KOTOMONO.CO – Banyak yang belum mengetahui bahwa wilayah Pekalongan memiliki banyak sekali peninggalan purbakala dan situs arkeologi dari zaman Hindu – Buddha abad ke-9 masehi.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan EFEO (Ecole Francaise d’Extreme-Orient)-Perancis melakukan survei arkeologi yang memeperlihatkan distribusi sebaran situs Arkeologi di Pekalongan, paling utara ditemukan Situs Gumuk Sigit yang berada di Rejosari (Bojong) yang dipertanggalkan sekitar abad ke-9/10 M.
Hal ini menunjukan bahwa pada sekitar abad tersebut wilayah paling luar dari Pekalongan (pantai utara Pekalongan) setidaknya berada di wilayah Bojong. Berikut ini sejumlah temuan penting Situs Cagar Budaya dari periode Hindu-Buddha di Pekalongan.
Situs Arkeologi Pekalongan
-
Situs Gumuk Sigit
Situs ini terletak di dukuh dua desa Rejosari Kecamatan Bojong. Berada di areal pedataran / lahan pertanian irigasi milik desa yang kini digarap oleh Bapak Wiyargi. Di lokasi ini terdapat satu gumuk (istilah untuk menyebut bukit kecil dalam bahasa Jawa) berdiameter 6 x 6 meter persegi dengan ketinggian sekitar 1-1,5 meter dpl.
Pada awalnya gumuk ini berbentuk gundukan kecil setinggi 2 meter dari permukaan lahan pertanian, tetapi pada tahun 2012 masyarakat berinisiatif merekonstruksi kembali menjadi sebuah punden berundak setelah melihat banyaknya temuan batu andesit berukuran boulder di sebelah timur gumuk.

Sebelum tahun 2000an, areal di sekitar gumuk ini banyak ditemukan fragmen keramik dan tembikar. Namun yang tersisa saat ini adalah dua guci keramik berukuran kecil yang berasal dari Cina yang disimpan di Balaidesa setempat. Kedua guci keramik ini dalam kondisi utuh, sebagian masih terlihat glasir berwarna hijau mengkilat.
Baca juga : Situs Gumuk Sigit Desa Rejosari Bojong Kabupaten Pekalongan
Yang paling kecil berbentuk bulat dengan dua pegangan berdiameter dasar sektar 9 cm dan tinffi 7,5 cm dengan diameter atas sekitar 6 cm. Satunya lagi berukuran lebih besar yang memiliki empat pegangan dengan tinggi 16 cm dengan diameter dasar 11,5 cm. Kedua benda ini diduga sebagai tembikar periode Tang abad ke-9-10 masehi. Selain guci keramik, fragmen tembikat juga cukup banyak ditemukan di sekitar gumuk.
Temuan ini memberi indikasi bahwa Gumuk Sigit telah digunakan sejak periode Hindu-Buddha di Pekalongan, nemun demikian bentuk sisa tinggalan bangunannya belum dapat diketahui secara pasti. Diduga dari kosentrasi batuan andesit berukuran boulder dengan diameter >20 cm ini bisa menjadi batuan yang digunakan untuk menyusun bangunan punden berundak.
-
Situs Kaso
Situs Kaso secara administrasi berada di Desa Krajan kecamatan Doro. Situs ini berada tidak jauh dari Pasar Doro, di halaman belakang rumah penduduk, dengan dengan sungai Senti. Di situs ini ditemukan satu jaladwara dan batu bulat berukuran kecil. Menurut penduduk sekitar, Jaladwara dihiasi oleh tokoh wanita yang bernama Nyai Modreng.
Jaladwara ini juga telah dilaporkan berdama dengan sebuah Lingga dan kedua benda ini akhirnya ditempatkan di Museum Ronggowarsito. Kemungkikan Jaladwara tersebut tidak berasal dari Doro,karena seorang Belanda, Den Hamer yang bekerja di Doro melaporkan bahwa Jaladwara tersebut dibawa dari Rogoselo pada tahun 1893. Dan tokoh yang terdapat pada Jaladwara ini dikenal sebagai “Prawan Soenti”.
Jaladwara ini dapat dikatakan cukup unik karena menggambarkan wanita yang berambut panjang dalam posisi duduk diatar seekor buaya dengan kedua tangan memegang rahang buaya tersebut. Biasanya pada Jaladwara periode Hindu-Buddha berupa makara yakni makhluk mitologi antara gajah dan ikan. Sebagai pancuran air (Jaladwara) biasanya ditemukan pada sendang / petirtaan yang disucikan.
Besar kemungkinan jika Jaladwara ini berasal dari Situs Rogoselo mengingat jenis batuan yang digunakan untuk membuatnya memiliki kesamaan dengan batuan yang digunakan untuk membuat Dwarapala (Arca Baron Sekeber) yakni berasal dari batuan breksi vulkanik kasar. Jenis batuan ini termasuk yang jarang dgunakan untuk membuat arca mengingat sifat batuannya yang sudah dibentuk menjadi arca.
-
Situs Rogoselo (Baron Sekeber)
Situs ini berada di sebuah bukit kecil di tepi sungai Rogoselo, yang dibuat berundak-undak. Masing-masing undak diperkuat dengan susunan batu kali berukuran 10-20 cm. Pada teras terbawah terdapat satu batu alam yang berukuran tinggi 38 cm dan diameter 85 cm. Pada bagian atas permukaan dibuat lubang berukuran 28 cm. Teras kedua sedikit lebih tinggi dan diberi penguat berupa susunan batu.
Di teras terbawah juga ditemukan dua arca dwarapala berukuran besar dan batu-batu tegak (menhir). Batu tegak ini tidak beraturan dengan tinggi sekiat 60-76 cm dan diameter sekitar 30-40 cm.
Arca dwarapala disini dibuat dari batuan breksi vulkanik yang sangat kasar. Arca digambarkan dengan bola mata yang bulat dan besar, gigi besar dan bertaring. Gaya seni pahat arcanya memiliki kemiripan dengan arca dwarapala pada periode Majapahit (abad 13-14 M). Arca yang paling besar berukuran tinggi 1,4 meter dengan diameter 1,3 meter, sedangkan yang kecil berukuran tinggi 95 cm dan sebagian badannya masih tertimbun tanah.

Keunikan yang ditemukan pada arca Dwarapala Rogoselo ini tidak ditempatkannya untuk menjaga candi atau petirtaan atau tempat bangunan suci yang biasa dikenal di dalam agama Hindu-Buddha. Sebaliknya, arca ini ditempatkan disana untuk menjaga sebuah punden berundak. Temuan kondisi demikian belum ada di tempat lain karena biasanya punden berundak digunakan untuk sarana pemujaan pada masa prasejarah atau setidaknya merupakan tradisi berlanjut pemujaan nenek moyang.
Baca juga : Mengenal Patung Dwarapala “Baron Sekeber” Rogoselo
Di dalam laporan N.J.Krom tentang Situs Rogoselo disebutkan bahwa disamping tinggalan masa Hindu-Buddha juga ditemukan tiga kuburan. Yakni pada kuburan yang paling atas adalah kuburan “Kyai Matas Angin”, kuburan ini ditandai oleh dua batu tegak yang rata sebagai nisannya. Sekitar 500 meter dari kuburan pertama terdapat kuburan “Pangerang Dipan” atau “Gara Manik” yang kuburannya ditata dengan batu kali. Kemudian sekitar 50 meter dari kuburan kedua ini dikenal oleh masyarakat sebagai kuburan “Pangerang Sling-singan”.
Satu inskripsi modern berhuruf Jawa pertengahan juga ditemukan di tempat ini. Inskripsi tersebut kini berada di Museum Nasional di Jakarta.
-
Situs Pendopo Krisno
Situs pendopo krisno ini berada di Desa Suroloyo, Lemah Abang, Doro. Situs Pendopo Krisno adalah sebuah bukit kecil yang berukuran sekitar 10 x 13 meter. Di dekat bukit ini terdapat susunan batu sungai lain yang dibentuk persegi empat berukuran 4,3 x 4,3 meter. Tempat ini dikenal oleh masyarakat sebagai “Pendopo Krisno”. Lokasi situs ini berada di areal perkebunan warga sekitar 300 meter di belakang kantor Desa Lemah Abang.
Di dalam laporan Belanda, pada situs ini ada tiga bukit kecil yang berukuran 3,4 x 3,4 meter, 4,2 x 4,2 meter dan 5,1 x 5,1 meter. Masyarakat menyebut tempat ini sebagai peninggalan kerajaan kuna yang bernama “Miroloyo”. Nama Miroloyo masih digunakan untuk menandakan Suroloyo di dalam pertunjukan wayang sampai sekarang. Meski demikian belum ada data tertulis yang dapat mendukung tentang esistensi kerajaan Miroloyo pada periode Jawa Kuna di Pekalongan.
-
Candi Lemah Abang
Siapa sangka di Pekalongan ada sebuah candi peninggalan kuna yang masih meninggalkan cerita misteri. Candi Lemah Abang ini baru ditemukan pada bulan Oktober setelah laporan polisi hutan yang menyampaikan adanya temuan sisa struktur kepada kepala desa setempat.
Kemudian tim peneliti berkesempatan untuk meninjau lokasi situs yang lokasinya berada di kaki bukit berbatasan dengan kawasan hutan lindung Petungkriyono. Melihat kondisinya di bawah bukit candi (nama bukit candi berasal dari masyarakat sendiri sebelum candi ini ditemukan) tampaknya sisa struktur ini beru terungkap kembali setelah adanya longsoran tanah di areal candi.
Disebelah barat sisa candi yang berjarak kurang lebih 300 meter terdapat sumber air yang juga dinamai sumber candi. Aliran airnya mengarah ke sisa candi lalu masuk ke sungai besar yang berada di sisi timur, sungai tersebut adalah Sungai Welo.
Di sebelah timur laut 400 meter dari temuan candi dan hanya berjarak 20 meter dari tepi sungai welo juga ditemukan satu Yoni berukuran besar terbuat dari batuan andesit. Saat ini Yoni tersebut berada di areal persawahan warga. Ada kemungkinan Yoni ini berasal dari Candi Lemah Abang yang kemudian dipindahkan karena ada masalah dengan lokasi candi yang tepat berada di kaki bukit.
Sejak ditemukannya kembali sampai dilakukan ekskavasi, telah ada sekelompok masyarakat yang mencoba menggali di situs ini. Beberapa temuan penting yang diperoleh masyarakat di Candi lemah Abang ini adalah Kendi keramik setinggi 20 cm dan beberapa fragmen keramik lainnya.
Temuan menarik dari situs ini adalah tampaknya susunan candi dibangun diatas bangunan lain yang lebih tua yang disusun dari batuan andesit berukuran boulder. Besar kemungkinan bangunan pertama sebelum candi ini adalah bangunan punden berundak. Indikasinya terlihat di dalam kotak akskavasi yang susunan batu untuk punden ditata cukup rapi. Pertanggalan absolut pada temuan arang di susunan batu untuk punden ini diperoleh hasil sekitar 1 SM – 1 M. Artinya sebelum dibangun candi, di lokasi ini sudah ada terlebih dahulu punden berundak dari periode awal milenum pertama.
Candi ini memiliki ruang utama di bagian tengah dan pagar keliling. Diantaranya ruang utama dan pagar keliling inilah terdapat selasar yang lantainya disusun dari batu andesit. Dilihat dari temuan fragmen batuan penyusunnya, tidak ada indikasi adanya batuan yang biasa ditemukan pada bagian atas candi seperti antefiks atau bagian puncak cnadi.
Oleh karena itu, terlalu dini jika dikatakan bahwa struktur bangunan yang ditemukan ini adalah sebuah bangunan candi yang lengkap seperti candi pada umumnya. Tetapi terbuka kemungkinan bahwa struktur bangunan ini adalah satu bangunan batur yang ditinggikan berukuran 5 x 5 meter dan dikelilingi oleh lantai batu dan dibentengi oleh dinding batu. Diatas batur tanah yang ditinggikan ini diletakan Yoni sebagai obyek pemujaan. Seperti yang terjadi pada candi Kimpulan Yogyakarta. Yoni yang dimaksud bisa jadi adalah Yoni yang ditemukan tidak jauh dari situs dan dekat dengan sungai welo.
-
Situs Nagapertala
Situs arkeologi Nagapertala ini berada di Dusun Tlogopakis Petungkriyono dan berada di puncak bukit antara sungai sumnia dan Plawangan. Masyarakat mengenal situs ini sebagai Situs Nagapertala. Situs ini berupa satu Yoni besar yang kini sudah diberi cungkup. Didalam cungkup juga ditemukan dua arca batu Ganesha dalam kondisi rusak.
Kemudian Yoni ini diberi hiasan naga yang mahkotanya diberi hiasan yang biasa digunakan untuk arca-arca periode Majapahit. Sebuah kekhasan dari Yoni ini adalah bahwa bagian tubuh naga dijadikan tempat (dasaran) untuk meletakkan Yoni.
Yoni dari Situs Nagapertala ini tergolong istimewa dan unik karena disangga oleh tubuh naga yang dibuat melingkar. Tubuh naga ini dibuat sangat halus dan diberi hiasan berupa antefiks pada keempat suduh dan sisinya serta detail ornamen-ornamen lainnya yang cukup menggambarkan kemewahan.
Lokasinya yang berada di areal persawahan. Air yang mengalir keluar dari Yoni itu diyakini memberikan kehidupan bagi seluruh aspek di dunia ini. Karena Lingga-Yoni selalu dijadikan simbol kesuburan.
Ketika Lingga-yoni tidak diletakkan di dalam candi, biasanya akan berada di lokasi dimana air akan memberikan kesuburan bagi sekelilingnya. Jelas bahwa lingga-yoni nagapertala menggambarkan pencarian air amerta dimana naga basuki melilit gunung Mandara yang direpresentasikan pada yoni.
-
Situs Gedong
Situs Gedong ini berada di Dusun Kambangan Tlogopakis antara jalan dan sungai larangan. Dilaporkan bahwa dahulu di tempat ini ditemukan dua arca salah satunya arca Ganesha berukutan lebar 63 cm dan tinggi 50 cm. Dan satu arca yang disebut sebagai Arca Polynesia, menggambarkan tokoh seorang laki-laki kedua tangannya diletakkan di depan dada seperti seorang yang melakukan semedi. Namun sayang, arca ganesha ini dilaporkan hilang pada tahun 1995 yang lalu.
-
Situs Candi
Situs candi ini berada di dusun Candi desa Yosorejo Petungkriyono. Menurut penduduk situs ini dahulu ditemukan satu pondasi candi berukuran 6 x 6 meter yang terbuat dari batu dan salah satu sisinya berada di jalan raya sekarang. Batu candi ini kabarnya dahulu digunakan untuk membuat jalan raya tersebut. Yang tersisa tinggal yoni dan 5 lingga semu. Namun kini tinggalan tersebut juga sudah tidak diketahui lagi.
-
Situs Yosorejo
Situs ini berada di sebuah rumah warga yang pernah ditemukan wadah guci berisi satu perangkat alat pertukangan dan satu perangkat alat upacara keagamaan. Lokasinya di dusun Candi, desa Yosorejo, Petungkriyono. Di dusun Candi ini ada satu guci keramik dari masa Tang berwarna hijau terang dipertanggalkan sekitar abad ke-9/10 masehi.
Dalam guci ini ditemukan 23 alat besi yang di bawahnya diletakkan alat upacara berbahan perunggu seperti : tiga buah lonceng, satu Bel bulat dan berbagai fragmen alat lainnya seperti dua wadah perunggu, dan satu alat pembakaran. Alat ini jelas digunakan pada periode Hindu-Buddha dan dekat dengan masa Mataram Kuna daripada masa Jawa Timuran. Hasil pertanggalan absolut terhadap peralatan diperoleh hasil sekitar abad ke-10 masehi.
Baca juga : Keris Suratman, Keris Legendaris Asal Pekalongan
Selain alat upacara di dalam guci ini juga ditemukan sejumlah alat pertukangan yang sebagian besar sudah terkorosif namun masih bisa dikenali bentuknya. Beberapa alat pertukangan yang masih dapat diamati adalah beji dan kapak.
-
Situs Gumelem
Situs Gumelen ini berada di blok Ngerco desa Gumelen Petungkriyono. Menurut laporan Belanda, tempat ini disebut sebagai “Pertamtoe” sepanjang jalan dari Gumelem sampai Tundangan. Ada sebuah arca kecil pernah ditemukan disini. Arca tersebut antara lain yaitu dua arca Ganesha, arca tokoh dalam posisi duduk dan arca tokoh dalam posisi berdiri.
Seluruh arca terbuat dari batu. Penduduk masih mengingat adanya arca tersebut namun yang tersisa hanya batu datar tempat arca diletakkan dahulu.
-
Situs Jolotigo
Situs ini berada di dukuh Jolotigo Desa Jolotigo Kecamatan Talun. Pada tahun 2014 ada temuan arca yang berjumlah tiga buah dalam kondisi utuh(dua arca ganesha dan satu arca tiga tokoh dalam posisi berdiri berjajar) dan dua arca dalam kondisi fragmentaris (diduga sebagai arca Ganesha). Seluruh arca batu ini disimpan dirumah Bapak Jatmiko.
Lokasi penemuan arca tersebut di pemakaman milik desa Jolotigo. Arca tersebut ditemukan secara tidak sengaja ketika akan menggali lubang kubur, sedangkan arca fragmentaris ditemukan disamping rumpun bambu.
Baca juga : Sejarah Gedung Asrama Brimob (Rumah Hoo Tjien Siong) Kedungwuni
Kontur tanah kuburan yang berada di lereng perbukitan memunculkan dugaan bahwa arca tersebut telah tertimbun tanah dari bagian atas (lonsoran) sampai ditemukan kembali. Menurut penduduk setempat memang di daerah perbukitan tempat makam berada sering mengalami longsor sampai sekarang.
Temuan pada tahun 2014 ini bukanlah yang pertama kali, karena sebelumnya pada tahun 1975, Sri Soejatmi pernah melaporkan adanya temuan Yoni dan dua arca Ganesha di depan kantor perkebunan teh Jolotigo.
Selain itu beberapa arca dari Jolotigo kini berada di Museum Ronggowarsito yakni tiga arca ganesha dan lita lingga semu.
Diantara temuan arca Ganesha yang ditemukan di Jolotigo, ada satu arca yang teknik pembuatannya (pengarcaannya) berbeda. Yakni arca Ganesha digambarkan secara sederhana tanpa mahkota, bertangan dua dengan tangan kiri memegang mangkuk sedangkan tangan kanan disandarkan pada kaki kanan, memakai upawita berpita lebar di bagian punggung dan posisi duduknya kaki kiri bersila diletakkan di bawah perut sedangkan kaki kanan dalam posisi jongkok.
Arca Ganesha ini juga memperlihatkan jika dahulu telah mengenal teknik pengecatan pada arca, tampak begian yang tersisa pada alis, mata dan bagian kiri dan kanan belalainya masih meyisakan cat berwarna hitam.
Baca juga : Situs Petilasan Syekh Lemah Abang di Doro
Melihat dari temuan Arkeologi Pekalongan ini, sudah bisa dipartikan bahwa dahulu wilayah Pekalongan sudah ditempati dan mempunyai peradaban yang cukup maju. Hal ini sedikit memperkuat cerita bahwa dahulu Pekalongan ada kerajaan besar dan mempunyai pelabuhan di daerah Doro.
Peradaban Hindu – Buddha Pekalongan (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) – 2019
Berikan komentarmu