KOTOMONO.CO – Malam itu Gareng, Petruk dan Bagong gelisah. Karena di media-media sosial tersebar kabar tak sedap tentang Ayah mereka, Semar. Juga tersebar meme-meme yang menampilkan foto Ayah mereka yang telah diedit dan disertai kata-kata yang tak pantas.
Sebagai anak, mereka tentu merasa prihatin. Sempat terpikir oleh mereka untuk membalas. Tetapi, melihat Ayah mereka yang tak menunjukkan sikap apa-apa mereka pun menunda niat itu. Mereka tak mau jika pembalasan yang dilakukan itu malah bikin reputasi sang Ayah jadi semakin buruk. Nama baik Ayah mereka bisa semakin tercoreng gara-gara ulah balas dendam mereka.
Maka, diputuskanlah malam itu juga, mereka berkunjung ke kediaman Ayah mereka. Menemani sang Ayah yang tengah dirundung masalah, bermaksud menghibur sang Ayah.
Semar senang mereka datang ke rumah. Malam itu juga, ia menraktir makan malam. Makan nasi bungkus dan gorengan plus es teh.
“Lho Mo, Romo masih kuat minum es teh?” tanya Bagong.
Semar terkekeh. Lalu bilang, “Lho es tehnya buat kalian. Aku tidak.”
“Oooo…. Kirain Romo juga. He he he… kalau gitu jatahnya Romo buat saya ya, Mo?” seloroh Bagong.
“Ya ya, buat kamu saja. Siapa tahu es teh yang kamu minum itu bisa ngademin ati dan pikiran kalian,” celatuk Semar.
Sontak ketiga putra Semar kaget. Mereka merasa Ayah mereka, Semar, tahu kalau perasaan mereka sedang tak menentu. Ada marah yang tak ketulungan. Ada kecewa yang juga tak bisa diungkap dengan kata-kata. Juga sedih karena mereka merasa menanggung beban berat derita sang Ayah.
Sebagai anak sulung, Gareng pun memberanikan diri untuk mewakili perasaan saudara-saudaranya. “Nganu Mo, emmm… Romo kok tahu sih perasaan kami memang sedang tidak menentu? Sedang gundah gulana.”
Semar tersenyum, kemudian berkata, “Lha wajah kalian itu kelihatan murung kok. Kalian nggak jago berpura-pura. Perlu latihan akting lagi. Apa mungkin karena kalian sudah jarang manggung, sehingga nggak pinter akting lagi ya? He he he he he….”
“Romo itu loh. Ini kami sedang serius, Mo. Malah Romo ngajak guyon!” sela Petruk.
“Lha ha ha ha ha… Truk… Petruk, hidup itu jangan terlalu manteng. Jangan spaneng. Terlalu serius itu tidak baik buat kesehatan. Baik kesehatan badan, maupun kesehatan jiwa,” jawab Semar.
“Iya Mo… iya. Kami sudah sering dengar nasihat Romo yang begitu. Kami nggak harus serius. Nggak harus spaneng. Tapi ini ada masalah serius, Mo. Sangat serius!” balas Petruk.
“He he he he… sabar, Truk…. Sabar. Kamu itu mau marah pada Ramamu atau pada siapa, he? Kok nglunjak-nglunjak gitu?” tanya Semar.
“Ya akhirnya terpaksa saya harus marah sama Romo. Tadinya, aku itu marahnya sama orang-orang. Sekarang, keputusannya berubah. Yang mesti saya marahi ternyata justru Romo!” protes Petruk.
Mendengar protes itu, Bagong langsung menyela. “Truk! Sampeyan edan! Kita kan tadi sudah sepakat, kedatangan kita ke Romo ini untuk menghibur Romo. Bukan malah bikin masalah baru, Truk!”
Petruk membalas, “Gong! Kita ini sudah begitu sabar menahan perasaan kita. Tidak membalas penghinaan atas Romo kita. Tapi, apa yang kita dapat di sini? Romo malah ngajak kita guyon. Romo malah nggak mau ngerti perasaan kita sebagai anak-anaknya. Bapak macam apa itu?!”
Bagong menimpal, “Truk! Sadar Truk! Sampeyan bisa kuwalat loh!”
Gareng menyela, “Wis wis wis! Kalian kok malah tengkar sendiri. Apa kalau kalian bertengkar itu masalahnya bisa selesai? Apa kalau kalian bertengkar itu akan membuat keadaan berubah? Tidak! Malah kalau kalian bertengkar sendiri, akan ada banyak orang bertanya, sebenarnya ada maksud apa sehingga kalian bertengkar untuk membela Romo kita, Semar? Apa kalian sedang cari muka di hadapan Romo, supaya kalian diberi warisan? Memangnya, Romo kita ini kaya, sampai kalian minta warisan darinya? Atau, kalian ingin disebut-sebut jadi pahlawan, he?!”
Bagong tertunduk diam. Sementara Petruk, masih belum bisa menerima.
“Sudah… sudah. Kalian itu kok ya lucu. Nggak ada apa-apa kok malah bertengkar. Apanya yang dipertengkarkan?” sela Semar.
Petruk langsung main serobot, “Nggak ada apa-apa, Mo?! Nggak ada apa-apa bagaimana? Wong di media-media sosial saya lihat banyak orang menghina Romo kok dibilang nggak ada apa-apa.”
“Ooh.. itu to? He he he he…. Gareng, Petruk, dan kamu Bagong, kalau itu yang jadi masalahnya, ya untuk apa ditanggapi. Romo ini sudah sering dicari. Sudah pernah dimusuhi, dibenci, dihujat, dan itu semua dilakukan terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Tapi, Romo tak pernah membalasnya. Memikirkannya pun tidak,” jelas Semar.
“Lha terus?!” tanya Bagong.
“Lha kalau pikiran kita itu terfokus pada orang yang mencaci, memusuhi, membenci dan menghujat kita, apa itu nggak sia-sia namanya? Pikiran yang terfokus pada orang yang melakukan demikian pada kita justru membuat kita terganggu oleh sangkaan kita sendiri. Tetapi, bagaimana jika pikiran kita itu justru difokuskan pada siapa yang menggerakkan lidah mereka sehingga mencaciku, siapa yang menggerakkan jiwanya sehingga memusuhiku, siapa yang menggerakkan hatinya sehingga membenciku, dan siapa yang menggerakkan pikiranku sehingga membuat mulutnya mudah menghujatku? Pernahkah kalian pikirkan itu, he?”

Dengan polos, Bagong menimpal, “Anu, Mo. Yang menggerakkan itu siapa, Mo?”
Semar tersenyum, kemudian menjawab, “Siapa yang bisa menggerakkan alam semesta ini? Siapa pula yang bisa menghentikan alam semesta ini, Gong?”
Gareng, Petruk, dan Bagong terdiam. Mereka tercenung oleh kata-kata Semar.
“Gusti Pengeran itu Maha Segalanya. Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Yang sudah, yang sedang, yang akan, dan yang belum terjadi. Dia itulah yang memberi kemampuan dan kekuatan kepada orang-orang itu, sehingga lidahnya bisa mencaci, jiwanya bisa memusuhi, pikirannya bisa membenci dan bibirnya bisa menghujat. Tanpa kuasa-Nya, semua mustahil terjadi. Makanya, ketika aku dicaci, dibenci, dimusuhi, dan dihujat, itu sengaja dihadirkan oleh Gusti Pengeran. Apa tujuannya? Tujuannya, untuk melatih jiwaku agar kuat melewati rintangan dan hatiku dimantapkan ketika menghadapi godaan. Jadi, buat apa menyalahkan mereka? Untuk apa membalas mereka? Tidak perlu, ngger anak-anakku. Tidak perlu membalas. Bagiku, segala sesuatu yang terjadi pada kehidupan tidak mungkin tiba-tiba terjadi. Semua sudah diatur atas Kehendak-Nya. Maka, apapun yang aku terima kemarin, hari ini dan hari esok tidak ada yang sia-sia. Selalu ada khikmah di balik itu semua. Khikmah yang kelak akan mengubah kehidupan kita agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Eling ya, Le… Gusti Pengeran itu Maha Baik. Jadi, kalian tidak perlu terpengaruh jika dihina dan jangan mudah melambung kalau dipuji. Tidak penting dianggap baik. Karena bukan itu yang menjadi tujuan hidup. Tetapi, teruslah belajar dan berusaha agar menjadi orang yang mencintai kebaikan dan bertanggung jawab. Sekarang, kalian pulanglah. Urus keluarga dan lingkungan sebaik-baiknya, damaikan semuanya karena kalian mencintai kebaikan,” jelas Semar.
Seketika Petruk susunggukan. Ia menangis dan bersimpuh di pangkuan Semar. “Nyuwun pangapura, Mo…. Anakmu ini sudah lancang.”
“Iya, ya… Ngger anakku, Petruk. Luputmu wis tak apurani. Tapi, jangan lupa untuk selalu memohon ampunan dari Sang Maha Pengampun. Dialah, Gusti Pengeran. Gusti Allah. Sebaik-baiknya orang, tidak mungkin luput dari kesalahan dan dosa. Manusia itu gampang lupa,” jawab Semar.
Karya : Ribut Achwandi
Tulis Komentar Anda