KOTOMONO.CO – El Candra namanya, pria kelahiran Pangkal Pinang, 25 Maret 1969. Pria yang hampir menghabiskan dua puluh tahun masa hidupnya bekerja di lembaga keuangan atau perbankan konvensional. Dari tahun 1993 hingga tahun 2013. Candra selalu ditempatkan di bagian kredit, mulai dari pemasaran hingga ia memiliki wewenang yang tinggi di bagian kredit tersebut.
Jejak kariernya ini selaras dengan gelarnya sebagai sarjana jurusan Akuntansi yang ia raih di STIE Malangkucecwara. Masa kuliahnya dimulai pada tahun 1988, ia sempat menjadi ketua unit kegiatan mahasiswa kesenian. Candra pernah menyabet beberapa penghargaan dalam karirnya di lembaga keuangan, menjadi salah satu pencetus Danamon Simpan Pinjam (DSP) dan BTPN Mitra Usaha Rakyat.
Ketika ditanya tentang cita-cita, sejak kecil Candra pasti menjawab ingin menjadi pegawai bank. Obsesinya ini berawal dari Candra kecil yang terpesona oleh tetangganya saat tinggal di Jakarta, yang merupakan pekerja bank BUMN. Pagi hari saat berangkat kerja, tetangganya mengenakan pakaian yang rapi dengan dasi yang menggantung, melewati depan rumah Candra dengan menaiki Vespa. Cita-citanya itu akhirnya tercapai.
Namun, kedudukannya yang terbilang tinggi di lembaga keuangan, penghargaan yang ia dapatkan dan gaji yang fantastis, menurutnya semua pencapaiannya itu tak dapat dibanggakan sama sekali. Semua ini Candra utarakan ketika sudah melalui lika-liku hijrah yang pelik. Sekarang dirinya menjumpai ketenangan yang selalu ia syukuri dalam setiap detik hidupnya. Sebuah tulisan dalam nas dan ucapan seorang ibu telah mengusik hati kecilnya.
Setelah goncangan dalam hati dan pikirannya lenyap, Candra dengan mantap mengangkat kakinya dari kubangan yang telah menjadi sandaran ternyaman dalam hidupnya. Candra memilih keluar dari pekerjaannya pada tahun 2013. Ia berhenti mengarungi jalur hidup yang akan membawanya tenggelam.
Suatu hari di Yogyakarta pada tahun 2004, ibunya yang sedang terbaring sakit bertanya, “kamu itu bekerja di tempat yang benar atau tidak ya, Nak?” Saat itu Candra sedang bertugas di Yogyakarta dengan memegang proyek pembiayaan usaha mikro dan kecil yang membuatnya sangat antusias. Candra menyahut, “Bu, bekerja itu yang penting niatnya.” Ia berusaha menjelaskan panjang lebar mengenai pekerjaannya. Tapi sang ibu langsung menyela dan berucap, “Jangan kau gadaikan akhiratmu karena duniamu…” Ketika tak ada lagi perdebatan, Candra langsung memohon pamit.
Dengan keterbatasan ilmu mengenai riba dan persepsinya yang keliru, sejak saat itu Candra menyelami pekerjaannya dengan tenang-tenang saja. Hingga pada tahun 2010, jiwa Candra terusik oleh memori ucapan ibunya yang meninggal dua bulan setelah mengucapkan kalimat itu. Lucunya, ucapan ibunya itu sempat terlupa begitu saja selama bertahun-tahun.
Candra mengikuti kelompok pengajian Aa Gym di Bandung. Ia menunaikan rukun Islam yang kelima bersama kelompok pengajiannya. Candra diberi sesuatu yang masih terbungkus plastik, sebuah kitab suci. Berniat iseng, ia membuka lembaran Al-Qur’an pada sembarang halaman dan berhenti pada surat Al-Baqarah ayat 275. Saat itu ia merasa seperti ada sesuatu yang menohok hatinya.
BACA JUGA: Mbah Gendon, Sosok Introvert yang Membuat Decak Kagum
Surat Al-Baqarah ayat 275 itu adalah ayat tentang riba. Saat itu jiwanya kembali bergejolak. Selama empat hari di Madinah perasaannya tidak jelas karena kegundahannya. Candra akhirnya berkesempatan berbicara empat mata dengan Aa Gym, ia bertanya mengenai pekerjaan dirinya saat itu. Lantas Aa Gym menganjurkan Candra untuk segera berhijrah, terlebih ia sudah diingatkan oleh ibunya sendiri. Candra merenung, ia berusaha berkali-kali untuk bertanya pertanyaan yang sama kepada Aa Gym pada setiap kesempatan. Jawabannya selalu sama, ia harus hijrah.
Ucapan ibunya memenuhi setiap sudut kepalanya. Kegundahan dalam hatinya semakin menjadi-jadi, akhirnya ia tidak ikut rombongan untuk kembali ke hotel. Candra berbaring di masjid, dengan Al-Qur’an di atas mukanya. Dua orang Arab menghampirinya, sekitar sepuluh menit membaca Al-Qur’an di dekatnya. Seorang pria yang lebih tua menyapa Candra dan menanyakan pekerjaan dirinya. Candra menyahut bahwa dia bekerja di tempat yang salah.
Di situ pria tersebut memberinya petuah bahwa tidak ada alasan bagi dirinya untuk tidak mempercayai firman Allah sementara kedatangannya ke tanah suci berbekal kepercayaan dirinya terhadap Allah. Saat bertolak kembali ke Indonesia, ia malah mencari pembenaran kemana-mana, mencari pendapat-pendapat lain yang sekiranya berbeda. Persoalan terbesar dalam dirinya saat itu adalah ia ingin tahu makna dan hakikat dari riba. Orang-orang yang ia tanya tidak menjelaskan hal tersebut dan hanya menyuruh dirinya untuk hijrah. Sejak dahulu, dalam pikirannya tertanam bahwa bank itu tidak riba, dan yang riba itu rentenir.
BACA JUGA: Usmar Ismail, Bapak Film Indonesia yang Multidimensi dan Idealis
Pada akhirnya, dengan mantap Candra keluar dari kantor. Ucapan ibunya yang telah ia lupakan sembilan tahun lamanya, ternyata ia pahami. Ibunya yang terbaring sakit, tidak bisa pergi kemana-mana, hanya bisa menonton televisi saja. Kebetulan pada tahun 2004 MUI mengeluarkan fatwa terkait riba dan beritanya disiarkan di televisi. Kedua orang tuanya sudah tahu sang putra bekerja di bank. Diskusinya dengan Aa Gym, pertanyaan yang ia lontarkan pada ahli ilmu yang lain dan pertemuannya dengan dua orang Arab menjawab teka-teki dari pesan ibunya.
Bulatnya keputusan Candra juga didukung oleh rasa aman yang ada pada dirinya. Menurutnya, kondisinya saat keluar dari bank adalah kondisi yang ideal. Karena ia memiliki tabungan simpanan dan usaha bubur “Syarifah” di Yogyakarta yang telah dirintis sejak tahun 2004, setidaknya keduanya itu bisa menopang kehidupan dirinya dan keluarga.
Mundurnya Candra dari pekerjaannya di sebuah bank, tak berarti semua terjangan dan rintangan berakhir. Candra memiliki ambisi untuk mengejar target pendapatannya saat itu, ia membuat perencanaan agar usahanya dapat memberikan hasil yang sepadan seperti saat bekerja di bank.
Sedemikian rupa Candra mengatur perencanaan tersebut sehingga muncul hasil bahwa ia harus memiliki enam cabang usaha bubur yang baru. Sayangnya, perhitungan Excel yang sedemikian rupa itu tidak berlaku. Di sini Candra baru terdiam, mengambil duduk untuk merenung. Penghasilan lamanya sampai pada angka dua digit, saat itu ia hanya menerima lima ratus ribu rupiah saja setiap bulannya. Terpaksa ia harus merubah pola pikir dari yang awalnya terbiasa dengan penghasilan tetap, kini menjadi tidak tetap.
BACA JUGA: Peneroka Musik Kasidah Modern Pertama Di Indonesia Ternyata Orang Pekalongan
Candra sekeluarga pindah ke Yogyakarta karena memiliki usaha di sana dan biaya hidupnya lebih murah. Ia rela meninggalkan rumahnya di Jakarta yang baru ditempati dua tahun. Ketika pegangan tabungan untuk setahun habis, ketenangan Candra direnggut habis. Ia langsung merenung dan memeriksa apa yang salah dari hidupnya dua tahun terakhir itu. Akhirnya Candra menyadari dua buah kesalahan pada dirinya. Pertama, niat yang mengiringi Candra keluar dari bank belum lurus hanya untuk Allah semata dan bukan karena takut kepada Allah. Kedua, secara tidak sadar ia menyandarkan hidupnya pada usaha bubur dan tabungan biaya hidupnya.
Candra tidak ingin teman-teman lain yang baru hijrah menjalani hijrah yang salah seperti dirinya. Dua tahun setelah hijrah itu ia tidak mendapatkan ketenangan. Ia merasa raganya saja yang baru keluar dari kantornya sementara jiwanya masih belum benar-benar hijrah. Lantas Candra melakukan salat taubat untuk memperbaiki dua kesalahan itu.
Hijrah jilid keduanya ia tempuh. Candra tetap bersyukur dengan apa yang dialami sebelumnya karena ada hikmah yang dapat ia petik, juga karena Allah Ta’aala memberi kesempatan lain baginya untuk menata diri kembali. Lantas serangkaian lika-likunya itu mendorong Candra untuk membuat Komunitas XBank Indonesia, dengan tujuan untuk membagikan pengalamannya. Menurutnya, persiapan hijrah itu memperbaiki keimanan dan membangun akidah dalam diri, agar hijrahnya benar-benar berhasil.
BACA JUGA: Fatima Al-Fihri, Sang Pendiri Universitas Pertama di Dunia
XBank Indonesia adalah komunitas tempat berkumpulnya orang-orang yang keluar dari lembaga ribawi, seperti perbankan, koperasi, leasing, finance, asuransi, dan perusahan pembiayaan lainnya yang berhubungan dengan ribawi. Para anggotanya adalah mereka yang sudah menyatakan diri keluar, akan keluar, atau berniat keluar dari lembaga ribawi tapi belum memiliki keberanian.
Nah, komunitas XBank ini Candra bangun untuk memberi wadah untuk saling memotivasi dan menguatkan. Mereka berkumpul di bawah satu nama dan tujuan. Komunitas XBank itu tidak membenci bank, hanya saja tidak setuju pada transaksi dan akadnya yang melawan syariat agama.
Candra mengutarakan bahwa konsep yang dipakai dalam XBank sendiri sudah mulai dirancang dari tahun 2016. Ia mulai menyusun konsep pendirian komunitas Xbank bersama teman-temannya. Dengan merangkul 50 anggota saja ia sudah merasa lebih dari cukup. XBank akhirnya dirilis secara resmi pada tanggal 15 Juli 2017 di Yogyakarta. Komunitas ini bertujuan mengajak masyarakat, para pelaku ribawi khususnya, untuk berhijrah meninggalkan hal yang dilarang oleh syariat Islam.
BACA JUGA: Ani Idrus, Gagasan tentang Pendidikan yang Melampaui Zaman
Bagi Candra hijrah itu berat, maka harus ada orang yang menguatkan dan mengingatkan. Menurutnya, orang-orang yang baru saja hijrah harus banyak bertemu dan menjalin pertemanan dengan orang yang memiliki visi dan misi yang sama. Candra mengupayakan anggota XBank diberi pembekalan tauhid dan akidah agar mereka mendapatkan esensi dari hijrah, yang paling penting agar para anggota menjaga niat lurusnya dan tidak bersandar kepada selain Allah.
Selain itu, anggota XBank dibina untuk mendapatkan pelajaran fikih muamalah agar tidak terjebak lagi dengan bentuk riba yang lain. Candra tidak menerima begitu saja orang yang ingin masuk, karena ia berharap anggota yang tergabung bisa sesuai dengan tujuan dibentuknya XBank Indonesia. Slogan dari komunitas XBank Indonesia adalah pesan ibu El Candra untuk putra tersayangnya. “Jangan gadaikan akhiratmu karena duniamu.”
komentarnya gan