KOTOMONO.CO – Di Ballroom Hotel Santika Pekalongan, saya rupanya telah melewatkan satu jam—mungkin lebih—untuk sekadar menanti kapan acara akan dimulai. Tetapi, tanda-tanda itu belum juga tampak. Saya dan beberapa yang hadir terus saja ngobrol ngalor–ngidul. Ya, cukup bisa dimafhumilah. Tapi, apa yang sebenarnya membuat saya tertarik ikut FGD ini ya karena temanya. Apa sih? Temanya, “Kolaborasi dan Sinergi Pentahelix Guna Mengembangkan Batik Khas Pekalongan”.
Benak saya saat membaca tema ini akan membikin suasana FGD begitu dinamis dan seru. Masing-masing yang diundang untuk ikut FGD ini pastinya akan buka suara dengan prespektif yang beda-beda. Sebab, yang namanya FGD itu biasanya tiap orang yang diundang hadir harus buka suara. Menyampaikan gagasan atau usulan terkait tema. Dan memang, nggak ada tanya-jawab seperti seminar atau sarasehan.
Sementara, pihak yang berkepentingan, dalam hal ini penyelenggara FGD, hanya memberikan wacana tentang arah tujuan dan maksud tema. Setelah itu, mereka cukup mendengarkan atau memberikan tanggapan jika diperlukan. Jadi, ada aturan main yang lumayan ketat dalam penyelenggaraan FGD.
Dari pendapat seluruh peserta FGD itu lantas dihimpun sebagai data awal, untuk selanjutnya dirumuskan menjadi poin-poin penting sebagai upaya menyelesaikan masalah yang diusung dari tema itu. Setelah itu, didiskusikan lagi untuk disepakati formulasi yang akan dijadikan semacam Rencana Tindak Lanjut alias RTL.
Kembali lagi, ketika membaca temanya, saya menebak-nebak, jika arah pembicaraan FGD nanti akan mengerucut pada penggalian kekhasan batik Pekalongan dan pengembangannya, dilanjutkan dengan pengukuhan batik khas Pekalongan sebagai identitas daerah. Bayangan saya begitu. Tapi, entahlah. Acara juga belum mulai. Jadi, saya simpan saja pikiran saya itu.
Begitu acara dimulai, semua tamu duduk dengan tertib. Seperti biasa, acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Itu wajib. Lantas, dilanjutkan pementasan tari dari sanggar Omah Budaya pimpinan Sidik An Naja. Sanggar ini bisa dibilang sudah jadi langganan dinas-dinas di Pemkot Pekalongan kalau pas punya gawe.
Dari sisi kanan panggung, muncul empat penari wanita, satu pria. Mungkin karena ukuran panggung yang kurang luas, gerak mereka jadi kurang leluasa. Namun, mereka tampak profesional. Sesempit apapun panggungnya, tak menjadi masalah buat mereka.
Pentas tari usai. Riuh tepuk tangan bersusulan. MC pun lantas mengambil tempat dan memberitahu pada para hadiri, jika acara berikutnya adalah serangkaian pidato sambutan. Sang MC menyilakan para penyambut satu per satu, bergiliran, bergantian memberikan sambutan.
Giliran pertama, Pak Direktur Direktur Hubungan Antarlembaga Kemenparekraf RI. Namanya, Pak Imam Santosa. Cukup panjang pidatonya. Awalnya, beliau berusaha beramah-ramah dengan semua yang hadir. Dengan gayanya yang dibikin agak santai, beliau berusaha membuat semua yang hadir merasa nyaman di dalam ruangan. Cukup berhasillah usaha beliau ini.
Lalu, saat menyampaikan poin-poin pidatonya, beliau juga cukup komunikatif. Sesekali berkelakar. Sesekali pula bercerita tentang pengalamannya sebelum menjabat di Kemenparekraf. Dulu, beliau merupakan salah seorang staf Kementerian Luar Negeri. Punya banyak jaringan dengan luar negeri. Selama itu pula beliau kerap ikut aktif dalam mempromosikan potensi wisata Indonesia di negara-negara manca. Makanya, ia sangat berharap kesempatannya di Pekalongan ini bisa dimanfaatkan betul agar Pekalongan lebih dikenal lagi di negeri-negeri manca sana. Apalagi Pekalongan punya produk industri kreatif andalan, yaitu batik.
Giliran kedua, sedianya podium itu diisi oleh sambutan dari Pak Walikota, sayang beliau sedang ada acara lain. Walhasil, diwakilkanlah kepada Staf Ahli Bidang Pembangunan, Ekonomi, dan Keuangan, Pak Joko Purnomo. Beliau hanya membacakan naskah sambutan Walikota. Sayangnya, saya tak sempat menangkap dengan jeli, panjang naskah sambutan itu berapa halaman. Dhuh!
Tapi, inti dari isi pidato itu; pertama, mengapresiasi Kemenparekraf yang sudah repot-repot datang Pekalongan. Kedua, gagasan untuk refarming ekonomi kreatif di kota Pekalongan. Ketiga, berharap kolaborasi lintas sektor bisa berjalan dengan baik.
Tiga poin itu dibacakan dengan cukup bagus oleh Pak Joko Purnomo. Minimal dari sisi penjedaan, intonasi, dan artikulasinya. Soal ekspresi, ya masih umumnya pidato sambutan. Cenderung datar. Mungkin karena membaca teks, jadi ekspresinya kurang cetar. Atau, mungkin karena ekspektasi saya yang keterlaluan.
Setelah mengakhiri pidatonya, Pak Joko lantas membuka FGD itu dengan mengetuk mikropon. Mungkin karena nggak ada gong atau kentongan. Ya, seperti pepatah bilang, nggak ada akar, rotan pun jadi. Eh, nggak ada rotan, akar pun dipakai.
Selesai dibuka, saya pikir, FGD bisa langsung dimulai. Tapi rupanya, ada acara selingan. Yaitu, rehat kopi. Semua tamu pun disilakan keluar ruangan untuk mengambil hidangan. Saya, tak mau ketinggalan. Secangkir kopi dan cemilan.
Setengah jam kemudian, FGD baru dimulai. Tampak duduk sisi kanan panggung, MC yang merangkap jadi moderator, mas Khanza nama bekennya. Saya nggak tahu nama aslinya. Di kursi tengah, duduk Pak Dr. Komarudin Kudiya (Ketua Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia). Sementara, kursi paling kiri diduduki Pak Sutarno, Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kota Pekalongan.
Seperti umumnya Focus Group Discussion, moderator mula-mula mengenalkan para pembicara kepada peserta FGD. Kemudian menyampaikan semacam pengantar tentang tema diskusi dan aturan main dalam FGD. Baru kemudian menyilakan satu per satu, secara bergiliran, para pembicara untuk memberikan semacam paparan. Tapi, saya lihat dan saya dengar, pengantar tema diskusi dan aturan main diskusi tidak sempat disampaikan. Mungkin lupa.
Setelah membacakan curiculum vitae dari para pembicara, moderator langsung memberikan kesempatan pertama kepada Pak Sutarno untuk memberikan pandangan dari Dinparbudpora tentang perihal yang berkenaan dengan tema FGD. Pak Sutarno pun segera menyambut mikropon dan memberikan paparan.
Lewat paparannya, Pak Sutarno mula-mula memberikan gambaran tentang sejarah perkembangan kekhasan batik Pekalongan. Mulai dari motif, warna, dan perjalanan sejarah batik Pekalongan secara sekilas. Lantas, disusul dengan perihal keluh-kesah para pengrajin dan pengusaha batik yang saat ini, menurutnya, tengah mengalami masa-masa sulit. Dari sinilah kemudian, paparan itu terkesan luput dari tema FGD. Masalah ekonomi bisnis perbatikan justru mendapatkan porsi lebih daripada penggalian kekhasan batik Pekalongan. Dugaan saya, mungkin karena di dalam tema ada kata “mengembangkan”, maka pembicaraan pun jadi mengembang kemana-mana. Nggak fokus lagi.
Hal yang nyaris serupa juga terjadi, ketika Pak Komarudin bergiliran bicara. Awalnya, beliau memaparkan beberapa konsep dan strategi pengembangan wisata dan ekonomi kreatif. Beliau juga memaparkan contoh-contoh pengembangan yang dilakukannya, terutama dalam hal bisnis batik dan kreasinya dalam menghadapi pandemi. Memang, sangat menarik paparan beliau. Apalagi disertai contoh konkret. Dan saya menangkap, contoh-contoh itu hanya sebuah pemantik diskusi untuk sampai pada pembahasan yang lebih fokus ke dalam tema diskusi. Batik Pekalongan punya kekhasan yang mesti dikenalkan kepada dunia dan dikembangkan. Bisnis yang dijalankan para pengrajin batik Pekalongan mestinya bisa mengedepankan kekhasan itu sebagai identitas daerah, sehingga orang-orang dari luar akan memburu Batik Pekalongan.
Sampai di situ, saya cukup memahami maksud Pak Dr. Komarudin. Tetapi, masalah durasi yang lumayan panjang pada sesi paparan kedua pembicara itu, membuat saya agak kesulitan merangkum paparan itu ke dalam poin-poin penting yang mestinya dijadikan kajian dalam FGD itu. Entah dengan peserta lainnya. Yang saya amati, tak banyak peserta yang membuat catatan. Lalu, kira-kira seperti apa diskusinya?
Saya akan melaporkan untuk Anda pada tulisan berikutnya.
Oh ya, baca juga catatan saya sebelumnya: Di Hotel, Saya Salah Masuk Kamar
Dan baca pula Laporan FGD Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Hotel Santika (bagian 03/terakhir)