• Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Term of Service
  • FAQ
Kotomono.co
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • DUNIA GAME
  • K-Popers
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • PUSTAKA
    • KEARIFAN LOKAL
    • UMKM
    • NGABUBURIT
    • NYASTRA
    • EDUKASI
    • RELEASE
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • DUNIA GAME
  • K-Popers
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • PUSTAKA
    • KEARIFAN LOKAL
    • UMKM
    • NGABUBURIT
    • NYASTRA
    • EDUKASI
    • RELEASE
No Result
View All Result
Kotomono.co
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • DUNIA GAME
  • K-Popers
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • LAINNYA
film Journey of the Universe

Ilustrasi: film Journey of the Universe (sumber: journeyoftheuniverse.org)

Doa untuk Semesta

Cerpen: Ribut Achwandi

Ribut Achwandi by Ribut Achwandi
Juni 19, 2022
in NYASTRA
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Diliputi udara dingin lembah yang dikelilingi gunung-gunung, seluruh warga desa tumpah ruah di dalam masjid. Mereka duduk sama rendahnya, di atas karpet berwarna hijau. Menyimak tuturan seorang kiai muda.

Di atas mimbar, kiai muda itu berdiri. Suaranya lantang, namun pesan yang ia sampaikan penuh kelembutan. Ia sampaikan perihal asal mula penciptaan manusia pertama, Nabi Adam.

Kata-katanya mengalir lancar. Bagai gemericik air yang melalui sungai-sungai. Membasahi setiap apa-apa yang kering. Memberi kesegaran bagi setiap yang kerontang. Jernih dan menjernihkan pikiran.

Ia kisahkan, bahwa dahulu ketika Tuhan menghendaki untuk mencipta manusia, diperintahlah para malaikat untuk mengambil sari pati tanah dari Bumi. Mula-mula adalah Jibril, malaikat yang tingkat ketaatannya tak diragukan lagi. Kepada Jibril, Tuhan mendaulat, agar ia mengambil sari pati tanah itu dari Bumi. Akan tetapi, ada satu syarat yang mesti dipenuhi Jibril, yaitu apabila Bumi merelakan tanahnya diambil sebagai bahan untuk mencipta manusia.

Jibril mengajukan pertanyaan, “Wahai Tuhanku, apa itu manusia?”

“Manusia adalah makhluk yang sangat Aku cintai, wahai Jibril. Dan karena besarnya rasa cinta-Ku pada manusia, maka Aku persiapkan pula untuk mereka surga dan neraka. Pabila mereka menerima cinta-Ku, maka surgalah tempatnya. Tetapi, apabila ia berpaling dari cinta-Ku, biarlah neraka yang akan mengajarkan kepada mereka apa arti cinta yang sesungguhnya,” jawab Tuhan.

Mendengar jawaban itu, Jibril masih saja ngungun. Ia masih saja belum mengerti, apa itu surga dan neraka, juga apa hubungannya dengan cinta. Jibril lantas bertanya kembali kepada Tuhan, “Wahai Tuhanku, hamba sungguh belum mengerti maksud Paduka. Hubungan apa antara surga-neraka dengan cinta, Wahai Yang Mahakasih?”

Tuhan tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lantas Ia berkata, “Kelak kau akan mengerti, hamba-Ku yang sangat aku kasihi. Sekarang pergilah ke Bumi. Katakan padanya, Aku hendak meminta sejumput tanahnya, agar Aku cipta makhluk yang sangat Aku cintai ini.”

Tak berlama-lama, Jibril segera berpamitan. Lalu, ia pun segera menuju ke Bumi. Bentang semesta ia lalui dalam kecepatan yang teramat tinggi. Dalam sekelebat, ia telah berada di hadapan Bumi, makhluk ciptaan Tuhan yang kelak akan menjadi tempat huni bagi manusia itu.

Sampai di sini, orang-orang yang duduk di dalam masjid termangu. Tatapan mereka terpusat pada sosok kiai muda itu. Mereka menunggu peristiwa apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sang kiai muda itu pun membalas tatapan orang-orang yang menatapnya. Ia lemparkan senyum. Lantas, sebuah pertanyaan ia lemparkan pula kepada seluruh yang hadir, “Kira-kira, apa yang akan terjadi Bapak-Ibu? Ada yang tahu? Kalau belum ada yang tahu, mungkin Bumi yang tahu jawabannya. Tetapi, bagaimana cara kita mengorek jawaban dari Bumi? Sementara, di antara kita saja, di antara sesama manusia saja kadang juga dilanda ketidakmengertian. Kita menjadi salah mengerti karena kita tak memahami apa maksud perkataan orang lain. Lalu, kita mudah curiga satu sama lain.”

Tampak beberapa orang mengangguk-anggukkan kepala. Sebagian lainnya membenamkan kepalanya, menunduk. Sedang, anak-anak kecil, ada yang melongo menatap penuh pada sosok kiai muda itu. Ada pula yang duduk di pangkuan sambil memainkan kancing baju ayahnya. Ada juga yang melingkarkan tubuhnya di atas pangkuan ibu mereka.

“Kira-kira, kalau manusia sebagaimana dikatakan Tuhan adalah makhluk yang paling dicintai-Nya, apakah Bumi merelakan sejumput tanahnya untuk dijadikan bahan penciptaan manusia?” tanya kiai muda itu lagi, kemudian ia sejenak menjeda pembicaraannya. Membiarkan angin malam yang membawa kabut dingin itu memasuki pintu-pintu masjid.

Beberapa orang mengangguk ragu. Beberapa yang lainnya memilih diam, menunggu kelanjutan kisah itu. Sementara sisanya, ada pula yang sekadar mendengarkan tuturan itu. Semua terdiam. Terbius oleh suasana hening yang tercipta.

Pelan-pelan, kiai muda itu melanjutkan kisah itu. Semua menyimak dengan takzim.

Kedatangan Jibril disambut dengan suka cita oleh Bumi. Wajah Bumi memancarkan rona kebahagiaan. Ia berharap, ada kabar gembira yang datang untuknya dari Jibril.

“Wahai malaikat terkasih, kabar baik apa yang kau bawa untukku, sehingga kau datang begitu tiba-tiba sampai aku tak sempat menyambutmu dengan perjamuan yang megah untuk tamu agungku ini?” tanya Bumi pada Jibril.

“Kau benar wahai Bumi, makhluk Tuhan yang paling sabar, kedatanganku tak lain untuk menyampaikan sebuah pesan dari Tuhan untukmu. Sebuah kabar yang sudah pasti akan membuatmu bahagia,” jawab Jibril.

“Apa itu? Katakanlah! Aku sudah tak sabar mendengar kabar itu, Jibril,” desak Bumi.

“Tuhan telah memilihmu sebagai makhluk yang paling bahagia, wahai Bumi. Sebab, Ia menghendaki sejumput tanahmu untuk dijadikan sebagai bahan penciptaan makhluk yang paling Tuhan cintai. Makhluk itu adalah manusia. Maka berbahagialah engkau mestinya mendengar kabar ini, wahai Bumi,” jelas Jibril.

Seketika, wajah Bumi memancarkan kegembiraan. Ia merasa menjadi makhluk paling bahagia kala itu. Dan selumrahnya, rasa bahagia dan kegembiraan itu bergayut sambut dengan besarnya rasa ingin tahu. Bumi pun lantas bertanya, “Wahai Jibril, boleh aku tahu seperti apa rupa manusia itu? Dan, bagaimana ia?”

Dengan terang-terang, Jibril lantas menjawab, “Sebagai makhluk yang paling dicintai, manusia dihadapkan pada dua kenyataan. Apabila mereka dengan segenap hati menerima cinta Tuhannya, kelak surgalah bagi mereka. Akan tetapi, jika mereka memalingkan diri dari cinta Tuhan yang menciptakan mereka, maka Tuhan telah mempersiapkan dan memerintahkan neraka untuk memberi mereka pelajaran tentang apa arti cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya.”

Seketika wajah Bumi berubah. Jawaban Jibril membuatnya benar-benar terkejut. Terlebih, ketika ia membayangkan kepedihan yang tak tertandingi yang diakibatkan oleh siksa neraka. Ia tak sanggup membayangkan jika bagian dari dirinya terjerembab ke dalam lembah kepedihan dan siksaan yang nista itu.

“Benarkah yang aku dengar ini, wahai Jibril?” tanya Bumi menyangsikan.

Jibril hanya mengangguk. Lalu, ia lanjutkan ucapannya, “Dan Tuhan telah memerintahkanku saat ini untuk mencabut dari bagian tubuhmu, sejumput sari pati tanahmu, wahai Bumi. Itu pun jika engkau mengizinkan dan merelakannya.”

“Tidak! Tidak, Jibril!” tukas Bumi, “Aku tidak akan merelakan bagian dari diriku ini masuk ke dalam neraka. Bukankah kau juga tahu, betapa pedihnya dan sakitnya neraka, wahai Jibril? Aku sungguh tak sanggup membayangkan, jika kelak ada dari sebagian tubuhku ini, yang dicipta sebagai manusia itu, tercebur ke dasar neraka. Sungguh betapa aku juga akan merasakan sakitnya, Jibril!” ucap Bumi diiringi tangisnya yang teramat pilu. Membayangkan, bagaimana jika suatu kelak manusia yang dicipta dari sebagian tubuhnya disiksa dalam neraka.

Tak kuasa menyaksikan kepiluan itu, Jibril membisu. Tak sepatah kata pun terucap.

“Sungguh, aku tidak merelakan itu terjadi, Jibril!” seru Bumi.

Jibril cuku mengerti kepiluan yang dirasakan Bumi. Ia pun tak sanggup memaksa. Pun ia mesti tunduk pada perintah Tuhan. Bahwa, ia tak bisa memaksa mencabut sejumput tanah dari Bumi tanpa restu Bumi.

“Baiklah, jika itu keputusanmu. Aku bisa mengerti perasaanmu, Bumi. Dan, sebagaimana telah diperintahkan Tuhan padaku, setidaknya aku telah menyampaikan kabar itu kepadamu. Selebihnya, aku tidak diutus untuk memaksamu menerima keputusan itu. Akan aku sampaikan keputusanmu itu di hadapan Tuhan. Sekarang, aku pamit,” pungkas Jibril yang kemudian kembali menghadap Tuhan.

Lagi-lagi, kiai muda itu menjeda kisah itu. Ia edarkan pandangan matanya ke segala penjuru. Ditatapnya orang-orang yang terhenyak dalam keheningan. Kisah itu seperti membawa mereka pada sebuah bayangan masa lampau yang teramat jauh. Melemparkan mereka ke dalam dimensi ruang-waktu yang tak terjangkau oleh nalar.

Tentang peristiwa penciptaan manusia, selama ini, yang mereka pahami semuanya seolah berjalan mulus. Tak ada dialektika yang demikian mengaduk-aduk perasaan. Tak ada sesuatu yang membuatnya demikian bermakna. Tetapi, kisah yang dituturkan kiai muda itu membuat mereka mulai berpikir, betapa besar kasih sayang yang diberikan Bumi kepada makhluk ciptaan Tuhan yang paling disayang Tuhan itu. Manusia. Dan, semua orang yang ada di dalam masjid itu adalah manusia.

“Bapak dan Ibu, Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,” sapa kiai muda itu sembari melanjutkan tuturannya, “Malaikat sekelas Jibril pun tak kuasa mencabut sejumput tanah dari Bumi. Padahal, kita semua tahu, betapa Jibril adalah malaikat yang ketaatannya luar biasa. Tetapi, ketaktegaannya, juga ketaktegaan Bumi, menunjukkan betapa manusia, termasuk kita semua ini benar-benar menjadi makhluk yang disayang Allah. Dan karena rasa cinta Allah itu pula, penciptaan manusia mesti terjadi.”

Kisah pun berlanjut. Kiai muda itu mengalirkan kisah itu lagi.

Setelah tak berhasil mencabut tanah dari Bumi, Jibril melaporkan peristiwa kegagalannya itu kepada Tuhan. Laporan itu diterima. Tuhan tak keberatan dengan kegagalan itu. Tuhan juga tahu jika hal itu akan terjadi. Dan dari peristiwa itu, Jibril pun pada akhirnya mengerti, apa dan siapa dirinya, juga bagaimana mestinya ia mesti bertindak.

“Baiklah, Jibril. Aku terima laporanmu itu. Setidaknya, kau telah melakukan apa yang menjadi tugasmu dengan baik. Kau menyampaikan pesan-Ku dengan sebaik-baiknya,” kata Tuhan kepada Jibril. “Sekarang, kembalilah ke tempatmu.”

Jibril segera beringsut. Pamit dari hadapan Tuhan.

Berikutnya, adalah Mikail. Malaikat yang menahan Matahari agar tetap pada garis orbitnya. Tuhan memanggilnya dan mengutusnya untuk melaksanakan tugas yang sama seperti Jibril, malaikat yang senantiasa ia dampingi dalam menjalankan tugasnya.

Segeralah Mikail menuju ke Bumi. Saat itu, Bumi menyambut kedatangan Mikail dengan sebuah tanda tanya besar, mengapa ia harus berhadapan dengan malaikat penyangga Matahari ini? Ada berita apa gerangan? Ada perihal penting apa yang membuatnya demikian?

Tanpa ragu, Bumi pun menyambut kedatangan Mikail dengan pertanyaan-pertanyaan, “Wahai malaikat penjaga Matahari, apakah kedatanganmu tak lebih sama dengan saudaramu, Jibril? Jika iya, maka apakah kau tak mengetahui apa yang terjadi? Kalau bukan, katakan padaku, apa maksud kedatanganmu?”

“Kau benar, wahai makhluk Tuhan yang sungguh bijaksana dan dimuliakan Tuhan. Kedatanganku tak lain untuk sebuah perihal yang kurang lebihnya sama dengan yang dilakukan saudaraku, Jibril. Dan, aku telah mendengar bahwa kau tak menginginkan itu terjadi. Lalu, apa sesungguhnya alasanmu, sehingga kau berani menolaknya, wahai Bumi?” ucap Mikail.

“Sungguh, aku sebenarnya tak menolaknya, wahai malaikat yang selalu bersama Jibril. Aku hanya tak kuasa menahan rasa pedih api neraka, jika suatu kelak ada sebagian kecil dariku yang diceburkan ke dasarnya. Dan sekarang aku bertanya padamu, apakah kau juga akan tega membiarkan bagian dari dirimu diceburkan ke dalam kolam api yang memedihkan itu walau hanya sebutir debu? Sungguh, bagiku, membayangkan hal itu terjadi membuatku seperti dibayang-bayangi oleh rasa bersalah yang teramat, yang sulit untuk aku hapus dari ingatanku,” terang Bumi pada Mikail.

Perkataan Bumi membuat Mikail terpaku membisu. Ia tak sanggup mengucapkan barang satu kata.

“Wahai malaikat yang mengedarkan matahari, bukankah kau sendiri kerap melihat, betapa semua makhluk di alam raya ini menginginkan hidup dalam rasa bahagia? Mereka tak sedikit pun menghendaki hidup dalam penderitaan. Sedang, neraka adalah seburuk-buruknya penderitaan. Senista-nistanya kehidupan. Sepedih-pedihnya siksaan. Maka, siapapun itu pastinya tak menghendaki bagian dari dirinya mengalami derita yang teramat perih. Tak terkecuali aku,” ucap Bumi.

“Aku paham. Aku cukup mengerti perasaanmu, Bumi. Dan apa yang kau ketahui tentang neraka itu membuatku cukup mengerti alasanmu itu. Aku bisa menangkap apa yang kau gambarkan itu,” balas Mikail.

Bumi tersenyum, lalu berkata, “Aku lega, kau bisa mengerti apa yang aku maksud. Tetapi, masih tersisa satu pertanyaan untukmu.”

“Apa itu?” tanya Mikail.

“Masihkah kau akan mencabut sejumput tanah dari tubuhku ini?” tanya Bumi.

“Seperti yang dititahkan padaku, Tuhan hanya memberiku izin mencabut tanahmu jika kau merelakannya. Tetapi, mendengar alasanmu itu, aku cukup tahu apa jawabanmu,” balas Mikail. “Baiklah, akan aku sampaikan alasanmu itu. Aku pamit.”

Dua malaikat telah melaksanakan tugas mereka. Tetapi, tak satu pun berhasil membawakan sejumput tanah. Mikail, malaikat penjaga matahari, pun tak sanggup melakukannya. Gambaran neraka yang diungkap oleh Bumi membuatnya dihadapkan pada bayang-bayang kehidupan yang murung. Seolah-olah tak ada daya.

Di hadapan Tuhan, selepas ia berpamitan dari Bumi, Mikail menjelaskan begitu panjang mengenai kegelisahan yang dirasakan Bumi. Wajahnya tampak murung, memikul beban penderitaan yang dirasakan Bumi. Sejak itu pula, Tuhan lantas menitahkannya untuk menjalankan tugas sebagai malaikat yang senantiasa menumbuhkan dan membangkitkan harapan setiap umat manusia dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Membagikan rezeki, mencurahkan hujan, dan menjaga keseimbangan terang sinar matahari.

Setelah sebentar mengisahkan kejadian itu, kiai muda itu sebentar menghentikan tuturannya. Agak lebih lama dari sebelumnya. Ia pejamkan mata sejenak. Kemudian, ia raih kain surban di bahunya. Ia usap wajahnya yang tampak mulai berkeringat. Lalu, ia usap pula kedua matanya. Setitik air mata berlinangan di sudut kedua matanya.

Orang-orang terdiam. Beberapa sesepuh dan takmir masjid, badan mereka tampak sedikit menyorong ke depan. Mereka saling bertatapan satu sama lain. Tampak pula raut wajah yang mulai gelisah. Beberapa pula tampak mereka saling berbisik.

Salah seorang kiai sepuh kampung mendekatkan wajahnya ke Pak Lebe. Ia berbisik, “Pak Lebe, kalau memang beliau tak sanggup meneruskan, lebih baik disudahi saja, Pak.”

Pak Lebe mengangguk. Lekas-lekas ia berancang-ancang bangkit dari duduknya. Tetapi, kiai muda itu rupanya mengetahui gelagat itu dan segera mencegahnya. Kiai muda itu tersenyum dan mengangguk kecil kepada Pak Lebe.

Lantas, dengan suaranya yang agak parau, kiai muda itu berkata, “Ini tadi saya kelilipan kok. Nggak apa-apa. Yang namanya kelilipan itu juga rezeki. Supaya kita lebih banyak bersyukur, bahwa ternyata kita masih diberi mata yang sehat, sehingga bisa melihat dengan sebaik-baiknya, dan mengambil hikmah, mana yang baik untuk kita dan mana yang buruk.”

Pak Lebe kembali duduk bersila. Para sesepuh desa pun kembali lega.

“Baiklah, Bapak-Ibu dan Saudara-saudaraku sekalian, masih kita lanjutkan pengajian ini ya?” tanya kiai muda itu kepada semua yang hadir. “Sebab, kalau nggak dilanjutkan, eman-eman. Seperti orang kalau sedang enak-enaknya makan nasi kebuli, eh tiba-tiba kok mules. Kan jadi nggak tuntas, nggak enak, dan bikin kita kehilangan nafsu makan, ya kan?”

Ucapan itu disambut tawa seluruh yang hadir. Meski mereka sesungguhnya tak mengerti apa yang sesungguhnya berkecamuk di dalam diri kiai muda itu. Bagi mereka, apa yang dituturkan kiai muda itu adalah hal yang baru saja mereka dengar. Sebelumnya, mereka tak pernah mendengar kisah itu.

Tentu, sesuatu yang baru didengar menjadi perihal menarik. Apalagi ketika disampaikan dengan gaya yang enteng-entengan.

Sejenak, kiai muda itu menghela napas. Lalu, melanjutkan kembali kisah itu.

“Dua malaikat gagal menjalankan misi. Lha kira-kira, siapa lagi yang bakal diutus Gusti Allah untuk menjalankan misi itu, Bapak-Ibu? Ada yang tahu?” tanya kiai muda itu.

Tak ada yang menjawab. Mungkin karena tak tahu. Mungkin juga karena tak mau mendahului kiai muda itu. Tetapi, yang paling mungkin adalah karena mereka sedang ingin menjadi pendengar yang baik.

“Yang ketiga ini, Bapak-Ibu dan Saudara sekalian, yang paling dahsyat! Lho kok bisa dibilang paling dahsyat? Karena malaikat yang ketiga ini adalah satu-satunya malaikat yang berhasil menjalankan misi itu. Lalu, siapa dia?” tanya kiai muda itu lagi kepada seluruh yang hadir.

Lepas dari kegagalan yang sama pada dua malaikat itu, Tuhan kemudian memanggil salah seorang malaikat lainnya. Dengan perintah yang sama, malaikat itu bergegas menuju ke Bumi. Dalam sekelebat, sampailah ia berhadapan dengan Bumi.

Kedatangannya yang tiba-tiba itu sempat membuat Bumi terkejut. Terlebih, Bumi merasa jawaban yang disampaikannya kepada Jibril, juga alasan yang ia kemukakan di hadapan Mikail, cukuplah menjadi dasar yang kuat untuk memohon belas kasih dari Tuhan. Tetapi, rupanya Tuhan berkehendak lain. Ia kirimkan lagi malaikat-Nya untuk perihal yang sama.

“Ini kali ketiganya aku berhadapan dengan para malaikat utusan Tuhan. Dan ini kali ketiganya aku katakan perihal yang sama. Wahai engkau yang selalu datang tanpa dinyana-nyana, aku kira kau telah mendengar semua berita itu bukan?” tanya Bumi.

Dengan tegas, malaikat yang satu ini menjawab, “Ya! Aku sudah mendengar semuanya!”

“Lalu, apa keputusanmu?” tanya Bumi.

“Sudah jelas, bahwa apa yang diperintahkan Tuhan, bagiku, adalah keharusan. Tak ada jalan lain, aku harus melakukannya!” tandas malaikat itu.

“Bukankah Tuhan memberimu catatan, selama aku merelakan?” sergah Bumi.

“Kau dan aku sama-sama makhluk. Kau dan aku sama-sama hamba-Nya. Dan, hanya Tuhan yang berhak memerintah hamba-hamba-Nya. Sementara, kita; kau dan aku, hanya bisa menerima perintah itu dan melaksanakannya. Titik!” tukas malaikat itu dan lekas-lekas ia menyentuh tanah serasa hendak menjumput tanah itu dari Bumi.

“Tunggu!” cegah Bumi.

“Apa yang mesti aku tunggu? Apakah kau ingin menjadi pembangkang, padahal kau sendiri tahu betapa beratnya beban derita yang mesti ditanggung pembangkang? Dan, apa kuasamu untuk membangkang?!” seru malaikat itu menyergah.

Ucapan malaikat itu membungkam Bumi. Tak ada lagi kata-kata yang sanggup ia ucapkan. Tak ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan alasan lagi. Hingga akhirnya, ia merelakan tanahnya meski masih ada sesuatu yang membuatnya berat hati.

Dalam keadaan lemah itu, malaikat itu bergegas mencabut tanah dari Bumi. Begitu cepat ia bergerak dari ujung timur dan barat, mencabut sebagian dari tanah di kedua ujung itu. Kemudian, ia bergerak lagi menuju ujung utara dan selatan, mencabut sebagian tanah dari ujung utara dan selatan.

“Baiklah, Bumi. Telah aku tunaikan tugasku. Sekarang, aku pamit!” ucap malaikat itu sambil berlalu dari hadapan Bumi.

Sekelebat kemudian, ia menghadap Tuhan dan meletakkan tanah itu di tempat yang telah ditentukan Tuhan. Keberhasilannya mencabut tanah untuk dijadikan bahan penciptaan manusia itu mendapatkan pujian dari Tuhan, bahwa ia ditahbiskan sebagai malaikat pemberani. Dan Tuhan, kemudian menitahkannya pula sebagai malaikat pencabut nyawa. Ya, dialah malaikat Izrail.

“Sekarang, kita semua tahu, bahwa malaikat yang punya jasa besar bagi penciptaan manusia tidak lain adalah malaikat Izrail. Tetapi kelak, beliau pula yang akan mencabut nyawa kita semua. Tetapi, Bapak-Ibu dan Saudara-saudaraku sekalian, dari kisah itu ada sesuatu yang rasanya membuat hati saya merasa terenyuh. Apa itu? Tidak lain adalah rasa kasih sayang makhluk ciptaan Allah yang sekarang ini menjadi tempat hunian kita, yaitu Bumi, kepada kita,” tutur kiai muda itu.

“Bumi pun tak tega melihat kita menjadi penghuni neraka. Itu artinya, betapa besarnya rasa cinta Bumi kepada manusia yang merupakan bagian dari dirinya. Tetapi, mari kita renungkan sejenak. Saat ini, apa yang telah kita lakukan kepadanya? Kerusakan demi kerusakan telah kita buat di Bumi ini. Bahkan, tanpa sadar kita telah menyakitinya berkali-kali. Seumpama kita adalah Bumi, bagaimanakah perasaan kita hari ini? Mari kita renungkan dan segera berbenah diri,” ucapan kiai muda itu mengakhiri pengajian itu seraya mengunjukkan doa kehadirat Tuhan yang Rahman dan Rahim.

Semua orang yang hadir menyunyi. Hening. Tertunduk dalam diam. Tenggelam dalam doa yang mengantarkan udara sejuk merasuk ke dalam ruangan masjid. Seluruh alam turut mengamini doa kiai muda itu.

Tags: cerita pendekcerpendoadoa untuk semestaKarya SastramalaikatNyastraSastra Indonesiasemestauniverse

Mau Ikutan Menulis?

Kamu bisa bagikan esai, opini, pengalaman, uneg-uneg atau mengkritisi peristiwa apa saja yang bikin kamu mangkel. Karya Sastra juga boleh kok. Sapa tahu kirimanmu itu sangat bermanfaat dan bisa dibaca oleh jutaan orang. Klik Begini caranya


Ribut Achwandi

Ribut Achwandi

Kepala Redaksi
Ngedanlah asal nggak bikin orang lain jadi edan.

Sapa Tahu, Tulisan ini menarik

Kisah Pemuda Miskin yang Memeluk Raja

Kisah Pemuda Miskin yang Memeluk Raja

Juni 17, 2022
180
Cerpen Terbaru Negeri Penyemah Kata

Cerpen: Negeri Penyembah Kata

Juni 12, 2022
157
puisi bertema selamat ulang tahun

Puisi: Selamat Ulang Tahun

Juni 5, 2022
159
Review Buku Novel Ezaquel

Resensi Novel Ezaquel Karya Siti Habibah

April 12, 2022
528
Hadi Pranggono dosen unikal

Kegelisahan Pak Hadi Pranggono dalam Sebuah Puisi

November 28, 2021
436
Cerpen Dialog Sepasang Kekasih

Cerpen: Dialog Sepasang Kekasih

November 21, 2021
226
Load More


Ada Informasi yang Salah ?

Silakan informasikan kepada kami untuk segera diperbaiki. Pliss "Beritahu kami" Terima kasih!


TERBARU

Mengkaji Makna dan Tujuan Pendidikan Lewat Pemikiran Ibnu Khaldun

Fransis Pizza: Tempat Nguliner Tersembunyi Jogja yang Hanya Buka Dua Hari

Lewat Drama Shooting Stars Kita Jadi Tahu Huru-hara Dibalik Industri Hiburan Korea Selatan

Yakin Deh, Cuma Program Batik TV Ini yang Nggak Mengecewakan

Kehebatan Mobil Listrik Hyundai Ioniq 5 yang Perlu Kamu Tahu

Doa untuk Semesta

BTS Putuskan Hiatus, Rasa-rasanya Seakan Bubar Alon-alon

LAGI RAME

Wisata Tegal - Villa Guci Forest

Wisata Hits Terbaru Tegal di Villa Guci Forest

Mei 17, 2022
2.7k
Burung Kicau Terbaik 2022

Ini Lho 7 Burung Kicau yang Menjadi Primadona di Tahun 2022

Juni 16, 2022
844
Cafe Hits Batang Hello Beach

20 Cafe Hits Kekinian di Kabupaten Batang yang Keren Abis Buat Nongki-Nongki

Februari 13, 2022
4.1k
Wisata hits Purwokerto - Menggala Ranch

Menggala Ranch Banyumas, Wisata Ala View New Zealand di Jawa Tengah

Mei 25, 2022
741
Wisata Pekalongan Pantai Pasir Kencana

New Taman Wisata Pantai Pasir Kencana Kota Pekalongan

Maret 10, 2022
7.1k
Wisata Hits Terbaru Jogja di HeHa Ocean View

Wisata Hits Terbaru Jogja di HeHa Ocean View

Maret 3, 2022
2.5k
Forest Kopi Batang

Inilah 10 Tempat Kuliner di Batang Paling Direkomendasikan untuk Wisatawan

April 9, 2020
30k
Landmark Dieng

Wisata ke Dieng Lewat Jalur Pekalongan

September 7, 2018
13.1k
Legenda Dewi Lanjar Pantai Utara

Kisah Legenda Asal-usul Dewi Lanjar

Agustus 12, 2016
34.8k
Sate Winong Mustofa Purworejo

10 Rekomendasi Kuliner Enak di Purworejo Tahun 2022

November 9, 2021
1.5k

TENTANG  /  DISCLAIMER  /  KERJA SAMA  /  KRU  /  PEDOMAN MEDIA SIBER  /  KIRIM ARTIKEL

© 2021 KOTOMONO.CO - ALL RIGHTS RESERVED.
DMCA.com Protection Status
No Result
View All Result
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • DUNIA GAME
  • K-POPers
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • NGULINER
  • PLESIR
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • KEARIFAN LOKAL
    • UMKM
    • NGABUBURIT
    • NYASTRA
    • EDUKASI
    • RELEASE
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Login
  • Sign Up

Kerjasama, Iklan & Promosi, Contact : 085326607696 | Email : advertise@kotomono.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In