KOTOMONO.CO – Gampang aja sih ngomong “don’t judge a book by its cover”. Siapa saja bisa bilang gitu. Tapi, nggak gampang ngelakuinnya. Saya sendiri kadang masih suka nge–judge buku karena sampulnya. Kalau desain sampulnya nggak bikin mata terpesona, rasanya sulit ngeluarin duit dari dompet untuk bayar itu buku di kasir toko buku.
Selain desain sampul, nama pengarang buku juga bisa memengaruhi keputusan saya. Mau beli atau nggak ya? Sebab, persepsi saya kadung mengamini, kalau nama pengarang bukunya berkelas dan memang terkenal, ya harapannya sih isi bukunya bagus. Padahal, nama pengarang buku yang nggak terkenal kadang tulisannya bisa saja lebih bagus dari yang sudah dikenal.
Sayang, kalau saya mampir ke toko buku Salemba di Kota Pekalongan, sangat jarang ada buku yang nggak disegel. Nyaris semuanya disegel. So, gimana caranya saya bisa tahu kalau isi buku yang dipajang di etalase itu bagus atau nggak? Sementara saya nggak punya kesempatan untuk membaca sekilas isi bukunya.
Makanya, untuk mengantisipasi kekecewaan, saya biasanya memilih buku yang ditulis oleh seorang penulis yang sudah punya nama. Salahkah saya? Aha! Mungkin salah juga sih, karena dengan cara seperti itu saya sudah melanggar aturan main “don’t judge a book by its cover”.
Lain cerita lagi kalau saya mampir ke toko buku Gramedia di Semarang. Wah, kalau di toko buku yang satu ini saya bisa betah sampai seharian full. Selain koleksi bukunya banyak, ada banyak buku juga yang disediakan untuk sampel. Jadi, saya berkesempatan untuk membaca sekilas sebelum akhirnya saya putuskan untuk membeli atau tidak.
Tempatnya juga nyaman. Penataan bukunya bagus. Tertata dengan rapi. Sesuai dengan bidang-bidang yang dikupas pada buku itu. Selain itu, saya juga bisa gunakan fasilitas komputer pencarian buku yang disediakan pengelola toko.
Pelayanannya juga bagus. Setidaknya, kalau saya nanya-nanya soal buku mereka sedikit bisa memberikan penjelasan. Seorang teman, yang pernah bekerja di toko buku Gramedia di Semarang pernah bertutur pada saya. Dulu, saat dia kerja di situ, dia sempat malu gara-gara ketika ditanya pembeli nggak ngerti mau jawab apa. Sejak itu, dia akhirnya mulai tekun membaca. Semua buku yang dijual di toko tempat kerjanya dibaca. Walhasil, dia jadi paham dan mudah memberikan jawaban kalau-kalau ada yang nanya–nanya.
Tapi, saya pikir, dia sangat beruntung. Sebab, nggak cuman bisa jawab pertanyaan si pembeli, dia sepertinya jauh lebih pintar dari saya. Wawasannya luas. Pengetahuannya juga oke. Kalau ngobrol wah bisa kayak seorang mahasiswa S3. Kelas doktor!
Dia juga tahu, mana buku yang keren dan nggak keren. Bahkan, dia bisa mengait-ngaitkan isi satu buku dengan buku-buku lainnya. Padahal, dia nggak sempat lulus kuliah S1-nya. Sampai-sampai, pernah dia bikin tulisan dan dimuat di sebuah media, eh tulisannya memang keren banget. Nggak kalah sama anak kuliahan apalagi sama dosen-dosen.
Saya saranin ke dia, agar dia bikin buku dan diterbitin. Harapan saya ke dia sih nggak muluk–muluk. Siapa tahu bukunya beneran keren, sekeren wawasan dan pemikirannya. Syukur kalau sampai dibincangkan di ruang-ruang akademik. Wah, saya bakal mengangkat topi untuknya. Ah! Semoga saja harapan itu terwujud. Dan di saat itu terwujud, saya akan kembali pada ungkapan awal “don’t judge a book by its cover!”.
Berikan komentarmu