KOTOMONO.CO – Wandi Saleh adalah namaku. Siswa-siswiku biasanya lebih sering memanggilku Pak Wan. Aku seorang guru Matematika tingkat SD di salah satu sekolah bonafide di Kota Batik. Waktu itu hari Senin. Hari paling awal dalam kegiatan sehari-hariku. Hari yang bagi sebagian orang penuh tantangan, tetapi menurutku justru banyak cobaan. Virus 5L (letih, lemah, lesu, lunglai, dan lapar) sering menderaku tanpa kenal situasi pada hari itu.
Aku duduk di kursi kantor sambil memegangi tengkuk leherku. Kugeleng-gelengkan kepala mengikuti lantunan musik yang diputar oleh seorang rekanku. Kuhayati syairnya larik demi larik. Kumaknai pula dengan sederhana rangkaian tiap baitnya. Begitu syahdu kedengarannya. Tanpa kusadari, musik itu membawaku ke alam bawah sadar. Pikiranku membayang ke masa lalu.
Dua tahun lalu, sewaktu masih mengajar di Sekolah Alam Patriot Bangsa Jakarta, aku begitu menikmati yang namanya mendidik dengan orientasi “koin”. Aku abaikan hal ihwal yang asing bagiku, yakni nilai-nilai kebaikan berdasar norma. Aku hanya fokus mengejar apa yang dinamakan “kebahagiaan” menurut versiku sendiri. Aku tak pernah mempertimbangkan sedikitpun perihal baik buruk menurut ajaran budaya dan agamaku. Bahkan, tak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku tentang berkah tidaknya segala sisi kehidupanku. Waktu itu, aku sangat tak peduli dengan hal itu.
“Bukankah hidup berkecukupan adalah salah satu indikator wujud keberkahan?” pikirku.
Di sela lamunanku, tetiba bunyi bel jam pelajaran ketiga berbunyi nyaring, memekakan gendang telinga dan memporak-porandakan kenyamanan paling hakiki; melamun. Segera kuakhiri lamunan itu untuk bersiap mengajar di kelas 4B. Aku mengelus dada dengan pelan sambil menggumamkan sesuatu.
“Wah, kelas 4B ya? Harus siap-siap meluaskan hati seperti samudera.”
Ya, bagiku di kelas itulah ujian sebagai seorang guru benar-benar menanti. Bukan melalui supervisi atau kunjungan dari dinas yang kadang bisa saja kuakali dengan kecerdikanku. Namun, justru melalui murid-muridku sendirilah, aku merasa diuji. Tak memandang sesiapanya, seberapa sangarnya, dan seberapa baiknya. Umumnya, setiap guru yang masuk di kelas itu pasti akan dibuat jengkel. Lalu keluar kelas sambil melipat wajah yang kian basah oleh amarah.
Setibanya di kelas, pembelajaran kubuka dengan salam dan berdoa. Lalu kujalankan pembelajaran seperti skenario yang sudah kususun dalam rencana mengajar. Sepuluh menit berlalu. Suasana masih saja tenang. Tak seperti yang kubayangkan. Tak ada tanda-tanda kelas ini akan gaduh seperti Senin-senin biasanya. Namun tiba-tiba, dari sudut pojok kanan kelas terdengar suara cekikikan yang makin keras.
“Sssttt!!” Timbul reaksiku mengeluarkan bunyi sebagai balasan aksi mendadak itu.
“Mohon perhatian. Pak Wan akan menyampaikan pembagian tugas kerja kelompok belajar Matematika hari ini.” Ucapku sambil mengarahkan pandangan pada sumber suara.
Tak lama berselang suara cekikikan kembali terdengar. Kali ini datangnya dari barisan tengah. Lalu disusul oleh barisan dan sudut-sudut lain dalam kelas itu. Spontan akupun terdiam sambil berpikir bagaimana cara mengondisikan kelas ini agar kondusif untuk kuajak belajar.
Aku teringat dengan pikiran-pikiran seorang filsuf pendidikan dari India, Rabindranath Tagore. Dia berpendapat bahwa pendidikan akan lebih bermakna jika menyatu dengan alam. Dengan segera kubuka pintu untuk mengajak anak-anak keluar kelas.
Aku dan anak-anak kelas 4B menuju taman dan duduk di bawah pohon yang rindang. “Angin sepoi-sepoi dan pemandangan sekitar yang elok pasti akan menambah suasana belajar menjadi kondusif,” begitu pikirku.
Baru saja kumulai pembagian kelompok belajar, lagi-lagi aku dihadapkan pada panorama yang menyesakkan bagi seorang guru. Anak-anak justru tertidur berjamaah. Hampir separuh siswa yang tertidur. Separuhnya lagi ada yang memperhatikan. Ada pula yang melongo terpikat dengan keindahan taman sekolah kami. Bergegas aku mencari cara lain untuk mengatasi masalah ini.
Kembali aku teringat pada pemikiran filsuf pendidikan lainnya dari daratan Amerika, yakni Paulo Freire. Sebagai tokoh pendidikan yang masyhur, ia dianggap berjasa karena telah mengajukan pandangan tentang pendidikan yang memanusiakan manusia. Dengan segera aku mengubah metodeku. Kubangunkan satu persatu siswa yang tertidur. Kufokuskan lagi siswa yang mengabaikanku dengan memberi perhatian lebih. Lalu, kulanjutkan dengan bertanya kepada salah satu siswa mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pembelajaran Matematika.
Separuh siswa menjawab serius, beberapa lagi menjawab dengan melantur, dan sisanya hanya mengernyitkan dahi saja. Makin bingung aku dibuatnya. Harus dengan cara apa dan bagaimana lagi untuk memberi motivasi kepada mereka agar antusias dalam belajar. Agak lama aku terdiam melihat tingkah polah anak-anak ini. Diamku ini adalah bagian dari ikhtiar dalam mencari solusi. Entah ada angin dari mana, tiba-tiba saja aku ingin tersenyum kepada siswa-siswi itu. Kudatangi mereka satu persatu sambil mengusap kepalanya, kemudian kusajikan senyuman paling ikhlas kepada mereka. Tidak sampai seluruh kepala siswa kuusap, bel berbunyi. Tanda waktu pembelajaran Matematika hari ini habis.
“Pak Wan harap, nanti ketua kelas atau perwakilan kelas menemui bapak di taman sekolah ya! Ingat, setelah jam KBM berakhir.” Perintahku sebelum mengakhiri pembelajaran.
Anak-anak lalu menjawab dengan antusias dan kompak. “Ya, Pak.”
***
Di kantor, aku coba menuliskan kejadian-kejadian yang baru saja aku alami. Yang kugaris bawahi paling banyak adalah masalahku mengatasi kelas 4B. Aku hitung dalam catatanku, sudah 4x hari Senin sejak semester baru ini berganti, permasalahan paling dominan memang ada di kelas itu. Catatan awal aku menuliskan: kelas 4B adalah kelas paling gaduh. Catatan kedua, julukan kelas paling gaduh tetap kusematkan untuk kelas itu. Ketiga, kelas 4B adalah kelas yang tak menghargai guru, kutuliskan di catatanku. Terakhir, kelas paling susah dikondisikan tercatat tebal di bukuku: kelas 4B.
Sejenak aku memejamkan mata. Kemudian beristighfar di dalam hati. “Astaghfirullah. Hamba mohon ampun kepada-Mu. Hamba juga mohon ampun untuk siswa-siswi hamba. Semoga Kau senantiasa memberikan jalan lurus kepada mereka.” Tak terasa peluh menetes dari kedua sudut mataku. Aku tak bisa berpikir. Aku juga tak bisa membayangkan. Siapa yang harus disalahkan atas masalah ini?
Kembali lagi aku membayangkan ketika aku masih mengajar di Sekolah Alam Patriot Bangsa. Dulu meski kehidupanku serba berkecukupan, aku selalu merasakan ada hal yang kurang. Rohaniku tak tersentuh oleh hikmah-hikmah atau kalam Tuhan sama sekali. Aku kemudian membandingkan antara mengajar di tempat itu dengan di sekolahku sekarang ini. Rasanya benar-benar berbeda.
Ada hal yang tak aku dapat dari sekolah alam dulu dibanding sekolah ini. Di sini, ketenangan dan kepuasan batinku terpenuhi. Senakal-nakalnya siswa di sini, mereka masih respek terhadap gurunya. Tak pernah sekalipun mereka sampai berani tak menghormati gurunya. Meski banyak catatan negatif di sekolah ini, tetapi paling tidak, ada salah satu nilai yang tetap mereka jaga dan pertahankan, yakni menghormati guru. Hal itu pula yang tak aku temukan di sekolah alam dulu. Entah karena apa. Padahal mereka sama-sama anak seusia SD.
Bel pertanda jam KBM habis berbunyi. Menyadarkanku bahwa baru saja aku melamun lagi. Bergegas aku menuju ke taman untuk menemui perwakilan kelas 4B. Di taman sekolah, kulihat dari kejauhan segerombolan anak-anak sedang duduk melingkari pohon rindang. Aku disambut dengan pembacaan puisi bertema guru. Aku mengapresiasi usaha mereka dengan bertepuk tangan meski aku sendiri tak paham makna dan isi puisi itu.
Aku lalu membuka forum ini dengan bertanya, “Mengapa kalian hadir semua? Padahal Pak Wan hanya meminta beberapa perwakilan saja.”
Adit, sebagai ketua kelas menjawab, “Kami ingin menunjukkan perubahan sikap kepada Pak Wan. Pak Wan guru paling sabar di kelas kami. Kami merasa sangat bersalah, Pak.”
“Kami juga ingin menunjukkan ke Pak Wan kalau kami bukanlah kelas yang brandalan. Kami adalah pembelajar, Pak.” Sahut siswa lain.
Aku tertegun. “Anak seusia mereka sudah mampu menunjukkan sikap-sikap kesatria seperti itu? Benar-benar salah dugaanku. Baiklah, setelah ini akan kuganti catatan-catatan negatif tentang kelas ini dengan catatan yang positif.” Gumamku dalam hati.
Hari itu, aku berbicara banyak kepada mereka. Tentang kisah tokoh yang memiliki kesabaran di atas rata-rata manusia umumnya. Ihwal akhlak dalam menuntut ilmu juga turut kusampaikan. Setelah banyak kisah kubagi, kuizinkan mereka pulang dengan terlebih dahulu melantunkan doa-doa dan ayat yang terkait dengan belajar.
***
Saat di rumah, kubuka lagi tumpukkan buku yang sudah berdebu di lemari. Aku banyak berkutat dengan buku-buku pedagogi umum maupun perspektif Islam. Kubuka halaman demi halaman untuk mengisi kefakiran ilmuku terkait dengan belajar dan mengajar. Aku juga membuka nash-nash dari Allah SWT mengenai perintah belajar. Dari buku-buku itu aku menarik kesimpulan dan menuliskan kalimat di halaman paling awal dengan huruf kapital, “TAK ADA MURID YANG TAK BISA DIAJAR, YANG ADA HANYALAH GURU YANG TAK BISA MENGAJAR (KEKURANGAN METODE).”
Aku juga menulis refleksi kecil dalam buku catatanku bahwa sebagai seorang guru, bekal utama yang kujadikan senjata adalah keikhlasan dalam memberi ilmu. Kemudian sabar dalam menghadapi karakter siswa. Karena dengan bersabar sesuatu yang mustahil akan bisa terjadi. Bukankah batu jika terkena tetesan air terus-menerus akan berlubang juga? Itulah kuncinya. Lalu sebagai pungkasan akhir dalam catatan refleksiku aku juga menuliskan kalimat seperti ini, “GURU: YA BELAJAR, YA MENGAJAR!”
Hari itu aku banyak belajar dari anak seusia SD bahwa siapapun bisa berubah ke arah yang lebih baik. Akupun begitu. Selalu berusaha memperbaiki diri demi menyongsong perubahan peradaban yang madani di Kota Batik ini. Semoga.
*SELESAI*
Karya : Abdul Mukhlis (Pemerhati pendidikan dan tenaga pengajar di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Pekalongan)
Komentarnya gan