KOTOMONO.CO – Bajingan sejati tidak memburu receh. Ia juga tidak mengincar kursi empuk di balik meja. Apalagi dengan cara menjilati pantat babi, piaraan seorang bandit. Tidak! Bukan itu. Bajingan sejati memilih kebebasan untuk menjalani hidup. Bukan terkurung dalam sebuah sistem yang melahirkan para kriminal kelas kecoa.
Seorang bajingan sejati adalah seorang pengembara. Ia memiliki hidupnya sendiri. Dunia, bagi seorang bajingan sejati, ibarat bola bekel. Ia boleh memainkannya kapan saja. Memantul-mantulkannya di lantai, sambil bersiul, menyanyikan lagu-lagu pantai yang riang.
Sedang, bajingan abal-abal, masih gampang dipermainkan oleh dunia. Ia mengira bahwa dunia yang ia kejar itu akan menyelamatkan hidupnya. Membuat perutnya tak berguncang. Sehingga, membuat hidupnya terasa tenang. Padahal, ketenangan yang begitu, tidaklah akan bertahan lama. Hanya sementara. Sangat sebentar. Lalu, ia harus kembali memburu receh, memburu kursi empuk. Bila perlu, jatuhkan lawan. Atau membunuh tanpa mematikannya.
Sungguh sebuah permainan yang kotor!
Bajingan sejati mesti bermain dengan cerdas. Harus menguasai permainan. Bukan dikuasai permainan. Ia memegang kendali atas permainan-permainan itu. Bahkan, ia pula yang menghadirkan permainan itu menjadi ada di dunia ini. Lantas membiarkan permainan itu berjalan sendiri. Ia cukup menyaksikan dari jauh sambil menikmati secangkir kopi pagi.
Di sebuah villa kecil, Iblis duduk di beranda. Memandang bukit hijau yang terhampar mengelilingi desa. Pagi itu, ia libur. Menikmati dingin udara yang menyegarkan. Angin pelan-pelan berhembus. Uap air yang berangsur melambung ke udara, tertiup perlahan. Aroma kopi menyebar ke segala arah.
Dari kotak hp di genggamannya, ia memeriksa berita terkini. Tentang kehidupan kota yang kompleks. Seulas senyum tersungging. Membaca kabar tentang seorang residivis dicokok polisi. Kata berita, residivis itu pengedar narkotika kelas kakap.
“Kelas kakap kok sampai ketangkap? Ah, berita yang konyol. Mestinya, kelas kakap itu nggak bisa ditangkap dong…. Ha ha ha ha!” ucap Iblis sambil melepas tawanya. Tak henti-henti ia tertawa.
Tanpa sadar, suara tawa itu menembus balik bukit. Menyeberang lautan. Melayang ke udara. Menyebar segala arah. Menjadi suara yang terdengar aneh. Tak dikenali. Suara itu terdengar sampai di telinga orang-orang kota. Bahkan, di telinga para pelaut di tengah samudra. Orang-orang bingung. Ada suara aneh dari langit.
Lantas, ramai orang merekamnya dengan handphone. Mengunggahnya di media-media sosial. Seketika, rekaman-rekaman itu menjadi berita televisi, tanpa narasumber.
Makin geli Iblis menyaksikan postingan itu. Makin menjadilah tawanya. Gunung-gunung dibuatnya berguncang. Catatan rekaman seismograf yang terpasang di beberapa balai pengamatan gunung berapi menunjukkan guncangan yang berbeda-beda pada tiap gunung, secara bersamaan. Di beberapa titik, tampak retakan tanah. Siap meluncur ke lembah. Longsor.
“Ini kejadian paling aneh. Suara aneh itu telah menyebabkan gunung-gunung terbangun. Tanah-tanah bukit retak dan terancam longsor. Ini di luar kebiasaan,” kata seorang pengamat. “Sampai detik ini, kami belum bisa memastikan, dari mana asal suara itu dan apa penyebabnya. Dugaan sementara, ini akibat radiasi gelombang.”
Sementara, di lautan, para pekerja kilang minyak dikejutkan gelombang tinggi yang mendadak muncul ke permukaan. Tetapi, gelombang itu tidak mencelakai mereka. Gelombang itu hanya muncul ke permukaan secara vertikal. Lalu kembali lagi ke bawah. Tidak bergerak menyamping. Tidak menyapu pantai. Hanya muncul ke atas.
Sebuah stasiun televisi, melaporkan kejadian itu. Semua pakar hanya bisa geleng kepala. Aku, murid Iblis, tak cukup heran. Karena aku pagi itu ada bersamanya. Berlibur di villa milik Pak Wirasubra, seorang pejabat di pemerintahan.
[button color=”blue” size=”small” link=”https://kotomono.co/cerita-mini-berseri-chapter-12-universitas-kejahatan/” icon=”” target=”false”]Chapter 12[/button]