KOTOMONO.CO – Berawal dari kesenangan, kegiatan membaca, bagi saya, akhirnya menjadi kebutuhan. Apalagi ketika saya memerlukan banyak referensi untuk memperkaya informasi dalam tulisan-tulisan yang saya buat.
Memang, tidak bisa dinafikan, anggapan tentang membaca sebagai kegiatan yang buang-buang waktu. Apalagi kegiatan ini tidak bergaji atau menghasilkan cuan. Tak heran jika sebagian orang cenderung mengabaikan kegiatan membaca. Mungkin karena saking sibuknya mengerjakan hal-hal lain yang jauh lebih berguna bagi dirinya, atau bermanfaat langsung bagi banyak orang. Sah-sah saja.
Tetapi, bagi orang yang memiliki luang waktu relatif lebih banyak, apa salahnya ketika keluangan itu diisi dengan kegiatan membaca. Selain akan memperluas wawasan dan pengetahuan, siapa tahu lewat bacaan itu akan muncul gagasan untuk menulis. Dengan menulis itu, siapa tahu pula akan lahir penulis handal.
Eit! Jangan salah. Untuk menjadi seorang penulis tidak ada syarat yang mengharuskan agar ia berpendidikan tinggi. Saya pribadi, sangat mengapresiasi penulis-penulis keren yang ternyata pendidikannya tak terlalu tinggi.
Ada banyak contoh yang bisa diambil sebagai inspirator. Sebut saja beberapa nama, seperti Ajip Rosidi, Dahlan Iskan, Emha Ainunnajib, Rabindranath Tagore, William Shakespeare, dan sebagainya. Mereka hanya sebagian kecil dari banyak nama lain yang populer.
BACA JUGA: Focus Group Discussion yang Kehilangan Fokus
Khusus tentang Ajip Rosidi, agaknya saya tertarik dengan kisah hidup beliau. Sastrawan cum budayawan ini dianugerahi gelar Guru Besar dari Osaka Gaikokugo Daigaku, Jepang (1980). Di tahun berikutnya, 1982-1996, beliau kemudian diangkat sebagai dosen di Sangyo Daigaku dan sempat mengajar pula di Tenri Daigaku (1982-1994). Tetapi, siapa sangka jika ternyata beliau tidak pernah menamatkan sekolah menengahnya?
Tentu, tidak banyak orang tahu mengenai hal itu. Tetapi, jika Anda berusaha mengulik biografi beliau, pasti akan didapat informasi mengenai hal itu. Apalagi kalau sempat membaca buku karang beliau, “Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan”. Sebuah buku otobiografi yang mengisahkan bagaimana beliau menjalani hidup tanpa lembaran ijazah yang saat ini harganya “mahal” bagi sebagian besar orang Indonesia.
Pasti Anda akan bertanya-tanya, mengapa beliau bisa begitu?
Sejak remaja, tepatnya usia 12 tahun, Ajip yang masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat sudah sangat menggemari dunia penulisan. Ketekunannya dalam menulis saat itu telah berbuah. Saat itu, tulisan karyanya telah dimuat di halaman ruang anak-anak pada harian Indonesia Raya.
BACA JUGA: Setahun Pekalongan Art Festival: Seni, Sosial, Dan Poser
Bagi kebanyakan remaja, usia 12 tahun menjadi masa-masa yang cenderung masih diisi dengan kegiatan main-main. Tetapi, Ajip lain. Memasuki ruang kelas SMP, ia makin getol menulis. Bahkan, di usia 15 tahun, beliau telah menerbitkan dan mengeditori serta memimpin penerbitan majalah Suluh Pelajar.
Sejak itu, seolah menemukan dunia baru, beliau tak henti-hentinya mendirikan penerbitan, mengeditori, dan menjadi pimpinan dari satu penerbitan ke penerbitan lain. Walau memang, usaha beliau harus dilakukan dengan berdarah-darah.
Keteguhan hati Ajip diwujudkan dalam sikap hidup. Sejak mula, beliau telah menetapkan menjadi seniman sebagai jalan hidupnya. Sebuah pilihan yang barangkali akan ditanggapi dengan bibir yang mencibir bagi sebagian orang. Tetapi, begitulah beliau. Bahkan, saat sekolah menengah, beliau tak mau ikut ujian. Sehingga, tak ada ijazah yang ia terima kala itu.
Saya, tentu tidak sedang menuliskan biografi singkat tokoh yang fenomenal ini. Akan tetapi, melalui kisah hidup beliau yang sangat ringkas itu dapatlah dipetik pelajaran, bahwa rupanya untuk menjadi seorang penulis syaratnya hanya satu. Menulis! Bukan harus bersekolah sampai tingkat paling tinggi.
Memang, pendidikan juga diperlukan. Tetapi, tidak untuk menjadi sebuah pemaksaan. Jika mampu, raihlah pendidikan setinggi-tingginya. Jika tidak, tak mesti berkecil hati.
Tetapi, apalah artinya pendidikan tinggi jika tak dibarengi dengan menulis. Sebab, dengan menulis, seseorang akan semakin belajar tentang banyak hal. Terutama, mengenali diri sendiri.
Dan, menulis pula yang pada gilirannya membuat orang akan tertuntun untuk membaca. Maka, apa yang belakangan tengah didengung-dengungkan oleh Walikota Pekalongan, tentang gerakan literasi, lengkap dengan Bunda-bunda Literasi itu, khususnya penggiatan membaca, mestinya juga dibarengi dengan upaya menggiatkan gerakan menulis.
Mengapa menulis? Karena dengan semakin maraknya gerakan menulis, akan semakin banyak pula bahan yang dibaca. Lewat gerakan menulis, akan terjadi semacam usaha untuk saling bertukar gagasan. Dengan demikian, semakin marak pula wacana-wacana yang dapat dikembangkan. Serta, akan semakin kaya pula khazanah dunia pemikiran yang dapat dikontribusikan bagi arah masa depan Kota Pekalongan.