KOTOMONO.CO – Gula merah atau yang lebih dikenal dengan sebutan gula Jawa, sudah tentu bukan barang asing lagi bagi orang Indonesia, wabilkhusus orang Jawa. Jenis gula ini sudah dikenal sejak ratusan tahun silam. Tak heran jika dalam pergelaran Wayang Kulit atau Wayang Wong acap kali tembang Gula Klapa laras pelog dimainkan untuk mengiringi satu adegan. Biasanya, adegan yang dimainkan berupa adegan kesukacitaan.
Jika begitu, patut dicurigai, jangan-jangan keterampilan warga Desa Sindang, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga membuat gula merah sudah berlangsung sejak lama. Turun-temurun dari generasi ke generasi. Demikian pula di daerah-daerah lain yang juga memproduksi gula merah. Dan, apa yang dilakukan oleh mereka sesungguhnya bagian dari pelestarian budaya.
Memang, umumnya gula merah alias gula Jawa dibikin dengan menggunakan cetakan mangkuk, batok, atau blengker. Tetapi, dalam perkembangannya, lewat pembukaan industri gula di beberapa daerah Jawa Tengah, terutama yang diprakarsai KGPAA Mangkunegawa IV, produksi gula Jawa menjadi lebih bervariasi. Itu terjadi sejak abad ke-18 Masehi. Salah satu varian gula Jawa yang terkenal adalah gula Jawa kristal (semacam gula serbuk) yang dibuat dari air nira kelapa.
Desa Sindang merupakan salah satu produsen gula Jawa kristal yang ada di Kabupaten Purbalingga. Produk ini boleh dibilang sebagai produk unggulan Desa Sindang. Sebab, rata-rata warga desa ini memproduksi gula merah dalam bentuk kristal/serbuk sebagai penopang ekonomi. Produk gula Jawa kristal mereka sudah dipasarkan ke beberapa daerah.

Namun, rupanya untuk membikin gula Jawa kristal sangat dibutuhkan tenaga ekstra, kesabaran, dan keuletan yang juga ekstra. Dengan kata lain, untuk membuat gula Jawa kristal itu tak semudah yang dibayangkan. Tak seperti permainan ilusi sulap ala David Copperfield. Tapi, butuh proses yang panjang dan lama.
Pada prinsipnya, gula Jawa kristal tak jauh beda dengan gula Jawa pada umumnya. Karena bahan dasarnya sama, yaitu air nira kelapa. Hanya untuk memproduksi gula Jawa kristal dibutuhkan waktu yang lebih lama dari gula Jawa biasa.
Gula Jawa kristal berbahan dasar air nira pohon kelapa atau biasa disebut badeg. Air nira ini diambil dari getah manggar (bunga pohon kelapa). Umumnya, para penderes nira (pemetik air nira) kaum laki-laki. Sedang pengolah nira adalah emak-emak.
BACA JUGA: Selain Owabong, Apa Sih yang Menarik di Purbalingga?
Untuk mengambil nira dibutuhkan keberanian dan ketangkasan dalam memanjat pohon kelapa. Apalagi tinggi pohon kelapa bisa sampai lima meter lebih. Tak hanya itu, para penderes nira biasanya akan memanjati 30 batang pohon kelapa atau lebih per harinya untuk mengambil nira.
Makanya, agar mendapatkan nira yang banyak, para penderes mengatur jadwal pengambilan nira. Biasanya, mereka akan memanjat pohon dua kali dalam sehari. Pagi hari untuk pengambilan nira, dan sorenya untuk mengiris manggar agar lebih cepat mengeluarkan air nira.
Umumnya, setiap pohon kelapa ditumbuhi dua hingga empat tangkai manggar. Nah, jika para penderes mengambil nira sebanyak 30 barang pohon, itu artinya mereka memanjat pohon 60 dalam seharinya. Ya karena tadi, mereka akan memanjat pohon kelapa 2 kali dalam seharinya, yaitu pagi dan sore.
Setelah badeg atau air nira dikumpulkan, dituanglah nira itu ke dalam wajan berukuran jumbo. Nira itu lantas dimasak hingga berwarna kecokelatan. Waktu yang dibutuhkan agar nira benar-benar matang antara 4 sampai 5 jam. Bisa juga lebih lama, bergantung banyaknya nira yang dimasak.

Selain itu, dalam proses perebusan nira dibutuhkan seorang lagi yang bertugas menuangkan minyak ke dalam nira saat nira mulai berubah warna. Orang ini biasa disebut penggenen (perebus nira).
Begitu badeg atau air nira matang, wajan diangkat dari pawon agar cepat dingin. Biasanya wajan akan ditaruh di atas bekas ban mobil sebagai alas agar tidak goyang saat dikebuk atau diaduk. Proses pengadukan juga harus dilakukan secara intens agar kekentalan air gula yang dihasilkan merata hingga mengeras dan kering.
BACA JUGA : Potret Tradisi Nyewu di Sindang Purbalingga
Agar air gula lebih cepat kering dan tidak lembab, cairan gula ini bisa juga diangin-anginkan (diler) atau disebar di tepian wajan. Setelah benar-benar kering, gula digilas atau dihaluskan dengan alat penggilas. Biasanya para penderes menggunakan batok bulat yang diisi dengan semen yang padat. Fungsinya agar batok lebih berat dan cepat menghaluskan saat digunakan nantinya.
Jika gula sudah halus, proses berikutnya adalah diirig (disaring). Tujuan penyaringan ini, agar hasilnya benar-benar halus dan tidak menggumpal. Nah setelah gula benar-benar kering dan dingin, baru dikemas dalam plastik bening agak besar. Ada juga yang dijemur terlebih dahulu agar hasilnya lebih bagus atau kemrasak (dipegang tidak lengket).
Berbeda dengan gula merah biasanya, jika sudah matang akan diangkat lalu diaduk terus sampai mengental. Baru setelah itu dicetak dalam cetakan, biasanya orang-orang menggunakan mangkuk plastik, batok, atau blengker.
Biasanya gula Jawa kristal dijual kepada para pengepul gula. Kemudian dari pengepul ini dikirim lagi ke KUB Central Agro Lestari. Lantas, KUB Central Agro Lestari akan mendistribusikan gula Jawa kristal itu ke beberapa daerah.
Namun, tak dapat dielakkan pula dalam proses pemasaran gula Jawa kristal mengalami kendala. Produk warga tidak selalu dapat memenuhi standar yang diharapkan para pengepul. Yaitu, gula Jawa kristal yang berwarna kuning dan kemrasak. Akibatnya, tidak jarang terjadi pengembalian produk gula Jawa kristal ke penderes. Hampir rata-rata produk gula Jawa kristal yang dikembalikan itu cenderung berwarna merah agak kecokelatan. Selain itu, gula yang diproduksi juga ditemukan kurang kering atau kemrasak.
Memang, bisnis gula Jawa kristal lebih menjanjikan dibandingkan gula Jawa biasa. Harga jualnya relatif lebih tinggi dari gula Jawa biasa. Makanya, banyak warga Desa Sindang yang meminati bisnis ini. Namun, dalam keadaan tertentu, produk gula mereka kadang kurang memenuhi standar. Untuk alasan itu, sangat diperlukan inovasi dalam pemanfaatan teknologi agar gula produk warga ini dapat memenuhi standar.
BACA JUGA : 33 Tempat Wisata Hits Purbalingga Terbaru 2021
Kendati demikian, tidak sedikit pula warga Desa Sindang yang masih setia memproduksi gula Jawa biasa. Meski harga jualnya relatif lebih rendah dibandingkan harga gula Jawa kristal, namun proses pemasarannya dirasa tidak terlalu ribet. Malah, ada pula yang memproduksi kedua jenis gula Jawa itu.
Ibu Turiyah, salah seorang produsen gula Jawa kristal mengaku, bisnis gula Jawa yang dilakoninya itu merupakan usaha yang dipicu oleh kekayaan sumber daya alam di desanya. Di desa ini memang banyak tersedia pohon kelapa. Maka, usaha yang dijalankannya boleh dibilang sebagai upaya memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam.
“Hasilnya pun menguntungkan, bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari dulu memang pencaharian warga Desa Sindang sebagai pembuat gula merah, kita hanya meneruskan,” tutur Turiyah.
Berikan komentarmu