Lebe merupakan sosok menteri agamanya sebuah desa, jabatan seorang Lebe bisa dibilang basah. Soalnya, sosok Lebe itu banyak sekali urusan. Urusan kelahiran, pernikahan, perceraian hingga urusan kematian dan itu semua dibidangi oleh sosok lebe.
***
KOTOMONO.CO – Cuaca di Desa Kalirandu, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang hari itu tidak seperti biasanya. Pada hari-hari biasa, udara panas menyengat akan selalu menerpa sepanjang hari. Namun hari Kamis (18/8/2022) silam, waktu terasa begitu cepat hingga udara panas pun tak terasa sirna ketika saya punya niatan untuk berkunjung ke rumah salah satu “orang penting” yang ada di Desa tersebut.
Bukan tanpa alasan saya berniat dan meluangkan waktu untuk hal ini, sebab saya benar-benar penasaran dengan sosok Lebe yang sering kali dicari orang ketika ada yang meninggal maupun nikahan.
Untuk mengurangi rasa penasaran saya tentang sosoknya, wasyukurilah saya diberikan jodoh untuk bertemu dengan seorang yang didaulat menjadi “Lebe” yang ada di Desa Kalirandu untuk berbincang-bincang tentang kiprahnya sekarang.
Perlu diketahui, orang yang utamanya mengurusi jenazah menurut pandangan masyarakat disebut Lebe. Padahal nama Lebe itu sendiri sekarang ini sudah diubah menjadi Kasi Pelayanan, di mana salah satu tugasnya yaitu memulasarakan jenazah.
Tepat pada sore hari dengan sinar matahari yang mulai meredup, saya bertamu kerumahnya dengan pakaian sedikit necis agar memberikan kesan sopan kepada tuan rumah. Sekilas melihat tempat tinggal beliau ini agak saya sedikit mikir, kayaknya Lebe sekarang ini lebih sejahtera deh.
“Wah apakah benar demikian? Jika jadi lebe itu bisa sejahtera, harusnya profesi ini banyak digandrungi orang-orang dong?” begitu gumam saya.
Tanpa berfikir panjang kali lebar, dengan rasa kepo yang sudah menggebu-gebu ini, saya langsung mengetok pintu rumahnya. Lalu, muncul sosok lelaki berpeci hitam lengkap dengan sorban di leher menemui dan mempersilahkan saya masuk rumahnya.
Dengan sedikit mata ini jelalatan, saya mengamati seisi ruangan yang menurut saya rumah pak Lebe ini sepertinya memang bagus betulan. Rumahnya cukup luas, bersih, nampak cat yang diperbarui lengkap dengan keramiknya yang dingin kek ubin masjid ada disana. Ini membuat saya sangat terasa nyaman apalagi sosoknya yang begitu ramah, sepertinya akan membuat siapa saja betah berlama-lama saat bertamu disini.
Pak Lebe ini bernama lengkap Muhamad Zaenal Asikin, sering dipanggilnya Lebe Asikin. Beliau menjalani profesi sebagai Lebe ini sudah ia jalani kurang lebih hampir 20 tahun lamanya. Ia terlihat begitu responsif selama berbincang-bincang, menunjukan gesture yang enak untuk diajak berbicara panjang kali lebar.
“Rumah bapak mewah juga ya,” ujar saya tiba-tiba.
“iya mas, mewah (mepet sawah),” jawabnya sambil tertawa sedikit cekikikan.
Memang nggak ada yang salah dengan jawaban tersebut, rumahnya betul-betul dekat sekali dengan sawah. Tepat didepan rumahnya, sawah hijau membentang cukup luas. Dan percakapan basa-basi itupun tak terasa menjadi awal keakraban saya dan pak Lebe. Dan to the point, saya pun langsung menanyakan beragam hal mengenai profesi Lebe kepadanya.
“Menurut bapak, Lebe itu sosok yang seperti apa ya?,” Tanya saya.
“Gini mas, Lebe itu sebuah pekerjaan yang diiringi dengan ibadah. Karena selama saya bekerja banyak sekali suatu hal yang langsung mengarah pada keagamaan (Islam), seperti mengurus jenazah, pernikahan dan lain sebagainya,” jawabnya dengan nada santai.
Jawaban tersebut belum memuaskan hasrat kepo saya tentang sosok Lebe dan kiprahnya di masyarakat. Sebab kalau hanya bermodal jiwa sosial dan keikhlasan beribadah, saya kira semua orang bakalan mau menjadi Lebe. Tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda, hanya segelintir orang yang benar-benar mau dan sanggup menjalani profesi ini. Paling umum kenapa masyarakat ogah menjadi Lebe ya sebab harus mengurusi jenazah yang kapanpun waktunya harus siap dan nggak terjaminnya kesejahteraan hidup seorang Lebe.
Atas pertimbangan itu sangat ngotak sekali bila peminat untuk menjadi Lebe itu agaknya sepi ketimbang profesi perangkat desa lainnya semisal menjadi carik alias sekretaris desa atau tenaga pemerintahan yang lainnya.
Dengan hal tersebut saya menjadi semakin kepo, apakah di awal pak Asikin ini mendaftar Lebe tempo dulu itu peminatnya banyak atau tidak.
BACA JUGA: Kades Wuled, Kades yang Berani Ngritik
“Gimana awal mula bapak mendaftar menjadi Lebe, banyak nggak peminatnya pak?,” Tanya saya sembari membetulkan posisi duduk.
“Pada awal saya mendaftar, kebetulan saya calon tunggal, tidak ada lawan, tapi saya tetap belajar walau calon tunggal, karena nanti akan berguna saat saya sudah menjadi Lebe,” jawabnya.
“Mungkin takut kalau ngurus jenazah, terus takut dimpeni,” imbuhnya.
Begitu sepinya minat dari masyarakat Desa Kalirandu untuk menjadi Lebe, bisa jadi salah satunya karena rasa takut terhadap hal-hal mistis dari jenazah yang diurus. Agaknya nggak mengherankan bila mitos “Lebe sering dimpeni (didatangi dalam mimpi)” selalu saja menjadi alasan nomor wahid daripada soal kesejahteraannya.
Mitos Lebe Sering Dimpeni
Mitos bahwa sosok Lebe bakalan sering dimpeni arwah dari jenazah sudah dikuburkan begitu kuat mengakar di masyarakat. Ya gimana lagi wong Pak Lebe lah yang mengurus langsung jenazah mulai dari memandikan, mengkafani, mensholatkan, dan menguburkan, sehingga timbul persepsi tersebut. Makanya perlu mental yang lebih dari sekedar pemberani untuk menjadi Lebe.
“Pak sering dimpeni nggak? Atau ada kejadian aneh-aneh selama jadi Lebe?,” tanya saya penasaran.
“Jujur saja saya belum pernah mas, dimpeni jenazah yang sudah saya urus, nggak ada kejadian aneh-aneh yang datang pada saya, mungkin itu hanya mitos, masyarakat saja yang mengira jadi Lebe itu dimpeni terus,” katanya.
Walau demikian ada saja kabar soal pengakuan seorang Lebe yang sering kedapatan mimpi buruk utamanya setelah mengurus jenazah yang saya dengar. Jika menjumpai hal ini, tinggal kita mau percaya atau tidak, semuanya tergantung pada fikiran kita menyiasati hal tersebut. Nyatanya Lebe Asikin ndak mengalami hal itu.
Seperti yang sudah saya singgung tadi, bahwa menjadi Lebe itu nggak mung bermodalkan jiwa sosial yang tinggi melainkan harus punya mental yang kuat, apalagi pekerjaannya dituntut untuk selalu stay 24 jam penuh. Ia harus siaga kapan pun waktunya warga membutuhkan dirinya.
Lebe pun Perlu Regenerasi
Menjadi Lebe itu bukan hal yang semenakutkan masyarakat kira tadi, sebab pada dasarnya semua pekerjaan sudah ada resikonya masing-masing, dan sudah dipaparkan juga oleh Lebe Asikin yang mana Lebe itu selalu dimpeni hanyalah mitos belaka. Dan sudah kiranya sosok Lebe itu sendiri perlu ada regenerasi, agar sistem pemerintahan desa itu bisa berjalan dengan baik. Lewat Lebe Asikin, saya pun mulai ingin tahu menahu soal regenerasi Lebe yang ada di Desa Kalirandu.
“Menurut Njenengan, perlu regenerasi nggak ya pak?,” tanya saya.
“Regenerasi itu harus, orang-orang yang akan menjadi lebe benar-benar harus siap dari semua aspek. Jika tidak ada regenerasi, siapa yang akan mengurus orang yang meninggal, masa mau dibiarkan begitu saja,” kali ini jawabannya tegas.
BACA JUGA: Mengulik Fakta Wingko Babat, Berasal dari Lamongan yang Kadung Terkenal di Semarang
Lagi-lagi saya berfikir, benar juga kata Lebe Asikin, sebab nggak lucu juga bila ada sebuah Desa nggak memiliki Lebe, masak nge-bon dari desa lain? Ya aneh dong.
Lebe Asikin membeberkan, bahwa syarat menjadi lebe yang kini jadi Kasi Pelayanan di sistem pemerintahan desa itu hampir sama kayak syarat-syarat menjadi perangkat desa pada umumnya. Yakni harus tahu Pancasila, punya pengetahuan umum dan lain sebagainya. Namun khusus menjadi Lebe, ada tambahan di bidang keagamaan yang harus ia kuasai. Ada yang berkaitan tentang kecakapan ia soal pengurusan jenazah, juga paham soal yang berkaitan dengan pernikahan, hapal doa dan yasin-tahlil.
Kesejahteraan Lebe Di Masa Sekarang
Menjadi lebe para era zaman now, banyak sekali tantangannya. Hal remeh yang perlu diperhatikan ialah tuntutan untuk bisa megimbangi perangkat pemerintahan desa yang lain, terutama dibidang IPTEK. Mereka dituntut untuk minimal bisa mengoperasikan komputer maupun internet alias nggak gaptek
Nah, menyangkut soal hajat hidup Lebe sebagai bagian dari perangkat desa. Saya juga penasaran apakah ada perhatian dari pemerintah setempat kepadanya, misal dari segi kesejahteraan ekonominya apa sudah bisa tercukupi atau masih kurang. Kebanyakan masyarakat mengira bahwa menjadi Lebe itu sangat tergantung kepada “amplop” keluarga yang punya gawe. Ya kita boleh beropini sebanyak-banyak tapi kita perlu tahu langsung dari orang yang menjalaninya.
“Alhamdulillah, sekarang ini pemerintahan desa sudah secara penuh memberikan perhatiannya kepada Lebe, apalagi statusnya sekarang sudah menjadi Kasi Pelayanan. Sekarang ini lebe itu sudah setara dengan ASN mas, masalah kesejahteraan sudah memenuhi dengan yang diharapkan. Tidak seperti dulu yang belum ada penghasilan tetap dan hanya dapat bengkok sawah saja,” ucapnya dengan ceria kegembiraan.
BACA JUGA: Makna Patung Laki-laki dengan Pose Miring ke Kanan di Semarang Contemporary Art Gallery
Alhamdulillah kalau begitu, artinya profesi Lebe di desa ini sangat menjanjikan mengingat pekerjaan yang dijalani Lebe itu bukanlah pekerjaan yang mudah dan pemerintah desa setempat mau memperhatikan.
Hal senada juga di sampaikan Bu Casmah, salah seorang Lebe perempuan satu-satunya di desa ini yang sore menjelang maghrib itu juga saya temui di lain tempat.
“Bagaimana dengan pekerjaan ibu sekarang? Kayaknya sama nggak bu dengan Lebe laki-laki?,” pertanyaan pertama saya kepada Bu Lebe.
“Gaweane kulo nggeh benten mas kale Lebe jaler, kulo mung ngadusi kaliyan ngafani, seteruse nggeh Lebe jaler sg ngurusi,” jawab Bu Casmah menggunakan bahasa Jawa kromo.
(Pekerjaan saya ini ya berbeda dengan Lebe Laki-laki, saya hanya memandikan dan mengkafani, selanjutnya ya Lebe laki-laki yang mengurusnya.)
Saya semakin kepo dong, apakah nasib Bu Lebe ini juga mendapat imbalan yang setimpal dari pemerintah setempat. Dan menurut beliau, soal kesejahteraan pemerintah desa disini sudah sangat perhatian. Bu Casmah diberikan hasil sawah sebanyak seperdelapan. Baginya, itu sudah lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhannya.
Agaknya ada sedikit perbedaan dari imbalan yang diterima Lebe Lanang dan Wadon. Jika Lebe Asikin mengaku sudah disetarakan dengan ASN, sedangkan Bu Casmah sebagai Lebe wadon hanya diberikan jatah sawah seperdelapan saja.
BACA JUGA: Stop Memandang Sebelah Mata, Mantan Narapidana juga Manusia
Namun sepertinya itu bukan masalah yang kudu diperdebatkan sampe mulut berbusa, sebab sangat masuk akal sekali jika berbeda. Begini logikanya. Lebe laki-laki kan statusnya seorang suami yang kudu memberi nafkah yang cukup untuk keluarganya, sedangkan Bu Casmah itu boleh dikata seorang istri yang punya suami sehingga yang utama untuk memberikan kecukupan nafkah adalah sang suami tersebut, bila menjadi lebe perempuan dan mendapat imbalan, itu adalah bonus di hidupnya.
Sayang, waktu membatasi saya untuk berbincang dengan Bu Casmah sehingga obrolan saya dengannya hanya singkat saja, namun itu sudah mengurangi rasa kepo saya terhadap sosok dan kiprah Lebe. Dari sini pula saya jadi makin tahu, bahwa Lebe adalah profesi yang nggak semua orang mampu, pekerjaan mulia, penuh kesosialan yang tinggi, selalu siap membantu masyarakat setempat kalau ada kematian, pernikahan, selamatan atau lain sebagainya.
Dengan kesejahteraan yang terjamin, saya yakin posisi Lebe bakalan diperebutkan di masa mendatang oleh generasi muda yang ingin mengabdi dengan menjadi bagian dari perangkat desa. Nah, bagaimana dengan nasib Lebe di desamu? Semoga saja tidak ngenes. Jika masih demikian, tolong jewer lurahe!
Tulis Komentar Anda