KOTOMONO.CO – Dalam permainan layangan, sendaren kiranya menjadi unsur yang tidak tertinggalkan. Wujudnya hanyalah seutas tali yang dikaitkan pada bagian bawah layangan. Ia akan menghasilkan sebuah bunyi kala tertempa angin. Bunyi itu menambah keasikan tersendiri. Terlebih, kala layangan dimainkan secara jamak. Bunyi sendaren pada layangan akan sahut-menyahut membentuk sebuah ruang bunyi yang enak untuk disimak.
Sendaren juga digunakan dalam ranah pertanian. Ia dibentangkan di atas tanaman secara tidak beraturan. Kala sendaren itu tertepa angin, ia akan melahirkan bunyi yang saling bersahutan. Kumandang bunyi itulah yang digunakan para petani untuk mengusir burung-burung yang mencoba melahap padi.
Rasanya, sendaren tidak cukup jika hanya dibaca pada sisi fungsinya. Ia terasa lebih menarik jika dibaca pada sisi lainnya. Sendaren hanyalah instrument untuk melahirkan bunyi. Barangkali, pembacaan yang lebih menarik terletak pada sisi bunyinya. Terlebih, jika bunyi itu ditautkan pada fenomena yang dihadapi para petani kiwari.
Bunyi Keramahan
Bunyi sendaren ialah bunyi pengusir hama burung. Ia mengusirnya tanpa mengguratkan luka terhadap burung-burung itu. Ia mengumandangkan sebuah keramahan dalam menyingkirkan hama. Di sisi lain, sendaren adalah sebuah keironian dengan keadaan kiwari. Seringkali para petani mengusir hama dengan cara menyakitinya. Burung-burung itu diusir dengan bahan-bahan kimia atau bahkan dengan cara ditembaki.
BACA JUGA: Makna dan Tuntunan Perilaku Hidup di Balik Pintu Gebyok
Rasanya, kisah-kisah lampau dari para leluhur layak untuk ditengok kembali. Para leluhur mewariskan sebuah pola kehidupan yang selaras dengan makhluk lain dan juga lingkungan. Manusia ialah ejawantah dari alam. Menjaga keselarasan terhadap alam mengartikan ihwal menjaga keselarasan diri sendiri. Ketentraman dan keteduhan hidup niscaya didapatkan kala penghormatan terhadap alam itu ditunaikan.
Saya rasa, sendaren ialah wujud pola kehidupan itu. Ia menjadi sebuah warisan yang belum lekang. Tanpa menggunakan bahan-bahan kimia ataupun senjata, nyatanya kumandang bunyinya mampu mengusir hama. Ia setara dengan bahan kimia dan senjata. Perbedaannya, bunyi sendaren menyuarakan keramahan, sedangkan bahan kimia dan senjata jauh dari keramahan itu.
Bunyi sendaren laksa dentuman gong. Ia seolah menggelegar jika didengarkan dengan rinci. Bedanya, bunyi sendaren terasa lebih panjang gaungnya. Itupun bergantung pada angin yang menerpanya. Jika diukur, bunyi sendaren berada pada wilayah frekuensi bunyi yang rendah. Bunyi yang berada pada wilayah ini akan menyakiti hama, sehingga hama akan menjauhi kumandang bunyi itu (Irwan, 2013).
BACA JUGA: Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan
Saya memandang bahwa bunyi sendaren melampaui kodratnya sebagai bunyi. Ia menyimpan sebuah keramahan yang dibutuhkan kiwari. Seolah-olah bunyi sendaren menjelma menjadi rangkulan dan tundukan kepala terhadap hewan dan lingkungan. Frekuensi rendah yang dimilikinya seolah menyatakan kerendahan nuraninya.
Sebuah Ikhtiar
Rusaknya tanah pertanian kiranya bukanlah warta baru. Hingga kini, kerusakan-kerusakan itu masih sering diwartakan. Salah satu faktor utama penyebabnya ialah penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Bahan kimia itu mengikis lapisan humus yang ada di tanah, sehingga membuat tanah itu tak lagi subur.
Penggunaan bahan kimia dalam pertanian memang mengefektifkan pekerjaan, asalkan sesuai dengan takaran. Ia mampu menampik hama lebih cepat, melipatkan hasil panen, serta mengurangi beban pekerjaan. Penggunaan yang berlebihan itu barangkali ditujukan untuk mencapai hal-hal itu. Sayangnya, tujuan itu justru merugikan tuannya.
BACA JUGA: Angka dan Manusia Jawa, Laku Kehidupan, Kearifan, dan Semesta
Saya memandang bahwa kerusakan tanah yang terjadi ialah hukum alam. Akibat lahir karena sebuah sebab. Tanah yang rusak itu ada karena keserakahan yang telah diguratkan sebelumnya. Asa akan panen yang melimpah justru menjadi kisah pilu yang disemati sebagai musibah akibat ambisi yang diilhami.
Penggunaan bahan kimia yang berlebihan bukan saja merusak tanah, namun juga mencemari air dan membasmi ikan-ikan yang hidup. Tindakan itu jauh dari keselarasan. Namun, alam menuangkan keadilannya. Sebagai manusia, sudah selayaknya untuk mencerap hikmah dari kejadian itu.
Kotoran sapi, kambing, sayuran busuk, ataupun bahan organik lainnya terasa bukan hanya mitos belaka. Ia menjadi penting kiwari. Bukan saja untuk memulihkan tanah, namun juga mengejawantahkan sikap keselarasan. Saya rasa, sendaren layak untuk dikisahkan dalam hal ini. Sendaren ialah ejawantah dari keselarasan itu. Bukan hanya kini, namun sejak lampau.
BACA JUGA: Sapu Lidi – Dari Falsafah, Penolak Bala, Penolak Hujan, Hingga Cerita Rakyatnya
Jika ditautkan dengan kerusakan tanah yang terjadi, sendaren seolah menyuarakan ihwal resolusi. Bunyi sendaren menjadi salah satu alternatif untuk menggantikan bahan kimia dalam mengusir hama. Hal itu tentu saja akan meminimalisir penggunaan pupuk kimia. Sekaligus, menjauhkan dari kisah kerusakan tanah, pencemaran air, dan pembasmian ikan.
Menggunakan sendaren kiranya menjadi sebuah ikhtiar. Ikhtiar untuk memperbaiki sikap bagi yang telah mendera kerusakan tanah, tindakan preventif bagi yang belum mengalami kerusakan tanah, serta mendekatkan pada keselarasan alam bagi semuanya. Dengan begitu, kisah pilu tentang kerusakan tanah akan tertampik dengan sendirinya. Amin!
komentarnya gan