benci belajar, benci menulis, dan benci menyimak. Mungkin, aku bahkan tidak akan tahan untuk berada di kelas karena merasa tidak dipedulikan, apalagi naik kelas.
Namun, untungnya kenyataan yang terjadi tidak demikian. Secuil perhatian Bu Astutik padaku Si Cengeng yang sering tertinggal di kelas, barangkali adalah salah satu penyebab aku bisa sejauh ini dalam dunia pendidikan.
BACA JUGA: Gaji Berlipat di Akhirat tapi di Dunia “Melarat” Si Guru Honorer
Walau masa SD kulalui dengan tidak mudah, nyatanya lulus juga. Walau masa SMP tidak berjalan sebaik yang kuduga, nyatanya berlalu juga. Walau masa SMK aku salah jurusan, nyatanya tamat juga.
Walau kini aku kuliah, lagi-lagi salah jurusan karena jalur pendidikan yang tidak linear, nyatanya menyenangkan saja ketika dijalani, hingga tanpa terasa saat ini sudah di semester 7 saja mengerjakan skripsi.
Bukan hanya dunia pendidikan, aku bahkan menekuni dunia literasi. tentang buku, aktivitas membaca, hingga belajar kepenulisan. Belajar menjadi kegiatan yang begitu menyenangkan, walau seringkali dalam memahami sesuatu, berjalan dengan tidak mudah.
Maka dari itu, aku ingin mengucapkan terima kasih yang teramat sangat pada secuil perhatian itu. Beserta doa, semoga amal dan kebaikan beliau semasa hidup menghantarkannya ke tempat terbaik di sisi Allah Swt. Amin.
Komentarnya gan