KOTOMONO.CO – Zaman sudah berubah. Cara manusia melakukan dan memperlakukan segala sesuatu pun ikut berubah. Lebih-lebih dengan kemunculan teknologi digital bikinan manusia. Semua menuntut serba cepat dan hasil yang maksimal.
Tanpa bermaksud membedakan, dulu orang cenderung suka apa adanya. Tetapi, di dalam cara pandang tradisional yang katanya sederhana itu, ada banyak kerumitan pula. Hal-hal yang oleh orang zaman sekarang dianggap sudah nggak praktis dan bikin ribet.
Salah satu bagian yang menurut cara pandang orang sekarang dianggap ribet berkenaan dengan sistem kepercayaan. Sistem ini tak hanya mengatur bagaimana seseorang meyakini sesuatu yang benar. Akan tetapi, juga berkaitan pula dengan segala hal yang ada di alam semesta ini.
Nah, bagian terakhir itu yang kerap dianggap sulit diterima oleh nalar manusia di era kini. Lantas, dengan menyederhanakan anggapan itu, diberilah cap mistik. Pengetahuan yang dikaitkan dengan alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang tak rasional dan nganeh-nganehi alias mengada-ada.
Padahal belum tentu. Boleh jadi, sistem keyakinan yang tradisional itu benar. Sedangkan, cara pandang orang kini bukannya salah, namun belum mencapai pada pemahaman yang mendalam sedalam apa yang sudah dicapai oleh sistem keyakinan orang-orang terdahulu.
Dan memang, antara masa lalu dan masa kini sejujurnya tak bisa diperbandingkan satu sama lain. Selain perbedaan yang terlampau jauh, untuk memperbandingkan keduanya mesti didukung pula dengan fakta-fakta yang layak disejajarkan. Sayang, tak banyak fakta-fakta yang cukup menunjukkan kesejajaran di antara masa lalu dan masa kini itu. Jadi, tak bisa pula ditentukan secara pasti mana yang lebih baik; masa lalu atau masa kini.
BACA JUGA : 33 Tempat Wisata Hits Purbalingga Terbaru 2021
Justru dengan semakin kita mempersoalkan mana yang lebih baik itu, tak jarang kita malah akan terlibat di dalam perdebatan panjang yang tak ada ujungnya. Yang bisa kita baca dan kita sajikan dari masa lalu dan masa kini adalah potongan-potongan fakta. Serta bagaimana sesuatu yang dari masa lalu itu bisa bertahan sampai saat sekarang. Seperti yang dilakukan oleh warga Desa Sindang, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga.
Ilmu Petungan Jawa
Di sana, warga masih kerap menggunakan ilmu petungan Jawa. Ilmu ini tergolong langka di beberapa daerah. Terutama di kawasan perkotaan.
Di dalam ilmu petungan Jawa terdapat sebuah sistem kepercayaan mengenai hitungan hari baik. Dari sinilah, warga desa kerap menggunakan ilmu petungan itu untuk keperluan mereka. Terutama ketika hendak menggelar hajatan, masa tanam, maupun lain-lainnya.
Dalam pernikahan misal, sepasang mempelai—sebelum benar-benar duduk di atas pelaminan—mereka akan dihitung dulu peruntungnan nasibnya. Dasar hitungannya menggunakan tanggal, hari, dan weton kedua calon mempelai. Selain itu, dihitung pula urutan anak, ikatan persaudaraan dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pasangan calon pengantin tersebut. Orang tua dari dua calon mempelai juga ikut dihitung.
Tradisi itu masih cukup kuat bertahan di Desa Sindang. Warga Desa Sindang masih meyakini jika ilmu petung Jawa itu ampuh. Apalagi dalam urusan membaca masa depan.
Hari Sabtu, Hari Larangan Bepergian
Kepercayaan lain yang masih berlaku di sana adalah mitos tentang hari Sabtu. Menurut petungan Jawa, hari Sabtu adalah hari larangan bagi siapapun untuk melakukan hal-hal tertentu. Seperti membeli barang berharga dan bepergian jauh.
BACA JUGA: Gula Jawa Kristal Produk Unggulan Desa Sindang, Purbalingga
Untuk keperluan membeli barang-barang, warga masih akan memperhitungkan pula hari yang tepat. Jika tidak tepat hitungannya, mereka percaya bahwa barang yang mereka beli pasti ada kecacatan atau mudah rusak atau tidak memberi manfaat apa-apa baginya.
Sementara, larangan pergi di hari Sabtu erat kaitannya dengan kesialan. Maka, sangat dilarang melakukan perjalanan jauh pada hari Sabtu. Kecuali, ketika hari sudah sore. Sebab, sejak pukul enam petang, dalam sistem hitungan hari Jawa, sudah masuk hari berikutnya, Minggu.
Weton Kliwon
Weton Kliwon juga diyakini sebagai weton yang dianjurkan agar setiap orang berhati-hati dalam melakukan aktivitas apapun. Konon, pada saat weton ini, para arwah banyak yang berkeliaran. Jika tetap memaksakan diri untuk mengabaikan peringatan itu, akibatnya akan sangat fatal. Lebih-lebih ketika weton Kliwon ini jatuh di hari Jumat.
Makanya, untuk mengantisipasi gangguan roh gentayangan pada weton Klinon, khususnya lagi Jumat Kliwon, warga dianjurkan untuk tidak mencuci baju ataupun piring, menyapu lantai rumah maupun halaman, berangkat kerja di awal waktu, bahkan ada yang meliburkan kerja karena menghormati hari tersebut. Karena mereka masih sangat percaya jika mereka tidak mengikuti beberapa anjuran akan berakibat pada diri mereka nantinya.
Sajen
Sajen juga masih kerap ditemui di desa Sindang. Sesajen biasanya dipersembahkan untuk para mendiang nenek luhur atau untuk anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Sesajen biasanya akan disajikan secara lengkap pada acara besar seperti pernikahan, khitan atau acara besar lain. Pada hari biasa pun kadang masih banyak yang menyediakan sesajen di rumah masing-masing.
BACA JUGA: Selain Owabong, Apa Sih yang Menarik di Purbalingga?
Ada banyak rupa sajen. Misalnya masakan sayur yang disenangi almarhum anggota keluarga saat masih hidup. Masakan itu biasanya dipisahkan dengan masakan yang akan disantap keluarga, lengkap dengan nasi dan minum dengan porsi sedikit. Ditambah jika ada makanan apapun, ikut disisihkan walaupun porsinya sedikit. Mereka menganggap bahwa roh yang sudah meninggal untuk ikut serta merasakan apa yang mereka makan pada hari itu.
Tahlilan
Tradisi syukuran dengan tahlilan masih menjadi kebiasaan yang lekat di desa ini. Banyak hal yang dibuat tahlil oleh mereka, seperti syukuran pada acara pernikahan, khitan, atau hajat penting. Tak hanya itu, mereka juga mengadakan tahlil jika sudah membeli kendaraan, mau pergi merantau, slametan bangun rumah atau kehamilan. Dan masih banyak hal yang kadang ditahlilkan oleh masyarakat.
Itulah beberapa hal yang masih diyakini warga Desa Sindang. Tentu, tradisi ini tak jarang menuai pertentangan dari sudut pandang yang lain. Agama misalnya. Tetapi, sebenarnya apa yang dilakukan mereka sangat kental dengan nuansa religi. Boleh jadi, itu merupakan cara warga mengekspresikan keyakinan mereka terhadap agama yang mereka anut.
BACA JUGA : Potret Tradisi Nyewu di Sindang Purbalingga
Memang sudah banyak perubahan mengenai budaya yang terjadi pada masyarakat, tetapi mereka tidak melupakan hal-hal yang dikiranya masih mereka yakini dari dulu. Walaupun budaya yang mereka lakukan adalah hal-hal mitos yang diyakini, tetapi mereka niatkan untuk kebaikan. Dan tidak ada niatan untuk meninggalkan ajaran agama Islam, mereka lakukan dengan seimbang dan sejalan. Walaupun kenyataannya memang alur berbeda dan tidak bisa disamakan.
Sebenarnya banyak hal atau budaya yang masih mereka lakukan, tetapi saya tidak ingin bercerita semuanya disini. Karena kalau diceritakan semua pasti butuh berlembar-lembar kertas berpuluh ribuan kata bahkan ratusan ribu kata. Daripada lelah membaca seharian tidak selesai, mending dibuat beberapa kali cerita.