Di dalam kereta, aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan. Ia sedang membaca sebuah buku yang juga aku miliki di rumah. Judulnya ‘Hujan Bulan Juni’ karya Sapardi Djoko Damono.
Aku menatapnya sekali lagi. Adakah yang lebih cantik dari seorang perempuan yang sedang duduk di kerata sambil membaca buku sedang di luar hujan sedang rintik-rintik. Bagiku, ini lebih puisi dari puisi itu sendiri.
Digerakkan oleh keindahan, aku akhirnya berani bertanya, “baca buku, ya?”
Ia terkaget. Ia jeda membaca, menoleh padaku, “Eh, iya.” Lalu ia tersenyum. Cantik sekali.
“Suka baca buku, ya?” Aku bertanya lagi, kali ini agar aku bisa lebih punya alasan untuk memandangnya.
Masih dengan tersenyum ia membalas, “iya, suka.”
“Aku juga suka sama kamu.” Aku ingin mengatakan itu, tapi urung. Tapi pokoknya, aku harus terus bertanya. Ini kesempatan.
“Masnya juga suka baca buku?” Tanpa kuduga, ia inisatif bertanya.
“Iya, suka juga.”
“Mau pinjam?” Ia menyodorkan bukunya.
Seketika aku kaget. Sepotong tangannya yang putih berada tepat di hadapanku, juga sebuah buku. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Tapi yang terjadi selanjutnya aku menerimanya. Ceroboh sekali. Aku menerimanya sedangkan aku belum mengenalnya.
Terpaksa aku membuka buku itu. Membacanya. Lebih tepatnya berusaha membacanya. Aku lebih berpikir bagaimana caranya bisa mengetahui namanya. Syukur-syukur mengenalnya lebih dalam. Tapi aku tidak berani. Lembar demi lembar yang aku bolak-balik, adalah caraku untuk menepis grogiku. Sudah berkali-kali aku meliriknya, tetapi aku tidak berani untuk bertanya lagi.
Perempuan itu kini menatap jendela. Pepohonan, rumah-rumah, ladang, tampak basah oleh hujan. Ia sendiri, tampak anggun dengan blazer cokelat, celana panjang, dan rambut bercat kuning yang diikat rapi. Hidungnya mancung, dan wajahnya teduh tidak membosankan. Jika aku kekasihnya, pipinya pasti sudah aku cium dan cubit saking gemasnya. Jika aku kekasihnya… semoga saja.
“Cantik sekali.” Entah kenapa, spontan saja aku mengucapkan itu. Sialnya, perempuan itu sepertinya mendengar dan kemudian mengarahkan wajahnya kepadaku. Sial, ia memang cantik sekali.
“Eh enggak, maksudnya ini puisinya cantik sekali.” Aku begitu gugup untuk meluruskan.
“Oh.” Perempuan itu tampak menahan senyum sebelum kemudian menatap jendela lagi.
Aku jadi malu sendiri. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi setelah kebodohan yang baru saja terjadi. Aku kembali membuka halaman selanjutnya. Sebetulnya, aku juga tersenyum ketika ia kepergok menahan senyum.
Dalam kepura-puraanku dalam membaca buku, aku masih terngiang kebodohanku itu. Alhasil, aku terus menahan senyum dan nyaris terkikik.
“Memangnya kalau baca buku, harus sambil senyam-senyum ya.” Suara itu muncul lagi. Ia tampak menoleh sedikit, dan aku melihat jelas sekali kepura-puraannya ketika ia berusaha ketus ketika bertanya itu.
“Enggak, siapa yang senyam-senyum.” Aku mengelak. Sepintas aku ikut memasang wajah ketus.
“Memangnya aku nggak tahu apa, kan dari kaca jendela aku bisa melihat wajahmu.”
Deg. Aku melihat jendela. Dan memang aku bisa melihat wajahku sendiri di sana. Ketika arah pandangan kugeser ke tepinya lagi, aku melihat wajahnya. Mendapati dirinya sedang kulihat, ia tersenyum mengejek. Aku langsung mengalihkan pandanganku, mencoba menyembunyikan senyum yang tidak bisa lagi kutahan.
“Kamu tahu definisi pengecut?” Masih dalam tatapannya di jendela, ia bertanya.
Aku tidak tahu ke mana arah pertanyaannya. Sehingga aku hanya mengatakan, “Maksudmu?”
“Aku bertanya padamu definisi pengecut. Tahu nggak? Tinggal dijawab.” Ia menegaskan lagi.
Aku tidak mau masuk dalam jebakan pertanyaannya, sehingga aku balik bertanya, “Menurutmu?”
Dengan cukup lantang aku mendengar, “Pecundang adalah mereka yang diam-diam mengagumi perempuan tetapi tidak berani untuk berkenalan.”
Aku tersinggung. Aku sudah masuk dalam jebakannya. Untungnya, aku tidak polos. Aku mencoba menyerang balik.
“Kamu tahu ciri-ciri orang merugi?”
“Menurutmu?” katanya.
Aku mengeraskan suara. “Orang yang merugi adalah mereka yang sudah tahu ada yang ingin kenalan, tetapi mereka tidak berinisiatif untuk mengenalkan dulu.”
Tidak ada respon. Aku diam. Ia diam. Aku menunggu.
“Memang sialan kalau ketemunya sesama pecinta buku. Terlalu diromantisasi.” Ia tertawa. Aku ikut tertawa.
***
Tiba-tiba teleponku berdering. Aku membukanya. Dari istriku.
“Halo, Mas.” Suara dari seberang.
“Iya, Sayang. Ada apa?”
“Putri sedang apa?”
Putri adalah anak kami. Usianya 8 tahun.
“Putri lagi saya ceritakan.”
“Cerita apa?”
“Ini lagi cerita pertemuan kita di kereta dulu.”
Istriku tertawa.
“Itu siapa, Pa?” Anakku bertanya.
“Ini mama, Nak. Mau bicara sama mama nggak?”
Putri merebut ponsel, ia mendekatkan mulutnya. Apa yang selanjutnya diucapkan sungguh mengagetkan. Putri bilang, “Cie mama papa. Cieee…”
Kami tertawa.
Tulis Komentar Anda