Sebuah kedai ujung gang malam itu terlihat masih ramai. Meski jam menunjukkan satu dini hari. Mereka bermain dadu, judi, bahkan ada yang sudah pingsan karena mabuk. Sesekali diiringi gelak tawa para pemuda, apabila memenangkan perjudian. Pak Toh sebagai ketua dari sekelompok itu, setiap malam tidak absen untuk mampir di kedai kecil Mbok Dah.
Selepas magrib dia sudah nangkring bersama dua kawannya yang kurus dan berambut keriting, satunya agak gempal dengan warna kulit legam. Perkumpulan itu bukan hanya semata perkumpulan, mereka bertaruh judi, bahkan berlomba minum arak dan siapa yang paling hebat minum, maka akan diberi uang. Serta misi-misi lainnya, hanya untuk kesenangan sementara.
Johan berjalan sempoyongan memasuki pekarangan rumah, ketika jam menunjukkan angka dua. Sarinah istrinya sampai tertidur di depan pintu, hanya untuk menunggu suaminya pulang. Johan tiba dalam keadaan mabuk, ia mengedor pintu seperti kesurupan, Sarinah tertidur di dekat pintu terkesiap dan bergegas membuka.
“Aduh Mas, mabuk lagi ya.”
Ia berusaha menyeimbangkan tubuh Johan yang hampir tumbang di bahunya, bau alkohol menguar, perempuan itu berusaha menyeimbangkan tubuh suaminya yang lunglai, sambil menutup hidung karena aroma alkohol yang menyengat. Ia perlahan membaringkan Johan ke atas tempat tidur, mengganti pakaian, lalu menyelimutinya.
Johan terbangun, saat sinar matahari menembus jendela kamar dan menyilaukan wajahnya, lalu melihat jam sudah menunjukkan angka delapan, sontak lelaki itu kaget, lalu bergegas mengambil handuk untuk mandi. Ia melihat Sarinah sedang mencuci piring.
“Kenapa tidak bangunkan Mas lebih awal dik?”
Ia bertanya pada istrinya ketika berdiri di ambang pintu kamar mandi
“Kan hari ini hari minggu, Mas libur kerja.”
Lelaki itu terdiam, tak menyahut lalu menutup pintu kamar mandi, terdengar suara pancuran air dari wastafel. Sarinah hanya menatap sedih ke arah kamar mandi.
“Cepat mandi Mas, habis ini kita takziah ya.”
Tak ada sahutan, perempuan itu kemudian duduk di kursi makan. Lalu menuangkan nasi ke dua piring, Ia dan suaminya. Tidak lama Johan menyusul dan mengambil nasi goreng buatan Sarinah.
“Kamu mau takziah, siapa yang meninggal?”
Tanyanya sambil menyuap sesendok nasi goreng, sambil berbicara.
“Pak Kadir Mas, tadi malam meninggal.”
“Kamu kok tidak kasih tahu Mas tadi malam.”
“Bagaimana mau kasih tahu, Mas saja pulang jam 2 subuh.”
Johan terdiam, ia mulai mengingat sedikit demi sedikit, dirinya menggedor pintu begitu keras, dipapah istrinya ke tempat tidur, dia mabuk lagi.
“Maafkan Mas Nah, aku khilaf.”
“Sudahlah Mas, tidak tepat membicarakan itu di saat makan, nanti bicaranya habis selesai takziah pak Kadir saja.”
Sarinah cepat-cepat menyelesaikan makannya, lalu meninggalkan Johan begitu saja, bersiap pergi ke rumah Pak Kadir, diantar oleh suaminya.
“Mas, kamu mau ke mana?”
tanyanya pada Johan yang hendak menyalakan mesin motor, Setelah menurunkan istrinya
“Mau pulang, kan cuman mengantar.”
“Kamu harus ikut Mas, dia paman aku, paman kamu juga, enggak baik kalau sikap kamu begini terus.”
Ucap Sarinah nadanya mulai meninggi sambil berbisik, agak ditekan.
“Terus aku harus bagaimana?”
Johan berlagak bodoh, juga ikut berbisik
“Turun dari motor Mas, ikut juga takziah, hingga memakamkan.”
Sarinah makin geram
“Tapi Nah, Mas …”
Sarinah mencengkeram tangan Johan, ia mendesak untuk turun. Sebagian orang yang takziah memandang heran. Johan buru-buru turun dan ikut tahlilan di rumah Almarhum pak Kadir, sedangkan Sarinah bergabung bersama ibu-ibu di belakang dengan perasaan berapi-api.
***
“Inah tak mau jadi istri durhaka Mas, juga tak mau Mas jadi lelaki yang dimurkai Tuhan.”
Wanita itu menangis meraung, sambil memeluk bantal sofa. Sedangkan Johan tertunduk prustasi
“Maafkan Mas Nah, Mas Khilaf. Tadi malam niatnya cuman beli rokok, tapi Mas disuruh paksa minum oleh mereka.”
“Bukan Khilaf kalau sudah berkali-kali, itu ketagihan. Kan Mas janji tak akan minum lagi.”
Johan tak bisa menjawab, ia berusaha merangkul bahu Sarinah yang terisak
“Kamu tahu, Membiasakan untuk terbiasa itu sulit Nah.”
“Jangan ke kedai Mbok Dah itu lagi Mas, untuk kumpul bersama pak Noh dan kawan-kawannya, Itu kuncinya.”
Suara Sarinah sedikit ditekan, sambil melepas pelukan Johan.
“Tapi aku tak bisa Nah, pak Noh itu ..”
“Ada apa dengan pak Noh Mas, kenapa?” Sarinah prustasi, ia melempar bantal yang di peluknya ke arah Johan.
“Mas punya hutang 10 juta sama pak Noh, karena kalah judi, Mas pinjam uang dari pak Noh buat taruhan.”
Sarinah tertawa pedih, ia menatap suaminya seperti seorang pembunuh.
“Apa aku harus jual diri Mas, atau kita jual tanah warisan Bapak.”
Ucap wanita itu sambil tersenyum sinis, bersimbah air mata, sambil menatap tajam suaminya
“Jangan Nah, Jangan, jangan.”
Johan segera memeluk istrinya. Ia meminta maaf berulang kali, tapi Sarinah malah mengamuk, ia menghamburkan kain-kain dan melempar alat masak karena prustasi, sedangkan Johan hanya gemetaran memeluk lutut, ketakutan melihat istrinya yang marah besar.
***
Sejak kejadian itu, Johan tidak pernah lagi muncul di kedai Mbok Dah. Ia lebih banyak di rumah. Pak Noh pun terheran-heran, keesokan harinya Sarinah mendatangi rumah pak Noh dan membayar hutang suaminya, ia juga mendatangi kedai Mbok Dah untuk membayar hutang-hutang Johan yang masih ada. Kebetulan di sana Pak Noh sedang duduk bersama pemuda lainnya saat sedang bermain judi.
“Hei Nah, Mana suamimu itu, akhir-akhir ini dia jarang mampir ke kedaiku.”
Mbok Dah menyikut lengan Sarinah. Perempuan itu hanya datar, sambil memilih belanjaan.
“Jangan terlalu polos kau Nah. Tiap hari pakai jilbab, sesekali buka, juga biarkan suamimu bersenang-senang.”
Mbok Dah tetap tak menyerah, Sarinah masih datar
“Kasihan si Johan, dapat istri yang menekan suaminya. Pasti menderita.”
Ucap Mbok Dah lagi sambil menyusun barang, Sarinah terdiam.
“Mbok Dah, sampai bila kau jual barang-barang haram itu, siang malam pemuda di kampung ini mabuk dan berjudi di kedai ini. Apa tak takut sama azab Tuhan?”
Mendengar ucapan Sarinah, membuat orang-orang di sana terhenyak dan menatap tajam wanita itu
“Apa katamu, azab. Hei perempuan sok suci, jangan berdakwah di tempatku. Aku mencari rezeki, bukan urusanmu.”
Mbok Dah naik pitam
“Maaf Mbok, apa pun yang kulakukan untuk suamiku, itu urusanku. Bukan urusan Mbok, jangan mengataiku yang tidak-tidak.”
Tegas wanita itu seraya meletakkan uang pas, lalu beranjak pergi, di saat tatapan-tatapan meremehkan mengarah padanya. Pak Noh menatap tajam Sarinah, ia tersenyum sinis sambil meminum segelas alkohol
“Dasar perempuan tak tahu diri.” Umpatnya berdesis.
***
Johan mulai membiasakan diri untuk menjadi lebih baik, mendirikan Shalat lima waktu, membaca Alqur’an, pergi Shalat jum,at. Meski agak sulit. Sarinah selalu mendorong suaminya itu untuk bertobat atas perbuatannya selama ini. Demi hutang suaminya pula, ia rela menjual sebaris kebun demi mendamaikan permasalahan suaminya dan pak Noh.
Lelaki itu tidak pernah puas jika belum menjerumuskan suaminya ke perbuatan buruk, hingga tunduk di bawah perintahnya. Johan pada asalnya adalah lelaki baik-baik, semenjak pindah ke tempat mereka sekarang, pergaulannya juga mulai berubah. Dari coba-coba hingga jadi ketagihan.
“Mantap betul Han, jadi ust kau sekarang haha ..”
Rombongan Pak Noh dan anak buahnya tergelak melihat Johan pulang dari Shalat jum,at. Ingin sekali lelaki itu turun dan meninju kepala botak Pak Noh. Tapi dia teringat pesan Sarinah.
“Ingat Mas, apa pun yang kau dengar karena penampilan dan kebiasaan Mas berubah. jangan hiraukan, apa Mas mau Mati tanpa iman?”
Johan termasuk lelaki yang begitu sangat menyayangi istrinya, ia juga tak pandai memukul. Meski semarah apa pun Sarinah, ia tetap sabar.
“Kalau Mas masih mau bermaksiat, tiba-tiba meninggal besok bagaimana?”
Johan bergidik mendengar kata meninggal, masih terbayang bagaimana prosesi pemakaman pak Kadir, ia melihat semuanya dari awal hingga akhir. Sejak itu Johan benar-benar takut jika Tuhan murka dan mencabut nyawanya dalam keadaan bermaksiat. Melihat kematian membuatnya sedikit melemah dan mau berubah.
“Mulai sekarang jangan mengurung diri jika ada acara keagamaan, mau pun ada yang meninggal.
Sarinah memperingatkan suaminya.
“Tapi Nah, bukannya orang yang baik biasanya cepat diambil Tuhan, seperti Azam setahun lalu, dia alim dan terkenal santun.”
“Iya terus Mas takut cepat meninggal?”
Sarinah bertanya sambil mencuci sayur, menatap Johan di meja makan yang sedang makan kerupuk, lelaki itu terhenti mengunyah.
“Ya tentu takut, kata penduduk si Azam sangat baik, makanya diambil Tuhan, karena yang maha kuasa sayang sama Azam.”
“Mas, mau muda atau pun tua, setiap manusia sudah mempunyai takaran masing-masing, Azam meninggal karena memang umurnya sudah sampai.”
“Tapi Nah, si Fatimah juga begitu toh, enam bulan lalu, perempuan itu sangat baik, sempurna pokoknya, umur enam belas tahun sudah meninggal.
“Lah Mas, itu kan kata Inah hanya umur, belum tentu yang bermaksiat juga panjang umur.”
“Tapi Pak Noh masih panjang itu umurnya”
Sarinah tergelak mendengar perkataan polos suaminya
“Itu namanya istidraj Mas.”
“Apa itu dik.”
Johan semakin serius, Sarinah mencubit pipi suaminya, sehingga membuat lelaki itu salah tingkah
“Kamu tampan juga pakai peci Mas.”
Ucap Sarinah sambil menggoda
“Jangan menggodaku, jawab pertanyaan Mas.”
“Istidraj itu, manusia diberi kenikmatan berlimpah, baik dalam harta, kedudukan dan karier, termasuk umur panjang. Tanpa diberi Allah ujian, tapi ketahuilah Mas, ibarat laut yang tenang apa menjamin akan aman?”
Johan hanya menggeleng sambil meminum kopinya
“Jangan tertipu dengan tenangnya laut.” jawabnya Johan kemudian
“Nah Mas pintar. Begitu juga Mas, di balik kenikmatan orang yang berbuat maksiat, ada rahasia murka Tuhan yang akan kita terima, apa bila manusia itu tidak bertobat, tidak di dunia tapi di akhirat kelak, balasannya akan besar.”
Johan mengangguk-angguk, ia sedikit bergidik mendengar penjelasan istrinya. Tiba-tiba sebuah ketukan pintu dari depan, membuat mereka terkesima. Johan bergegas membuka pintu diikuti oleh Sarinah.
“Warung Mbok Dah kebakaran, Mbok Dah dan Pak Noh sudah meninggal karena terbakar, Ayok bantu para warga memadamkan api”
“Innalillahi, baik-baik pak.”
Ucap Johan menimpali
Kaget bercampur sedih, Sarinah memeluk Johan seketika, ia menangis haru sambil mengucap istigfar berulang. Johan juga sama terkejutnya, saat mendengar kabar bahwa rombongan pak Noh waktu itu sedang mabuk di dalam kedai Mbok Dah, tak sempat menyelamatkan diri, demikian juga Mbok Dah yang meninggal karena kejatuhan kayu yang terbakar.
Di dalam hati ia bersyukur sudah tidak lagi ikut dalam sekelompok pak Noh, jika masih mungkin nasibnya akan sama. Meninggal dalam keadaan bermaksiat. Di samping itu ia juga merasa sedih, walau bagaimana pun pak Noh dan Mbok Dah adalah warga mereka. Meninggal dalam keadaan yang tak bagus, menjadi cerita yang tak baik pula, diingat oleh masyarakat dalam waktu lama karena banyak masyarakat yang selama ini tidak suka dengan sikap pak Noh dan Mbok Dah yang membiarkan kedainya untuk tempat perjudian.
Karena sikap pak Noh berkuasa dan biasa menindas warga, makanya seorang pun tak ada yang berani menentang. Semakin membuat hatinya yakin. Bahwa berbuat baik harus dari sekarang, bukan takut bertobat karena cepat dijemput Tuhan, lebih menakutkan lagi jika kita menghadap Tuhan dalam keadaan bermaksiat.
Komentarnya gan