KOTOMONO.CO – Ini kali pertama aku mengikuti kuliah. Nama mata kuliahnya Filsafat Bajingan.
Aku pikir, ini mata kuliah paling aneh. Bajingan kok difilsafatkan. Tapi, okelah. Mungkin saja ini yang memang aku butuhkan untuk menjadi seorang bajingan. Ya, bajingan butuh filsafat.
Suasana begitu sepi. Semua tak bersuara. Semua mata tertuju pada dosen perempuan yang ada di depan kelas. Digenggamannya, sebuah lampu senter. Ia main-mainkan lampu itu dengan tangannya. Kadang diputar pelan. Kadang ditempelkan ke dagunya. Kadang dijilat-jilat. Ah, pikiranku jadi membayangkan sesuatu yang… ah, entahlah.
“Seperti lampu senter. Ia baru akan menyala jika dua muatan pada baterai terhubung. Begitu juga dengan kehidupan di dunia. Yang buruk dan yang baik selalu hadir bersamaan. Keduanya saling terhubung. Dari hubungan itu, mengalirlah energi. Tinggal siapa yang bisa memanfaatkan energi itu dan untuk keperluan apa energi itu digunakan,” begitu kata Bu dosen. Namanya, aku lupa.
Cuma, yang jadi pertanyaan, apa hubungannya lampu senter sama bajingan? Karena nggak tahan dengan cara Bu dosen menjelaskan dan nggak tahan dengan gerak bibirnya yang aduhai, juga nggak tahan dengan rok mininya yang terlalu mini itu, aku pun segera mengangkat tangan.
“Ya, kamu. Apa yang mau ditanyakan?”
“Bu, boleh saya izin ke toilet?”
Seketika, kelas gaduh. Bu dosen memberiku izin. Tidak dengan kata, hanya kedipan mata dan lidahnya yang dimainkan di tepian bibirnya yang tipis.
Kejadian itu, aku ceritakan pada teman satu sekolahku dulu. Ia kini kuliah di sebuah universitas ternama. Komentarnya simpel, “Gila!”
***
Pernah menghitung berapa kali toilet itu muncul dalam sebuah film? Pernah menghitung berapa judul film yang memunculkan toilet? Aku sih belum.
Tapi, dari situ aku berpikir, sesakral itukah toilet? Sampai-sampai ia harus muncul dalam film. Dan seingatku, sudah teramat banyak judul film yang memunculkan toilet.
Tak hanya itu. Ada juga produk kertas yang dikhususkan dipakai di toilet. Tisu toilet! Jelas, fungsinya beda dengan tisu makan.
Toilet juga bisa jadi ladang bisnis yang menjanjikan! Padahal menurutku, toilet itu menjijikkan. Aku heran, mengapa sesuatu yang buruk itu justru jadi peluang lahan bisnis? Mungkinkah karena jarang yang mau mengerjakannya? Atau karena ia sesungguhnya dibutuhkan? Ya! Aku mengerti sekarang, bahwa yang buruk pun sejatinya amat dibutuhkan. Ia mesti hadir. Tidak boleh tidak!
Yang buruk, menerima sesuatu yang buruk, agar yang memberi keburukan itu menjadi baik. Bahkan, lebih baik dari sebelumnya. Ah, mungkin begitu.
Dan di toilet ini, aku memasuki alam khayalanku. Menikmati bayangan-bayangan khayal yang kuciptakan sendiri. Berusaha menghadirkan bayangan-bayangan itu seperti nyatanya. Sungguh, fantastis! Aku membayangkan sesuatu terjadi pada diriku, saat ini juga.
Kran aku buka. Suara gemericik air memenuhi ruang tolitet.
Terbayang wajah Ibu dosenku. Dagunya yang lancip. Bibirnya yang tipis dan tampak basah oleh lipglos. Terbayang tatapan matanya yang sayu. Lekuk tubuhnya. Dan ah… betisnya! Rambut panjangnya yang mengombak, ujungnya jatuh menjuntai tepat di dadanya.
Berseliweran bayangan itu bermunculan.
Aku pikir, ini benar-benar kampusnya para bajingan. Aku salah satunya!
[button color=”blue” size=”small” link=”https://kotomono.co/cerita-mini-berseri-para-bajingan-chapter-5-ribut-achwandi/” icon=”” target=”false”]Chapter 5[/button]
Penulis: Ribut Achwandi
Komentarnya gan