
Saya guru yang kurang ajar. Itu pasti! Nggak usah ditanya-tanya, apa sebabnya. Bukti-buktinya sudah banyak. Salah satunya didupak dari sebuah institusi ternama di Kota Pekalongan. Ssst! Nggak usah ditanya juga apa alasannya. Sudah nggak penting.
Seorang kawan baik sekaligus senior saya juga pernah melayangkan kritik pedas via kolom komentar akun media sosial saya. Menurutnya, saya nggak layak jadi panutan. Kritik itu saya sambut dengan tawa saja. Sebab, siapa juga yang berharap jadi panutan. Sama sekali tidak terbesit di benak saya untuk menjadi panutan.
Eits! Malah ngelantur. Saya kira cukuplah untuk ngelanturnya. Saya juga tidak sedang ingin menceritakan hal-hal itu. Sudah basi. Sekarang, saya ingin menceritakan perihal lain. Yang dekat-dekat ini saja.
Peristiwanya terjadi beberapa hari lalu. Tepatnya, hari Minggu, 23 Juni 2024. Waktu itu saya memenuhi undangan dari Unit Kegiatan Mahasiswa MADDA, Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama (ITSNU) Pekalongan. Saya didapuk untuk mengisi pelatihan jurnalistik dan penulisan artikel.
Sesuai undangan, saya berusaha hadir di tempat acara, di Kampus ITSNU, pada pukul 08.40. Bagi saya, itu sudah tergolong terlambat. Sebab, dalam surat undangan yang saya terima tertera jika acara dimulai pada pukul 08.00.
Oh iya, sebelum sampai lokasi, saya sempat mampir ke minimarket di sekitaran lokasi acara. Beli roti dan minuman. Maklum, saat berangkat nggak sempat sarapan.
Begitu tiba di lokasi, saya tak langsung menuju ruangan yang dimaksudkan dalam undangan. Saya duduk-duduk sebentar di sebuah saung yang berada di sekitar area parkir, di bagian belakang gedung kampus. Saya makan roti dua sisir, lantas mengisap sebatang Djarum Super. Karena saya yakin, saat itu acara belum mulai. Saya belum mendengar ada nyanyian lagu Indonesia Raya berkumandang dari dalam ruangan. Belum juga saya dengar suara pemandu acara mulai membuka acara.
Benar saja. Setelah sesisir roti habis, sebatang Djarum Super habis pula, seorang mahasiswa berseragam hitam-hitam lengkap dengan emblem-emblem yang tertempel di beberapa bagian bajunya datang menghampiri. Ia tersenyum ramah. Menyapa saya. Lalu, menjuju saya ke ruangan tempat acara dilangsungkan. Tepatnya, di lantai tiga.
Sampai di lantai tiga gedung kampus ITSNU Pekalongan, mahasiswa itu lantas memandu saya menuju ruang transit. Ruangan itu tampak sepi. Hanya ada hamparan karpet hijau. Begitu saya memasuki ruangan, beberapa mahasiswa masuk untuk menemani saya. Tentu, maksudnya untuk menyambut saya dengan sedikit obrolan.
Tak lama setelah obrolan berlangsung, saya baru mendengar suara MC memulai acara. Kemudian, lagu Indonesia Raya. Disambung dengan sambutan-sambutan. Karena saya tidak di ruangan acara, lamat-lamat saya mendengar suara ketua panitia memberi sambutan, disusul suara salah seorang dosen. Saya pikir, pasti itu adalah pejabat kampus. Entah itu rektor atau wakilnya.
Sambil menikmati suara-suara itu, saya sempatkan untuk mengajak ngobrol mahasiswa yang ada di ruangan itu. Saya tengok kanan-kiri, saya tak mendapati keberadaan narasumber lain selain saya. Mestinya, ada dua narasumber dalam pelatihan itu. Yaitu, saya dan Gus Khairul Anwar.
“Gus Khairul Anwar belum datang?” tanya saya kepada mahasiswa itu.
“Masih dalam perjalanan, Pak,” jawabnya.
“Yang dapat giliran pertama Gus Anwar, kan?” tanya saya lagi. Maksud saya, sekadar memastikan apakah panitia benar-benar sudah menghubungi Gus Khairul Anwar atau belum. Sebab, sangat tidak enak rasanya jika susunan acara yang sudah tertata rapi justru akan terabaikan dan diubah begitu saja karena kondisi yang mestinya tidak perlu.
“Iya,” jawab mahasiswa itu singkat. Tetapi, saya menangkap ada gurat keraguan pada tatapan mata mahasiswa itu.
Menangkap keadaan yang demikian, saya lantas iseng menghubungi Gus Khairul Anwar via WhatsApp. Saya tulis pesan singkat, “Sudah ditunggu, Gus.”
Tanpa menunggu lama, Gus Khairul Anwar membalas. “Siap Pak Ribut.”
Beberapa menit kemudian, Gus Anwar sudah tiba di lokasi. Ia segera memasuki ruang transit. Disusul kemudian dosen yang pejabat itu. Rupanya, beliau adalah Pak Husni Hidayat. Wah, kalau beliau mah sudah tidak asing lagi. Beliau saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor II yang merangkap Wakil Rektor III. Tutur beliau, untuk sementara belum menemukan orang yang tepat.
Obrolan basa-basi pun berlangsung di antara kami. Pak Husni meminta saya masukan tentang majalah kampus terbitan perdana. Saya sedikit memberi beberapa masukan tentu saja. Lalu, beliau juga meminta saya untuk mengawal perjalanan teman-teman mahasiswa yang tergabung dalam UKM MADDA. Saya pun dengan terbuka mengiyakan permintaan beliau.
Usai berbasa-basi, Pak Husni undur diri. Lalu, kami yang tinggal di ruang transit kembali membahas teknis acara. Saya usulkan kepada panitia, agar saya dan Gus Anwar ditampilkan bersamaan. Alias dipanel. Alasan saya, supaya lebih efektif dan tidak membuang waktu praktik. Apalagi durasi pelatihannya sampai sore.
“Kalau terpisah, nanti konsentrasinya lagi jadi kurang full. Jadi, mending nanti di sesi latihan sekalian saja untuk dua materi yang disampaikan,” usul saya.
Sebenarnya, usul itu bukan lantaran efisiensi waktu. Alasan yang sesungguhnya, karena saya ogah menunggu giliran waktu tampil yang terlalu lama di ruang transit. Sebab, dalam susunan acara, saya baru dapat giliran tampil pukul 13.30. Sementara, saya sudah kadung datang lebih awal dari pemateri pertama. Alasan lain, ini murni alasan yang kurang ajar, yaitu saya ingin ngetes mental Gus Anwar saat tampil nanti.
Usulan saya rupanya disepakati. Dalam hati, saya ketawa jahat. Akhirnya, saya berkesempatan menyaksikan presentasi Gus Anwar, sosok penulis muda yang mendaku sebagai murid saya. Maka, usaha saya untuk ngetes mentalnya terlaksana pula!
Ah, betapa kurang ajarnya saya. Tetapi, kalau nggak kurang ajar, kapan lagi saya bisa ngetes mental orang. Mumpung ada kesempatan berkurang ajar ya sikat aja langsung.
Sejak disepakati usulan itu, sekilas saya menangkap ketegangan pada diri Gus Anwar. Dia mulai merasa kurang percaya diri. Saya malah cuwek saja. Tak sekalipun memberinya motivasi atau sekadar pura-pura membuatnya tenang. Saya sengaja. Ingin tahu cara dia menenangkan diri.
Pelatihan dimulai. Kami digiring memasuki ruang acara. Kami duduk berdampingan saat pemandu acara membacakan biodata kami. Usai pembacaan biodata itu pemandu acara lantas menyerahkan mikrofon kepada kami dan menyilakan untuk menyampaikan materi. Seperti dalam urutan, Gus Anwar saya persilakan untuk mengisi kali pertama.
Selama lebih kurang 30 menit, Gus Anwar memaparkan materi tentang jurnalistik. Ia siapkan juga powerpoint sebagai alat bantu. Pada permulaan, saya menyimak paparan Gus Anwar. Namun, saat menangkap resonansi ucapannya yang terasa ragu-ragu, saya alihkan perhatian saya pada majalah dan hp saya. Pura-pura tak memperhatikannya. Setidaknya, agar ia tak merasa sedang diperhatikan.
Perlahan-lahan ia mulai lancar menyampaikan materi. Setidaknya, apa yang disampaikan sesuai dengan panduan yang dibuat melalui powerpoint. Beberapa kali ia juga menyampaikan, nanti soal pendalaman materi akan dijelaskan oleh saya. Ucapan itu tak saya gubris. Saya pura-pura tak mendengarnya. Bukan karena tak mau atau tak sudi, melainkan saya ingin menunjukkan bahwa panggung itu sepenuhnya miliknya. Maka, pergunakan secara maksimal dan kuasailah. Apapun yang terjadi, show must go on!
Usai memberi materi, saya didapuk untuk melanjutkan materi berikutnya. Gus Anwar sempat berkata, “Giliran saya belajar dari njenengan, Pak.”
Saya hanya tersenyum. Sebab, persiapan saya tidak sematang Gus Anwar. Powerpoint yang saya buat teramat sederhana. Satu slide, satu kalimat. Tanpa riasan gambar, tanpa ornamen apapun. Dan, satu hal lagi, saya sama sekali tak mengomentari materi yang disampaikan Gus Anwar. Sebab, selain topik bahasan yang saya berikan berbeda, juga karena saya ingin memberikan kesan positif kepada peserta tentang Gus Anwar. Itu saja.
Ah, rasa-rasanya saya memang betul-betul guru yang kurang ajar. Maafkan saya, muridku karena telah mengerjaimu. Tetapi, saya bangga pada pencapaianmu yang luar biasa. Lebih-lebih dengan keberanianmu membuat media baru di jagat maya. Semoga media yang kamu kelola akan mendulang sukses dan membawa manfaat. Salam hormat untukmu, Gus Anwar.