KOTOMONO.CO – Dalam rumus yang diperjuangkan feminis, bahwa laki-laki tak wajib miliki finansial yang stabil. Jika diwajibkan maka akan menimbulkan yang namanya toxic masculinity.
***
Seperti biasa, sebelum tidur, saya berselancar di media sosial terlebih dahulu. Biasanya saya membuka Twitter, Instagram, hingga Whatsapp. Saat mengakses aplikasi chatting tersebut, saya menemukan postingan dari salah satu teman saya. Begini bunyinya:
Bila untuk pekerjaan, kedudukan di dalam rumah tangga, kedudukan di dalam sistem sosial, dan hak-hak lainnya pastinya menganut paham kesetaraan gender. Di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama.
Tapi bila menyangkut kewajiban seperti mencari nafkah, biaya kencan, biaya rumah tangga, biaya anak, pasti menganut paham patriarki di mana semuanya adalah tanggung jawab laki-laki sebagai provider
Pengen diberi tanggung jawab yang sama tapi emoh dikasih tanggung jawab yang sama. Gimana sih sebenarnya feminis-feminis itu?
Pemahaman di atas bukan hanya ada di otak teman saya tersebut. Masih banyak orang yang salah paham mengenai konsep feminisme. Jadi, yang mereka tahu bahwa feminisme ingin merebut kekuasaan sosial dari laki-laki. Padahal sebenarnya tidak demikian.
Jadi, begini, ya, mas dan yang lainnya. Saya jelaskan apa yang sebenarnya diperjuangkan para feminis biar kamu dan yang lainnya nggak lagi salah paham tentang konsep feminisme.
Merangkul Korban Kekerasan Seksual
Setiap kali berselancar di media sosial, saya selalu menemukan berita terkait kekerasan seksual. Perempuan adalah korban kekerasan seksual yang sering ditemui di berbagai laman berita. Namun, laki-laki bukannya tidak pernah menjadi korban. Salah satunya adalah MS, pegawai dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dilansir Tempo, MS mulai bekerja di KPI pada tahun 2011. Pada tahun itu juga hingga tahun 2014, MS sering menerima kekerasan seperti perisakan, intimidasi, dan disuruh membelikan makanan oleh para seniornya. Kemudian pada tahun 2015 MS menimpa kekerasan seksual dari para pelaku hingga mengalami mental down dan trauma pada tahun 2016.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Pada tahun 2017-2020 korban melapor ke Komnas HAM hingga kepolisian namun hasilnya nihil. Baru pada tahun September 2021, laporannya diterima ke Polres Jakarta Pusat karena pengaduannya di media sosial viral. Laporan ini juga didampingi oleh komisioner KPI.
Dalam kasus ini dan kasus kekerasan seksual lainnya yang korbannya laki-laki, para feminis memadang bahwa hal tersebut sangatlah sulit. Sulit karena menurut konstruksi sosial, laki-laki tidak mungkin jadi korban kekerasan seksual karena mereka memiliki pribadi yang kuat. Saking kuatnya, laki-laki dilarang untuk menangis dan mengadu (bahkan curhat pun tidak boleh). Hal ini berdampak kepada pasien di rumah sakit jiwa yang kebanyakan laki-laki.
Ada kasus lain yang belum lama ini terjadi dan sempet viral di Tiktok maupun platform lain. Seorang perempuan dengan sengaja mendekatkan payudaranya ke para laki-laki sambil menanyakan berbagai pertanyaan. Adanya kasus ini, Kalis Mardiasih, feminis asal Yogyakarta, angkat bicara melalui instagramnya.
Menurutnya, si perempuan tersebut adalah pelaku dari pelecehan seksual ini. Dalam video tersebut, laki-laki yang menjadi korban pelecehan merasa tidak nyaman bahkan ada yang mengatakan dengan tegas “ntar, jangan deket-deket dulu.”
Para laki-laki tersebut juga tidak membalas pelecehan ke perempuan dungu itu. Hal tersebut mematahkan mitos bahwa jika perempuan memakai pakaian terbuka pasti akan dilecehkan.
Kalis juga mengatakan bahwa terus dukung undang-undang yang melindungi korban pelecehan seksual (entah laki-laki maupun perempuan) agar mau speak up dari kasus yang menimpanya. Jadi, anggapan bahwa laki-laki kurang “laki” saat speak up jadi korban pelecehan seksual segera dihapus dari konstruksi sosial.
Membuka Pintu Lebar Laki-laki untuk Menjadi Bapak Rumah Tangga
Di negeri tercinta ini, menjadi Bapak Rumah Tangga adalah hal yang tabu. Lagi-lagi karena konstruksi sosial yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga yang diharuskan memiliki finansial yang stabil, sehingga dapat mencukupi anggota keluarganya. Jika laki-laki tidak memiliki penghasilan tetap maka akan dianggap kurang maskulin.
Saat pandemi menimpa dunia, banyak laki-laki yang terpaksa di PHK dan mengharuskan menjadi Bapak Rumah Tangga. Hal tersebut dialami oleh Hendrawan, seorang laki-laki yang menjadi Bapak Rumah Tangga setelah di PHK dari sebuah perusahaan.
Dilansir dari DetikX, ia sedang menikmati menjadi pekerjaan barunya walaupun dalam pengerjaan job desk-nya tak mengenal waktu. Memang, 24 jam untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga rasanya ridak cukup.
Sebelum memutuskan untuk menjadi Bapak Rumah Tangga, Hendrawan mengatakan bahwa ia sudah mencoba melamar pekerjaan, namun tak sesuai harapan. Akhirnya, ia menjadi stay at home dad dan freelancer animator yang didukung oleh istrinya yang memiliki jabatan tinggi di sebuah bank swasta.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Menjadi Bapak atau Ibu Rumah Tangga bukanlah pekerjaan yang mudah. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa 24 jam dalam sehari tidak cukup untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Belum lagi pekerjaan ini dianggap sepele oleh masyarakat karena tidak menghasilkan uang yang banyak.
Menurut Irwan Hidayana, seorang dosen Ilmu Antropologi dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa perempuan bisa melakukan pekerjaan di ruang publik, namun saat yang bersamaan ia juga mengerjakan tugas domestik. Namun, hal ini juga bisa dilakukan oleh laki-laki.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa semenjak pandemi Covid-19, cukup memengaruhi terkait relasi gender dalam keluarga. Jadi, ketika kita terkurung di rumah, mungkin banyak laki-laki yang baru sadar bahwa ternyata banyak hal yang dilakukan perempuan saat di rumah. Hal tersebut diutarakan dalam kanal youtube Tirto yang berjudul “Menjadi Bapak Rumah Tangga: Di Mana Letak Harga Diri Laki-laki?
Dengan adanya hal ini, para feminis jelas sangat mendukung laki-laki menjadi Bapak Rumah Tangga. Dalam rumus para feminis, laki-laki (dan manusia lainnya) tak wajib memiliki finansial yang stabil. Karena jika diwajibkan maka akan menimbulkan toxic masculinity. Asalkan ada kesepakatan dari kedua pihak dan terdapat simbiosis mutualisme, maka lakukanlah.
Komentarnya gan