KOTOMONO.CO – Siaran Wedangan kali ini, sedikit rerasan soal pagebluk. Beberapa penelepon yang menghubungi kami di studio, sedikit mengupas masalah itu. Ya namanya juga masih musim pagebluk. Jadi wajarlah kalau ada obrolan soal itu juga.
Tapi, jangan salah. Di Wedangan, masalah pagebluk tidak dibahas dengan bahasa-bahasa yang seram dan terkesan menakut-nakuti seperti di berita-berita itu. Malah, obrolan khas Wedangan membuat masalah pagebluk itu menjadi sesuatu yang serba konyol dan kreatif. Lho… namanya juga Wedangan. Isinya ya orang-orang yang selalu menjaga ‘ketidakwarasannya’. Harus siap ngedan. Bahkan siap tidak dianggap waras.
Nah, penelepon pertama yang menyoal pagebluk itu namanya Ojan. Jelas itu bukan nama sebenarnya. Nama beken. Tapi ndeso! Ha ha ha ha! Dan memang Ojan itu orang desa. Malah, pucuk gunung sisan!
Dengan bahasa Jawanya yang mula-mula halus, ia berkelakar soal pagebluk. Katanya, gara-gara pagebluk nggak ada orang nyebar undangan. Entah itu nikahan, sunatan, atau yang lainnya. Pada takut. Bukan takut sama pagebluknya. Tapi, takut kalau disatroni polisi lalu dibubarkan.
Akibatnya, tak ada nasi berkat yang bisa buat sarapan. Ha ha ha ha! Jaan Ojan. Rupanya sampean itu tergolong kaum pemburu berkat. Sama seperti saya.
Lho lumayan loh kalau pas musim hajatan. Hampir tiap hari ada nasi berkat. Bisa ngirit. Minimal untuk sarapan, nggak harus beli nasi. Lha sekarang, selain harus beli nasi buat sarapan, isi dompet juga semakin menipis. Wah, kalau dibiarkan terus begini bisa ambyar!
Sama persis yang dikeluhkan Pakdhe Soleh, penelepon kedua yang menyoroti soal pagebluk. Bapak yang hobinya mancing ini pun mulai merasakan dampaknya. Dompet menipis. Sementara mau mancing juga aras-arasen. Sebab, untuk memancing ikan saja, ia tentu butuh asupan makanan supaya nggak masuk angin. Sekarang, ia mesti super irit.
Tapi, di balik keluh kesah bapak yang satu ini, ada kekhayalan yang menggelitik. Pakdhe Soleh tiba-tiba saja membayangkan sebuah adegan ijab kabul pernikahan. Dengan aturan jaga jarak dan nggak boleh salaman, kira-kira salamannya gimana?
Terbesit dalam benak Pakdhe Soleh. Salamannya diganti dengan tongkat. Penghulu dan mempelai pria sama-sama pegang tongkat. Lalu, ditempelkan satu sama lain. Tapi, gimana caranya memberi tanda bagi pengantin pria saat ia harus mengucapkan ijabnya? Kalau pakai salaman kan paling tinggal kasih tekanan. Lha ini? Pakai tongkat?
Apa mungkin tongkatnya dipukulkan ke kepala si pengantin pria? Wah, bisa brabe. Lha terus apa? Aha! Mungkin bisa juga dengan memukulkan tongkatnya ke meja. Walah, kok kayak bakul gulai keliling dengan gerobak itu ya?
Wah, benar-benar idenya nggak waras nih, Pakdhe Soleh. Tapi lumayanlah bisa bikin ger-geran. Saya dan Opix yang berada di ruang siaran bisa ketawa ngakak. Bahkan, Opix kasih usulan. Tongkatnya diganti dengan tongkat penggaruk gatal-gatal. Biasanya, pada ujungnya ada bentuk tangan kecil. Loh!
Tak berselang lama, muncul pula ide gila lainnya. Kali ini dari Pak Muchsin. Sesepuh Gang Haji Palal Podosugih ini malah punya kelakar yang unik lagi. Gara-gara aturan jaga jarak, seorang maling alias pencuri bisa saja selamat dari kejaran warga atau polisi. Apa sebab? Sebab, saat dia sudah kepepet, dia bisa bilang, “Awas! Jaga jarak! Kalau nggak sampean bisa ketularan loh!”
Aduh aduh…. kok ya ada saja kelakar para pendengar setia Wedangan. Kreatif dan lucu-lucu. Tapi begitulah adanya. Ya, dalam situasi apapun kita memang nggak boleh menyerah. Mesti punya banyak cara untuk memaknai segala peristiwa dengan cara yang ringan. Seperti pepatah bilang, dunia itu serba guyon. Maka, apa yang ditampilkan dunia bukanlah sesuatu yang mestinya membuat kita tertekan dan semakin terpuruk. Sebaliknya, kita harus bisa menemukan sesuatu yang membuat kita bisa tertawa.
Lho soal waspada, ya tetap waspada. Yang penting selalu ingat pada perihal yang hakiki. Bahwa hidup dan kehidupan dihadirkan untuk manusia agar manusia senantiasa merasakan kebahagiaan.
Komentarnya gan