• Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Term of Service
  • FAQ
Kotomono.co
  • Login
  • Register
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • K-Popers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • RELEASE
    • NYASTRA
    • FIGUR
    • OH JEBULE
    • KEARIFAN LOKAL
    • NGABUBURIT
    • UMKM
No Result
View All Result
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • K-Popers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • RELEASE
    • NYASTRA
    • FIGUR
    • OH JEBULE
    • KEARIFAN LOKAL
    • NGABUBURIT
    • UMKM
No Result
View All Result
Kotomono.co
No Result
View All Result
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • K-Popers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
Gairah Bersastra Anak Muda

Ilustrasi

Gairah Bersastra Anak Muda Pekalongan Masa Kini

Ribut Achwandi by Ribut Achwandi
Juli 16, 2020
in ESAI
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Perbincangan saya dengan salah seorang teman akhirnya mencapai kulminasi yang serba tanggung. Dipaksakan. Atau mungkin terpaksa. Tersebab, ketidaknyambungan yang—menurut saya—terlalu jauh. Rekan bincang saya yang seorang akademisi, pandangannya tentang gairah gerak sastra pada anak-anak muda masa kini di Pekalongan masih terselimuti oleh kabut tebal. Yang ia tahu, ya sebatas apa yang ada di dekatnya; kampus!

Di kesempatan lain, di sebuah warung kopi di kawasan Klego, saya menangkap pemandangan yang sama sekali berbeda. Rupanya, tak sedikit anak-anak muda yang tongkrongan di sana menggemari sastra. Diskusi mereka seru. Pandangan-pandangan yang liar berseliweran. Ada yang sepertinya filosofis, ada juga yang datar-datar saja.

Keseruan itu dihebohkan dengan kelakar-kelakar yang “nakal”. Membuat diskusi itu riang gembira. Ditambah ada soda gembiranya! Makin tersodagembirariangkanlah diskusi malam itu.

Lewat dua peristiwa itu, saya dipaksa mikir. Mungkin benar, selama ini ada dinding pelapis yang menjarak kehidupan sastra di kampus dengan sastra di kampung. Kampus dikesankan elegan dan eksklusif. Kampung dikesankan pinggiran dan “norak”. Tak heran jika sebagian dari masyarakat sastra kampus—khususnya para pakar sastra—cenderung menghindari kehidupan sastra kampung.

Mungkin takut tertular penyakit “norak”. Mungkin loh ya! Mungkin juga nggak tahu ada sastra kampung. Atau, mungkin karena sudah terlalu capek. Kerja seharian di kampus. Pagi berangkat, sore pulang. Sisa tenaga cukup dihadirkan untuk keperluan rumah. Bisa juga ketika di kampung, orang-orang kampusan ini nggak mau bicara soal sastra. Takut kalau dianggap keminter, minteri, atau apalah. Saya nggk tahu, mana kemungkinan yang paling pas.

Padahal, kalau mereka mau luangkan waktu nongkrong dan menyimak obrolan-obrolan pegiat sastra kampung, mereka akan mendapatkan kenikmatan tersendiri. Mereka juga akan menyaksikan, sekalipun ada dinding pemisah, rupanya masih ada irisan-irisan yang mempertemukan dua arus gerak sastra itu. Beberapa pegiat sastra kampung ini ada yang berprofesi sebagai mahasiswa (sesuai dalam kolom pekerjaan di KTP).

Jadi, tidak melulu anggapan “norak” itu benar. Besar kemungkinan kelirunya timbang benarnya. Tetapi, dinding pelapis itu kadung semakin tebal saja rasanya. Ah!

Lantas, apa sih yang didiskusikan? Ada hal seru. Menyoal dinding pelapis itu. Menurut salah seorang dari mereka, dinding pelapis itu membuat kesan ada hierarki. Ia memandang, selama ini sastra hanya menjadi milik orang-orang sekolahan. Sedang orang kampung, meski gairah bersastra mereka ada dan tumbuh, dianggap tidak ada. Dunia sastra kampung seperti dikesampingkan.

Tak tersentuh tangan dingin para begawan. Malah, para begawan yang tinggal di atas menara gading yang retak itu cenderung memilih hidup nyaman di atas singgasananya. Sekalinya turun, eh tak sesuai harapan. Alih-alih membuat pengabdian masyarakat, dibikinlah program-program kepanjangan tangan pemerintah doang. Bukan mengajarkan keilmuannya ke masyarakat.

“Mungkin memang kudu jadi mahasiswa ya, Kang agar bisa belajar tentang sastra?” celatuk lainnya diiringi tawa lepas yang nyaris memecah kaca spion.

Gara-gara pertanyaan itu, saya jadi ingat kata Prof. Faruh HT. Dia katakan dalam diskusi publik yang digelar pada Kongres Kebudayaan tahun 2018 silam, regenerasi sastrawan di negeri ini melalui banyak jalur. Tetapi, jalur pendidikan adalah jalur yang paling memungkinkan.

Mengapa begitu? Di lembaga-lembaga pendidikan formal, sastra diajarkan. Fasilitasnya pun disediakan. Lebih-lebih yang statusnya negeri. Disediakan dan ada alokasi anggarannya. Sedang, yang swasta, agaknya memang harus bekerja ekstra untuk dapat menyediakan fasilitasnya.

Lalu, bagaimana di kampung? Inilah soalnya. Tidak semua kampung punya sanggar. Kalaupun ada, untuk menyediakan fasilitas secara mandiri mesti berjuang mati-matian. Tidak semua kampung punya perpustakaan. Kalaupun ada, perpustakaan kampung sangat terbatas kemampuannya mencukupi kebutuhan para pegiat sastra. Ada perpustakaan daerah, tetapi apakah fasilitasnya memadai? Silakan tengok saja ke gedung perpustakaan.

Penerbit di Pekalongan sendiri juga belum tumbuh subur. Kalaupun ada, masih belum memiliki daya untuk melayani penerbitan buku-buku sastra karya anak kampung. Yang kerap saya lihat, penerbit di Pekalongan sifatnya masih sangat formal. Hanya melayani penerbitan buku kuliah, penelitian dosen, kalau dulu—sebelum ada pelarangan penggunaan LKS—ya LKS-lah yang paling banyak diterbitkan. Mungkin karena laku keras dan keuntungannya lumayan besar.

Benar, sudah ada beberapa nama pengarang sastra di Pekalongan yang berhasil menerbitkan buku. Seperti Aveus Har, Tiqom Tarra, Akar Atya, Purwandi Darsian, dan lainnya. Tetapi, label penerbitnya luar kota. Yang dalam kota sendiri, masih sangat terbatas. Terakhir yang saya tahu, Edy van Keling yang berhasil menerbitkan dua judul novel sejarah Pekalongan. Sayang, dicetak dalam jumlah yang terbatas dan tak dipajang di rak-rak toko buku.

Saya percaya, selain penerbitan berlabel, ada juga yang menerbitkan secara indie. Beberapa pegiat sastra kampung setengah kampusan, pernah menggelar peluncuran buku antologi puisi di Kandangserang. Tetapi, lagi-lagi, tak cukup bergaung. Setelah peluncuran itu, tak ada pembahasan mengenai karya mereka. Terutama, di kampus yang punya jurusan setengah sastra itu.

Jadi, boleh dikata, anggapan salah seorang pegiat sastra kampung ini benar. Ada jarak yang amat jauh. Meski para pegiat sastra kampung ini sebagian juga anak kampusan. Mungkin karena lantai gedung kampus itu sudah terlalu tinggi. Maka, standarnya barangkali juga ikut meninggi.

Jarak itu juga dibangun oleh pandangan “miring” sebagian kecil orang kampus terhadap pegiat sastra kampung. Ukuran yang digunakan, ukuran langit. Indikatornya kesucian. Maka, begawan-begawan ini tak mau altarnya ternodai oleh kotoran sendal jepit buluk yang penuh dengan lumut dan berlumpur. Bahkan, tak mau ruangan suci mereka terpolusi aroma jalanan. Apalagi kalau tampak wajah-wajah yang dikategorikan oleh mereka sebagai “pemberontak tak berotak”. Aaarrrrgghhh!

Begitulah. Obrolan itu terjadi. Sebagai penutup untuk santapan kali ini, saya mohon izin, apakah saya boleh misuh? Oh nggak boleh ya? Ya sudah. Saya mbatin saja deh misuhnya

Tags: Ribut Achwandiserba-serbi

Mau Ikutan Menulis?

Kamu bisa bagikan esai, opini, pengalaman, uneg-uneg atau mengkritisi peristiwa apa saja yang bikin kamu mangkel. Karya Sastra juga boleh kok. Sapa tahu kirimanmu itu sangat bermanfaat dan bisa dibaca oleh jutaan orang. Caranya? Klik disini


Ribut Achwandi

Ribut Achwandi

Kepala Redaksi
Ngedanlah asal nggak bikin orang lain jadi edan.

Sapa Tahu, Tulisan ini menarik

Cerita Pendek soal Banjir

Kehilangan

Januari 20, 2021
358
Jalur Tengkorak Alas Roban

Tentang Angkernya Jalur Tengkorak Alas Roban Batang

Juli 5, 2020
1.8k
indigo Pekalongan

Tanaman Dan Rumah Hantu

Juli 1, 2020
200
Penanaman Bibit Tanama Oleh Calon Pengantin

Menikah itu Menanam Pohon Cinta

Juni 30, 2020
555
Ibadah Haji 2020 Ditiadakan

Lomba Haji dan Umroh

Juni 3, 2020
239
kesaktian pancasila

Pancasila Yang Sakti

Juni 1, 2020
459
Load More

Komentarnya gan


Ada Informasi yang Salah ?

Silakan informasikan kepada kami untuk segera diperbaiki. Pliss "Beritahu kami" Terima kasih!


TERBARU

Coffee Shop Itu Buat Berdialog, Nggak Cuma Selfie!

5 Hal ini Hanya Terjadi Pada Mahasiswa Universitas Terbuka, Lucu Sih!

Gembira Loka Zoo, Taman Rekreasi Satwa Terbesar Di Jogja

Surat Cinta Untuk Starla The Series: Yakin Bikin Penasaran

Kripala Dekso Coffee and Resto, Spot Kuliner Ciamik di Jogja Bagian Barat

Menikmati Tanggal Tua Dengan Sate Kere Khas Solo

Solusi Jitu Ketika TPA Kota Pekalongan Over Kapasitas

LAGI RAME HARI INI

Resensi Novel Janji karya Tere Liye

Janji Bukan Sekedar Janji dari Novel Terbaru Tere Liye

September 15, 2022
1.3k
Sejarah Asal-usul Desa Silurah Wonotunggal Batang

Sejarah Asal-usul Desa Silurah Wonotunggal Batang

Juli 10, 2020
3.4k
Review Buku Novel Ezaquel

Resensi Novel Ezaquel Karya Siti Habibah

April 12, 2022
1.8k
Shuntaro Chishiya dalam serial Alice in Borderland

Membedah Karakter Shuntaro Chishiya di Serial Alice in Borderland

Januari 11, 2023
473
Cerita rakyat Tegal Legenda Si Kasur dan Si Gringsing

Kisah Kasih Sepasang Ular, Si Gringsing dan Si Kasur

Februari 20, 2021
2.2k
Wisata hits Purwokerto - Menggala Ranch

Menggala Ranch Banyumas, Wisata Ala View New Zealand di Jawa Tengah

Mei 25, 2022
5k
Legenda Dewi Lanjar Pantai Utara

Kisah Legenda Asal-usul Dewi Lanjar

Agustus 12, 2016
37.7k
Wisata Alam Curug Bidadari Talun Kabupaten Pekalongan

Wisata Alam Curug Bidadari Talun Kabupaten Pekalongan

November 4, 2016
3.1k
Sate Winong Mustofa Purworejo

10 Rekomendasi Kuliner Enak di Purworejo Tahun 2023

November 9, 2021
5.1k
Uniknya Mahasiswa Universitas Terbuka

5 Hal ini Hanya Terjadi Pada Mahasiswa Universitas Terbuka, Lucu Sih!

Januari 30, 2023
147
header-kotomono

RINGAN-RINGAN SEDAP

 

TENTANG  /  DISCLAIMER  /  KERJA SAMA  /  KRU  /  PEDOMAN MEDIA SIBER  /  KIRIM ARTIKEL

© 2023 KOTOMONO.CO - ALL RIGHTS RESERVED.
DMCA.com Protection Status
No Result
View All Result
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • OTOMONO
  • K-POPers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • RELEASE
    • NYASTRA
    • OH JEBULE
    • FIGUR
    • KEARIFAN LOKAL
    • NGABUBURIT
    • UMKM
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Login
  • Sign Up

Kerjasama, Iklan & Promosi, Contact : 085326607696 | Email : advertise@kotomono.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In