KOTOMONO.CO – Sejak kecil, kawan-kawan saya senang sekali memainkan pelesetan kata. Dari sekian kata, kalimat, atau istilah yang jadi mainan, tak ada yang lebih melegenda daripada pelesetan semboyan Tut Wuri Handayani. Acapkali, di sela-sela candaan, sebagai bumbu penyedap, kami tak lupa melontarkannya. Lantas kami bakal puas waktu kawan-kawan tertawa atau sekadar meringis. Hingga kini, pelesetan legendaris itu telah terpatri di hati saya.
Biasanya, tak jauh di sekitar tulisan Tut Wuri Handayani, terdapat juga logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka berdua adalah entitas sejarah yang selalu saya baca dan lihat (sekilas) tanpa mencoba mencari tahu apa maknanya. Terutama logo tersebut, keduanya nyatanya akrab di benak pelajar. Sejak SD hingga SMA, simbol itu sering dipajang di atas kepala anak sekolah.
Tak tahulah bagi kawan-kawan, tetapi saya selalu mengira bahwa logo itu berbentuk seperti seekor burung yang tengah membentangkan kedua sayapnya di atas buku yang terbuka. Beberapa kali saya sempat juga berpikir mengenai hubungan antara burung dengan sekolah. Mungkin, dengan kemampuan terbangnya, kami, anak-anak sekolah, bisa terbang kemana saja melintasi langit, menembus pelangi, menghindari hujan dengan terbang di atas awan, serta mengunjungi tempat-tempat yang kami inginkan. Sebuah kemampuan yang diimpikan manusia sejak dulu kala. Begitulah, tampaknya manusia berambisi mewujudkan segala impiannya dengan bersekolah.
Kemudian, entah mulai kapan, saya akhirnya tahu bahwa Tut Wuri Handayani diciptakan oleh Mas Wardi (panggilan ini terdengar lebih akrab, seakan-akan beliau tetangga saya sendiri). Bahkan, beberapa tahun belakangan saya baru sadar kalau 2 Mei itu, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang sedang kita rayakan, merupakan tanggal lahirnya salah satu trio pendiri Indische Partij. Asem ah! Telat banget.
Mungkin saya memang ditakdirkan untuk selalu terlambat, entah terlambat menyadari, telat memahami, dan juga barangkali telat-telat yang lain. Tepat seperti sekarang, saya berada dalam kondisi terlambat (artinya belum) memahami pendidikan yang diperjuangkan Mas Wardi, meski saya seorang Sarjana Pendidikan yang telah lebih dari 18 tahun bersekolah. Betapa ironinya.
Oh iya, di atas, saya menggunakan sebutan Mas Wardi alih-alih Ki Hajar Dewantara, sebagaimana akhir-akhir ini khalayak suka sekali memanggil Menteri Pendidikan yang sekarang dengan sebutan Mas. Untunglah cucu Pakualam III ini orangnya egaliter, tak masalah dengan panggilan Mas dan bukannya Raden Mas seperti bangsawan Jawa pada umumnya.
Awalnya sih saya coba dengan panggilan Mas Hajar atau Mas Dewa. Tapi, keduanya kedengaran mengintimidasi. Lalu saya beralih ke nama aslinya dan segera mencoba melafalkan panggilan-panggilan berikut ini sekaligus: Mas Suwar, Mas Wardi, Mas Surya, dan Mas Ningrat.
Nama Suwar persis seperti nama orangtua teman saya yang dulu pernah membentak, mencaci, bahkan pernah misuhi saya karena sering mengajak anaknya main hingga larut malam. Kejadian itu praktis membikin saya trauma dan benci dengan beliau. Terang saja kalau secara psikologis saya tidak sudi memilih panggilan Mas Suwar untuk Mas Menteri Pendidikan pertama Republik ini.
BACA JUGA: Pasti di Sekolahmu Nggak Ada Lab IPS, Kan?
Sebenarnya panggilan Mas Surya agak pas. Tetapi kemudian saya ingat, aktor Surya pernah beradegan ciuman dengan aktor Tora. Buru-buru saya tinggalkan panggilan itu. Panggilan Mas Ningrat pun tak saya pilih. Dari namanya saja seolah sebutan ini menempatkan beliau jauh di seberang orang kecil nan jelata macam saya. Begitulah kira-kira, hingga saya menganggap bahwa panggilan Mas Wardi terdengar lebih merakyat, lebih kece dan lebih sedap didengar.
Semua Orang Tahu Mas Wardi, Tapi…
Siapapun tahu Mas Wardi. Apalagi saban tahun tanggal kelahirannya selalu dirayakan jutaan orang. Beberapa waktu lalu ramai juga di jagad maya, orang-orang memasang twibbon, poster, atau jenis media lainnya untuk memperingati Hardiknas. Tetapi tiap tahun pula kita melewatkan kesempatan mengenal Mas Wardi lebih dalam, perjuangan dan pemikirannya di lapangan pendidikan. Lebih tepatnya, kita (sudah tentu saya juga) mengesampingkannya.

Betul bahwa semua orang tahu Mas Wardi. Tapi tak banyak yang memahaminya. Sekitar akhir tahun lalu, guru saya, Pak Djono, pernah berujar bahwa Mas Wardi itu sangat terkenal. Saking terkenalnya, semakin banyak orang yang membawa namanya, seolah semakin cerah pula masa depan pendidikan bangsa ini. Dengan kata lain, Mas Wardi dibikin sebagai simbol pendidikan. Tak lebih.
Seiring waktu, perayaan-perayaan dan hari-hari peringatan sekadar berfungsi sebagai alarm pengingat untuk saya (dan mungkin sampean semua) ikut-ikutan melakukan euforia. Tak tepat betul memang, tapi dari tahun ke tahun saya mengucapkan atau menulis peringatan Hardiknas, umpamanya, tanpa sedikit pun niat merefleksikan makna pendidikan bagi saya dan profesi yang sedang saya jalani.
Nyatanya hari peringatan atau perayaan, sekali lagi, cuma jadi pengingat. Dia itu kayak orangtua yang selalu mengingatkan kita agar jangan sampai terlambat sholat, makan, belajar, dan istirahat. Tentu maksudnya ialah tanpa adanya pengingat itupun kita tetap melakukannya, yakni tak telat makan, sholat, belajar, dan juga istirahat.
Sayang, maksud tinggal hanya maksud. Apakah setelah tanggal 2 Mei saya tidak belajar apa-apa, tidak merefleksikan apa-apa, serta tidak melakukan perubahan apa-apa? Jika ya, haduh, rugi sekali. Faktanya, hingga kini saya tidak melakukan apa-apa, tidak merefleksikan apa-apa, dan hampir tidak melakukan perubahan apapun, sampai kemudian tiba saatnya saya menuliskannya di sini.
Untuk menuliskan ini saja saya butuh berpikir keras, menimbang, dan merenung. Sebagai guru, saya dilingkupi oleh beragam asumsi. Misalnya, bahwa guru itu orang pintar dan sebagai satu-satu sumber ilmu pengetahuan bagi murid-muridnya, bahwa ketidaktahuan dan kemalasan guru itu menandakan bahwa ia kurang cakap, tidak layak, atau bahkan, maaf, bodoh; bahwa guru itu harus pula bertindak sempurna menurut aturan moral dan etika, dan semacamnya.
Asumsi-asumsi itu sedikit-banyak membuat saya malu sekaligus khawatir soal serba kekurangan saya sebagai guru, soal sikap saya yang ndableg dan seenaknya saat bekerja. Tapi, jujur pada diri sendiri itu lebih menentramkan, dan hanya melalui pengakuan inilah hati saya jadi plong.
Mas Wardi mungkin bakal tepok jidat membaca pengakuan saya. Bahkan mungkin tertawa cekikan sambil menutupinya dengan tangan tatkala mendengar semboyan kesayangannya, Tut Wuri Handayani, dipelesetkan oleh anak-anak sekolah menjadi: Ngentut Mburi Mbahayani. Memang, mereka ini gemblung, tapi juga tak bisa disalahkan.
Gimana lagi, Mas Wardi, sejak awal saya tidak pernah dipaksa mempelajari karya sampean, apalagi mempraktikkannya. Jadilah semboyan yang terkenal itu: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani; manis di bibir saja. Apa makna dan penerapannya dalam pendidikan, tidak jadi perhatian. Padahal zaman makin canggih, mau cari apa-apa jadi lebih mudah. Segala macam informasi ada, tinggal kemauan manusianya saja.
BACA JUGA: Salah Guru ya Kalau Kualitas Pendidikan Kalah Saing?
Tulisan ini akan segera berakhir, dan saya tetap saja merasa bersalah dan nggak enak sama beliau. Karena itu, saya minta bantuan seorang kawan menceritakan dengan singkat sebuah buku kumpulan tulisan Mas Wardi di bidang pendidikan yang berhasil dihimpun oleh Majelis Luhur Taman Siswa beserta Panitia; berharap dapat sedikit mengurangi rasa bersalah saya.
Lama sekali kawan saya ini bercerita tentang buku itu, dan yang paling mengena di kepala saya yaitu: Mas Wardi itu penulis produktif kelas wahid. Beliau menulis di berbagai tema, seperti pendidikan, kebudayaan, politik, sosial, dan jurnalistik. Di buku ini saja ada sekitar 100 buah tulisannya. Dan isinya “daging” semua. Itulah sebabnya melalui Keputusan Presiden No.316 tanggal 16 Desember 1959, hari lahir Mas Wardi ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, sebagai penghargaan dan penghormatan atas jasa beliau di lapangan pendidikan nasional. Selamat Ulang Tahun ke-132, Mas. Happy Brithday!
Baca Tulisan-tulisan Menarik Dini Alan Faza Lainnya
Komentarnya gan