KOTOMONO.CO – Senin malam (22 Februari 2021), seperti yang sudah terjadwalkan, mulai pukul 22.00 sampai 00.00, saya kudu bersiaran. Memandu acara Wedangan di Radio Kota Batik, radio yang didanai oleh APBD Kota Pekalongan. Malam itu cerah. Tidak ada hujan, juga tidak ada petir. Kami, saya dan partner saya, Opik, bersiaran cukup lega. Tanpa ada rasa cemas dan was-was.
Telepon bergantian. Para pendengar setia Wedangan pun berbagi kabar. Pak Agus, salah seorang warga desa Karangjompo, Kabupaten Pekalongan, adalah orang pertama yang berhasil masuk. Seperti biasa, kami saling menyapa dan menanyakan kabar. Lumrah.
Dilanjut dengan guyon ala Wedangan sekadarnya. Ya, sebagai pelepas penat dan pelipur lara. Apalagi, Pak Agus ini salah seorang warga terdampak banjir. Kata Pak Agus, banjir di desanya memang parah. Sekitar dua minggu air tak surut. Ketinggiannya bisa mencapai paha bahkan pusar orang dewasa.
Seluruh warga desa tempatnya tinggal terpaksa diungsikan. Mereka juga mendirikan pos-pos pengungsian mandiri di sejumlah titik. Bahkan, mereka punya sistem yang bagus dalam urusan pendirian pos. Ada pos induk yang difungsikan sebagai pusat informasi warga. Ada juga pos-pos pengungsian warga yang keberadaannya dibagi berdasarkan daya tampung dan kemudahan aksesnya.
Jadi, kalau misal ada bantuan akan ditampung dulu di pos induk. Baru setelah itu akan dibagikan ke pos-pos pengungsian yang ada di dekat rumah warga. Sistem distribusinya pun tidak asal. Tetapi, berdasarkan kebutuhan warga di pos pengungsian masing-masing.
BACA JUGA: Dinsos P2KB Kota Pekalongan Tanggapi Postingan “Kapok ke Dinsos”
Cara ini, kata Pak Agus, dirasa sangat efektif. Sebab, semua yang berkaitan dengan masalah warga dan kebutuhannya pun dapat diinventarisir dengan baik. Distribusinya pun tidak acak. Tetapi, benar-benar berdasarkan data informasi yang dihimpun dari tiap-tiap pos pengungsian warga.
Menariknya lagi, sistem itu dibangun oleh warga sendiri. Dikoordinir oleh warga dan dijalankan oleh warga. Semua dilakukan secara gotong royong. Kalaupun ada tenaga dari instansi pemerintah atau lembaga-lembaga non pemerintah, mereka pun tidak keberatan bahkan merasa senang karena ada tenaga tambahan.
Nah, malam itu, Pak Agus mengabarkan, jika kondisinya sudah agak membaik. Ketinggian air sudah mulai surut. Meski demikian, masih banyak yang memilih mengungsi. Beberapa warga juga dikabarkan masih mengungsi di beberapa rumah sanak familinya yang bebas dari banjir. Termasuk, Pak Agus sendiri. Meski begitu, ia juga masih sering ngurusi pengungsian kalau memang jatahnya bertugas.
Penelepon lain, Bu Khotijah, warga desa Curug, Kabupaten Pekalongan, mengisahkan pengalaman yang tak jauh beda. Hanya saja, di desanya tak ada banjir. Maka, ia tak perlu mengungsi. Tetapi, hari-harinya selama masa banjir hingga Senin sore, digunakan untuk mengunjungi tempat-tempat pengungsian di beberapa desa yang tergenang banjir.
BACA JUGA: Keluh Kesah Seorang Warga Terdampak Banjir tentang Foto-foto di Medsos
Ibu yang suka bergiat dalam kegiatan-kegiatan sosial ini berkisah pula tentang bagaimana rasanya mengunjungi tempat-tempat pengungsian itu. “Ya, dengan mendatangi mereka, saya dan teman-teman berusaha ikut merasakan apa yang warga terdampak ini rasakan. Bisa dibayangkan, sehari saja di sana, kita kena gatal-gatal. Apalagi mereka yang berminggu-minggu. Pasti sangat kerepotan,” katanya.
Selama ikut membantu warga, kata Bu Khotijah, ia menyaksikan betapa orang-orang Pekalongan itu punya rasa kepedulian tinggi terhadap sesama. Tidak lagi diributkan soal atribut organisasi dan segala macamnya. Tetapi, mereka kompak. Bersatu padu mengulurkan tangan dan memberikan bantuan. “Semua lebur jadi satu, Mas,” ujarnya.
Ibu rumah tangga ini juga mengabarkan, selama ikut krubyak-krubyuk di daerah banjir, kebutuhan yang paling dibutuhkan adalah obat-obatan dan bantuan tenaga medis. Sebab, untuk logistik bahan makanan rata-rata di tempat pengungsian sudah cukup. Bahkan ada yang berlebih-lebih.
Dari dua penelepon itu, saya lantas berpikir, ternyata masih banyak kok orang-orang yang tulus berbuat. Bahkan, satu hal yang saya tangkap, terutama dari kisahnya Bu Khotijah. Ia malah nggak mau menyebut dirinya sebagai relawan. Malah, dia menyebut aktivitasnya itu sekadar “dolanan”. Ya, Bu Khotijah malah menyebut, “Saya cuma dolan kecèhan (berendam).” Sesimpel itu.
BACA JUGA: Angkat Topi untuk Para Dermawan dan Relawan
Sebagai pemandu acara saya cukup senang pula, karena akhirnya ada penelepon yang berkenan berbagi informasi terkini tentang keadaan warga terdampak banjir. Tanpa polesan apapun. Hanya menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Dan, itu sangat berharga bagi saya, juga bagi pendengar malam itu. Ya, siapa tahu masih ada orang-orang yang juga berkenan membantu sesama.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya