KOTOMONO.CO – Lagu “Kehilangan” ciptaan Raja Dangdut, Rhoma Irama, sepertinya sangat pas menggambarkan keadaan akhir-akhir ini. Setelah lebih satu dekade kepergiannya, banyak orang yang rupanya merindukan ia hadir kembali. Lewat laku hidup, ia begitu menginspirasi banyak orang. Bahkan, menjadi teladan.
Pemikirannya membawa hawa segar di tengah kersangnya hidup berbangsa dan bernegara, sebagai akibat erosi moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang kikis. Pemikirannya demikian lincah berakrobat. Meloncat, berguling, salto, bahkan berulang-alik. Membuat kepala-kepala para pemikir lain pun geleng-geleng sambil menahan kelu karena kerap mendatangkan polemik. Terutama, bagi yang kurang mampu menyelami dunia pemikirannya.
Begitulah Gus Dur. Manusia multidimensi. Intelektual atau cendekiawan muslim, kiai sekaligus ulama, dan pejuang kemanusiaan.
Hingga kini, perannya yang berada di banyak “panggung” itu masih cukup berpengaruh. Seolah-olah Gus Dur mengabadi lewat pemikiran maupun gagasan-gagasannya. Pesonanya tak kunjung padam. Apalagi dengan beragam fenomena “kenakalannya” yang dimunculkan di kalangan umat muslim, khususnya Nahdlatul Ulama (NU), juga di kalangan non-muslim. Tak heran, banyak orang berasumsi kalau mencari sosok selevel Gus Dur itu sulit, apalagi untuk saat ini.
Ungkapan-ungkapan ganjilnya, seperti “Tuhan tidak perlu dibela karena Tuhan sudah Maha Segalanya. Tetapi belalah mereka-mereka yang diperlakukan tidak adil dan diskriminatif”. Benar-benar membuat orang bisa salah menangkap maknanya. Mungkin juga karena mereka luput menangkap nuansanya. Apa yang diungkapkan Gus Dur, pada dasarnya sebagai dasar pemikirannya tentang bagaimana manusia mesti menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan di dalam menjalani hidup bersama di atas muka bumi ini.
Ya, Gus Dur adalah aktivis kemanusiaan. Perjuangannya untuk kesetaraan umat manusia, terutama di Indonesia, tak semata-mata dituangkan dalam karya maupun pemikirannya. Malah, ia tunjukkan dalam perilaku hidup keseharian. Dan, sepertinya Gus Dur layak dinobatkan sebagai bapak sosialisme dari pesantren abad ke-21. Mengapa? Mari kita telisik lebih dalam tentang bagaimana Gus Dur.
BACA JUGA: Ketertarikan Gus Dur Terhadap Pemikiran Humanisme
Saya tidak cukup mengenal sosok Gus Dur secara pribadi. Jabat tangan pun belum pernah. Hanya, lewat buah pemikiran dan gagasannya saya berkesempatan mengenalinya. Mulai dari ihwal perjalanan hidup dan sepak terjangnya, terutama dalam kemasyarakatan dan keberagamaan, tertangkap oleh saya empat hal yang dapat direfleksikan sebagai alasan mengapa Gus Dur layak dijuluki Bapak sosialisme di abad ke-21.
Pertama, Gus Dur seorang pesantren tulen. Sudah jamak diketahui, bahwa pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Sebagai lembaga tertua, pesantren memainkan peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam di bumi Nusantara. Sejak kali pertama berdiri, pesantren mendeklarasikan diri sebagai lembaga pusat kajian ilmu-ilmu keislaman (tafaqquh fid-dien). Kontribusinya begitu besar terhadap tegaknya Islam Ahlussunnah Waljamaah sampai saat ini.
Kendati demikian, misi utama pesantren adalah membentuk akhlak seorang santri, selain mencetak para kader-kader ulama. Alih-alih mengajarkan ilmu-ilmu agama, akhlaklah yang diutamakan. Tidak mengherankan, jika di pesantren, akhlak memiliki posisi (kedudukan) yang strategis bahkan menjadi prioritas utama.
BACA JUGA: Universalisme Islam dan Upaya Memanusiakan Manusia
Tak hanya itu, pesantren juga mengajarkan tentang pentingnya sikap toleransi terhadap sesama, baik kepada santri ataupun non-santri. Dengan posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, adalah wajar jika pesantren tidak membedakan status sosial dan kelas masyarakat. Artinya, siapa saja yang berkeinginan untuk mempelajari atau memperdalam pengetahuan keagamaan Islam, diperbolehkan memasuki lembaga tersebut.
Sejarah mencatat, bahwa pesantren, dengan model dan sikapnya yang demokratis-egaliter, menjadikannya sebagai lembaga yang banyak diminati oleh masyarakat. Bahkan, di masa awal berdirinya pesantren, masyarakat secara sukarela dan berbondong-bondong mendatanginya guna untuk memeluk agama Islam.
Sebagai orang yang dilahirkan dari rahim pesantren dan keluarga yang taat beragama, yang termasuk cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari dan putra dari Menteri Agama Pertama pada masa pemerintahan Orde Lama (Soekarno), KH Wahid Hasyim, adalah laku hidupnya yang acapkali mencerminkan sosok seorang santri tulen atau agamawan sejati. Walaupun ia berada dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
Ini artinya, tempaan pendidikan keluarga dan lingkungan pesantren (tempat Gus Dur dibesarkan) serta model pendidikan pesantren yang demokratis-egaliter itu, mengantarkan Gus Dur menjadi sosok yang memiliki pemahaman keagamaan yang kuat, selain memiliki kepribadian luhur. Dengan bermodalkan pengetahuan keagamaan yang mendalam, terutama pemahaman akan Islam sebagai Rahmat bagi seluruh Alam semesta (Rahmatan Lil Alamin) menjadikan Gus Dur sosok yang memiliki sikap toleransi kuat, dan bahkan beliau telah menerapkan dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata.
BACA JUGA: Perempuan Sarjana Tanpa Karir
Kedekatannya dengan umat dan para pemuka agama, baik Islam maupun non-Muslim adalah salah satu wujud konkret Gus Dur. Juga keberpihakannya terhadap kelompok minoritas, termarginalkan, rasa toleransi dan penghormatannya terhadap agama dan keyakinan yang berbeda dengan Gus Dur. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa betapa percaya dirinya Gus Dur akan ajaran agama yang diyakininya. Ini juga sebagai bukti konkret bahwa dirinya sebagai sosok seorang tokoh humanis sejati. Maka tidak mengherankan, apabila Gus Dur banyak dihormati dan disegani oleh banyak orang. Bukan hanya umat Islam, melainkan juga non-Muslim.
Kedua, Gus Dur seorang negarawan sejati. Walaupun masa pemerintahan Gus Dur tak bertahan lama, tetapi ia telah banyak menorehkan prestasi yang gemilang dengan melakukan terobosan-terobosan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Demokrasi dan kesetaraan (egalitarian), terutama dalam bidang hak-hak sosial dan politik warga negara, adalah prioritas utama. Sehingga, sekat-sekat diskriminasi dan kebebasan yang sudah lama mati Gus Dur buka kembali.
Tentu saja, ini menjadi angin segar bagi kelompok minoritas yang pada awalnya dimarginalkan. Namun setelah Gus Dur menjabat Presiden, mereka memiliki kesempatan untuk turut serta memutuskan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini merupakan langkah yang tepat bagi seorang Gus Dur guna menghindarkan gerakan separatisme yang mulai bermunculan kala itu. Juga, kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkebudayaan beliau beri ruang untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan keberagaman bangsa Indonesia.
BACA JUGA: Gus Dur, Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (bagian 2)
Komentarnya gan