KOTOMONO.CO – Siapa orangnya sih yang nggak “njananan”? Soal Mplok–mplok kayaknya sudah melekat pada tipikal diri orang Pekalongan banget. Lihat saja, dari ujung utara sampai ujung selatan warung mana yang sepi pembeli? Hampir tidak ada yang sepi. Seminggu kerja buat nyari duit ya kudu habis buat makan. Begitu habis, ya kerja lagi nyari duit lagi, mungkin begitu siklusnya.
Baru-baru ini, sebuah gerakan dicanangkan sebagai program Pemkab Pekalongan. Namanya, Gerakan Njajan Njo! Konon bin katanya, program itu selaras dengan salah satu misi Bupati dan Wakil Bupati. Kononnya lagi, program itu dicanangkan sebagai tindak lanjut dari gerakan Pekan Jajan yang digembar-gemborkan Pemprov Jawa Tengah. Katanya sih buat membangkitkan ekonomi masyarakat, khususnya UMK di tengah Pandemi Covid 19.
Duh, sori ya banyakan konon. Soalnya, saya takut nanti dikira sedang kasih komentar yang dianggap ngeselin. Meski sebenarnya, saya merasa kalau program itu hanya gimmick belaka, seperti nguyahi segara. Lha nggak nguyahi segara piye wis, yang namanya njajan itu sudah jadi hobi bahkan bagian dari lifestylenya Wong Kalongan. Kok ujug-ujug program itu muncul. Apa nggak nguyahi segara itu namanya?
Iya sih, sasarannya memang bukan masyarakat secara luas. Alias dikhususkan. Terus, siapa yang dikhususkan? Ya, yang dikhususkan dalam pelaksanaan program ini adalah seluruh ASN di Lingkungan kantor/instansi/ lembaga pemerintah di Kabupaten Pekalongan. Tanpa terkecuali! Bahkan, pegawai di lingkungan Bumn/Bumd, maupun perusahaan swasta yang ada disini juga jadi sasarannya.
BACA JUGA: Orang Miskin Nggak Usah Sensi Kalau Orang Kaya Dapat Bansos
Hmm… pertanyaannya, kenapa kudu ASN dan pegawai BUMN/BUMD? Apa mereka nggak suka njajan? Atau jangan-jangan njajannya cuma di tempat-tempat tertentu, yang keliatannya ngejreng nan mentereng supaya bisa buat pamer di medsos?
Udah deh, Bu dan Pak, nggak usah repot-repot maksa ASN maupun pegawai BUMN/BUMD buat nyuksesin program itu. Soalnya, sebelum program ini dicanangkan, kelas masyarakat seperti buruh kuli keceh, tukang sablon, tukang jahit dan tukangnya para tukang atau sebangsanya justru sudah ambil bagian dulu. Tanpa kudu nunggu perintah.
Masyarakat level bawah itu suka Njajan. Jajanan yang mereka beli biasanya ya jajanan yang dijajakan para penjual jajan. Rata-rata, penjual jajan itu ya selevel dengan masyarakat kelas menengah kebawah itu. Ekonomi kerakyatan nih, Sakpore kan?
Sebagai contoh kecil, anak saya umur dua tahun kurang, kalau lihat bakul jajan lewat depan rumah selalu memberi kode minta dibelikan. Mulai pagi hari bakul indil dengan gerobak biru hampir setiap hari lewat, terus siangnya ada bakul buah dingin dan tidak lama kemudian ada bakul bakpau, masuk sore hari ada bakul sate keliling dan siomay yang tidak luput dari incaran anak saya.
Otomatis kalau anak saya jajan, ya sodara-sodaranya yang lain ikut pula jajan, terus anak tetangga juga jajan. Ini berjalan jauh sebelum Bupati mengeluarkan surat edaran Nomor 510/03272 Tahun 2021, Tentang Himbauan Pembelian Produk-Produk Usaha Mikro Kecil lho. Itu baru contoh kecil dari keluarga saya di suatu kampung, dan saya yakin kalau keluarga-keluarga yang lainnya pasti tidak sungkan buat jajan setiap hari.
BACA JUGA: Pemkab Pekalongan Wajibkan PNS Pakai Jins: Ide Brilian yang Mengundang Bahaya
Jadi menurut saya, gerakan “Njajan Njo” dari Pemkab Pekalongan ini merupakan sebuah omong kosong, bagaimana tidak, wong orang-orang sini tuh paling suka kalau makan-makan, jajan ini itu yang tanpa adanya gerakan tersebut udah berjalan dengan baik.
Saya melihat bahwa gerakan ini hanya sebatas labelisasi atas rutinitas yang sudah ada dan saya memaklumi manuver “cerdik” dari Bupati itu. Ya itung-itung buat klaim mensukseskan visi “Terwujudnya masyarakat Kabupaten Pekalongan yang Sejahtera, Adil, Merata (Setara) dan Berbudaya Gotong Royong”. Yo pora?
Nah teruntuk Ibu Bupati dan Wakilnya, setelah sukses dengan program gerakan “Njajan Njo” ini, masyarakatmu ini menunggu program yang lainnya, misalnya “Plesir Njo” atau “Jalan-jalan Njo”. Nggak bisa dipungkiri nggih bu bahwa Plesir itu juga sudah menjadi lifestyle orang Pekalongan juga. Orang Pekalongan kalau seminggu disuruh dirumah terus tanpa keluar ya suntuk, boring dan pasti nggak betah. Mereka tuh pengennya keluar rumah menghirup udara segar raketan metu sedelo mubeng reng ndalan dan tidak sedikit juga yang ujung-ujungnya nggak jauh dari yang namanya Njajan.
Kabupaten Pekalongan ini kan sudah banyak tempat wisata yang dikelola secara swadaya maupun kedinasan dan disana pasti ada yang jualan, nah kalau labelisasi gerakan “Plesir Njo” sudah bisa dilakukan maka secara otomatis akan mendapat dua keuntungan.
Yang pertama jelas, roda ekonomi kembali berjalan, tempat-tempat atau warung ada ditempat wisata ada yang beli, uang dari masyarakat diputar kembali ke masyarakat tidak langsung ke konglomerasi. Kemudian yang kedua sektor pariwisata bisa maju karena banyak yang berdatangan yang akhirnya ikut andil menambah pemasukan daerah.
BACA JUGA: Menghitung Biaya Tes Swab Massal yang Dikeluarkan Pemkot Pekalongan Selama PPKM
Jangan terlalu spaneng memikirkan penularan Covid-19 dan bukan berarti saya menyuruh menyepelekannya ya, program “Njajan Njo” sama aja mengundang resiko penularan meski pakai layanan pengantar makanan macem Gofood atau Grabfood. Jadi saya rasa gerakan “Plesir Njo” bisa dilakukan secepatnya. Wong nggak ada yang bisa lepas dari yang namanya berkerumun kok, dimanapun itu? Mau contoh? Ahsudahlah males nyebutinnya satu-satu.
Yang penting imun terjaga, dan yang paling membuat imun itu rusak adalah salah satunya lewat stress. Jadi marilah kita menghindarkan stress untuk meningkatkan imun kita melawan virus covid-19. Pokoke prokes ketat, wes kokui bae.
Berikan komentarmu