KOTOMONO.CO – Keluar dari Satpas SIM Polres, senyum sumringah langsung terpancar dari wajah kucal. Maklum, waktu itu masih ikut Pramuka, jadi sering dijemur tiap waktu latihan. Sampai rumah, bak upacara sertijab ala-ala, kunci motor Astrea Legenda peninggalan kakek segera diserahkan dari ibu ke saya. Awalnya memang agak malu memakai motor ini ke sekolah di tengah serangan motor-motor matic gede sekelas Nmax atau PCX yang memang waktu itu lagi booming. Tapi lama-kelamaan juga terbiasa, justru disanjung oleh beberapa guru yang punya pengalaman indah bersama motor Honda tua ini.
Kendaraan ini pernah menjadi motor sejuta umat di era 90-an. Bapak misalnya, sewaktu masih menjadi aktivis ‘98 sering wira-wiri naik Astrea Grand dari Solo ke Kedung Ombo. Jangankan bapak, sampai hari ini kalau ada giat di balaikota, terlihat motor Astrea masih menumpuk di pojok parkiran basement. Berdebu dan tak terawat, nyaris seperti rongsokan. Kendaraan ini pernah menjadi motor dinas pemerintahan berdampingan dengan Honda Win 100 yang terkenal dengan julukan “motor carik”. Sayang, sekarang banyak yang mangkrak dan jadi besi tua, meski banyak juga yang sudah dilelang.
BACA JUGA: 4 Sosok Penting Pelopor Penerbangan Dunia
Seri Astrea adalah produk Honda yang begitu melekat di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Apalagi generasi 80-an, 90-an pasti sangat mengenal motor legendaris ini. Desain yang dibuat untuk kebutuhan penggunaan harian sudah lengkap. Ditambah lagi dengan kemampuan mesin yang awet dan tangguh. Alasan lain yang membuat Astrea begitu dicintai adalah konsumsi BBM yang irit. Suku cadang dan akses perawatan rutin juga mudah dan murah. Inilah mengapa dari segi ekonomi, motor Astrea sangat bersahabat dan sungguh merakyat.
Motor Dengan Silsilah Yang Panjang
Tak bisa dipungkiri, motor Honda Astrea memang memiliki banyak seri. Inilah yang membuatnya begitu berkesan di benak masyarakat Indonesia. Seri awal Astrea dimulai dari Astrea 700. Motor dengan kapasitas 70 cc, dan memiliki kecepatan maksimal 80 Km/jam. Seri ini diluncurkan pada tahun 1981-1983. Seri kedua ada Astrea 800, yang menawarkan peningkatan kapasitas menjadi 86 cc. Desain stoplamp berbentuk kotak dengan tambahan visor kecil di atasnya, menjadi ciri khas seri kedua ini. Seri selanjutnya dan seterusnya ada Astrea Star, Astrea Prima, Astrea Grand, Astrea Supra, Astrea Impressa, dan Astrea Legenda.
BACA JUGA: Mengenal Lebih Jauh Apa Itu Mata Uang Kripto
Astrea Legenda sendiri adalah seri yang saat ini saya pakai sehari-hari. Seri ini bisa dibilang cukup muda dan pertama kali diluncurkan pada tahun 2001. Kapasitas mesin sudah mencapai 100 cc, dengan kecepatan maksimum 100 Km/jam. Setidaknya itu kecepatan yang tertulis dalam buku spek keluaran pabrik. Meski kenyataanya kini hanya bisa mencapai 80 Km/jam, mungkin karena usia mesin yang sudah cukup lama.
Motor ini masih nyaman dipakai harian. Bahkan, meski sudah memasuki 20 tahun penggunaan, kendaraan ini belum pernah turun mesin. Bukan Astrea namanya kalau nggak irit BBM. Astrea Legenda memiliki kapasitas tangki 3,5 liter, dan konsumsi BBM 60-77 Km/liter apabila dikendarai di kecepatan rata-rata 50 Km/jam. Sistem gigi manual, dengan rotasi N-1-2-3-4 sudah sangat ideal untuk melibas jalanan di kota. Bahkan di tanjakan, gigi 1 dan 2 Astrea terkenal kuat. Mungkin itu menjadi alasan kenapa di pedesaan dataran tinggi, masih banyak petani yang menggunakan Astrea sebagai kendaraan tempurnya ke ladang.
Motor 3 Generasi
Awalnya kendaraan ini adalah milik almarhum kakek. Dulu waktu kecil, kakek sering membawa saya keliling kota Madiun. Motor ini kemudian diberikan ke anaknya yang tidak lain adalah ibu kandung saya di tahun 2006. Dan akhirnya di tahun 2018 lalu motor ini resmi menjadi milik saya.
BACA JUGA: Belajar Bijak dari Driver Ojol Selalu Berwajah Lusuh Ketika Mengambil Orderan
Sudah banyak pengalaman indah dilalui bersama si Klontang, julukan untuk motor Astrea saya. Mulai dari survei ke hutan-hutan, dibawa untuk operasi SAR dulu sewaktu masih jadi relawan, hingga boncengin gebetan cantik kembang sekolah waktu SMA, muter-muter nggak jelas keliling kota, pokoknya aduhay indahnya kenangan itu. Servis rutin biasanya saya lakukan setiap 2-3 bulan sekali. Yang paling sering biasanya ganti oli dan cek aki, karena memang harus sering diperiksa biar nggak mogok di tengah jalan.
Si Klontang ini memang nggak mudah rewel, dia cukup tangguh untuk bertahan kalau-kalau lupa di servis atau telat ganti oli. Tapi penyakitnya sering kambuh saat dibawa ke dataran tinggi atau kehujanan semalaman. Kalau di starter sering susah nyala, bak kedinginan.
Bangkitnya Motor Sejuta Umat
Akhir 2019, sepertinya menjadi tahun kebangkitan keluarga besar motor Astrea. Mulai muncul tren motor-motor Astrea hasil restorasi yang indah berkeliaran di jalan-jalan kota. Penikmatnya bukan cuma orang tua, justru kawula muda yang banyak tertarik dan akhirnya merebak kemana-mana. Tak hanya bertambah peminatnya, namun komunitas berkendara dan forum-forum diskusi motor Astrea juga kembali bergeliat.
Tentu, karena naiknya pamor Astrea, harga suku cadang dan motor bekas Astrea ikut melonjak. Dulu, sebelum tahun-tahun kebangkitan Astrea, kita bisa mendapatkan motor Astrea dengan harga 3-4 jutaan saja. Bahkan bila kondisinya alakadar, harganya cuma 1-2 jutaan. Namun kini, setelah viral dan menjadi tren anak muda dimana-mana, harga bekasnya naik menjadi 5-6 jutaan. Apalagi motor hasil restorasi, harganya bahkan bisa mencapai belasan, bahkan puluhan juta.
BACA JUGA: 7 Modif Simpel Honda Astrea, Tetap Klasik Tetap Nyentrik
Saya pun tak ketinggalan, motor kesayangan juga ikut dipercantik dengan mengganti beberapa aksesoris dan printilan lain agar lebih keren dipandang. Yaa, ikut-ikutan restorasi dikit boleh lah ya. Sampai-sampai banyak kawan yang menawar setelah selesai di restorasi.
Mungkin kalau ada yang menawar mahal juga nggak akan saya lepas. Bukan masalah rupiah sebagai modal restorasi atau harga suku cadang yang sudah diganti tersebut. Tapi kenangan manis dibalik kesederhanaan motor bebek sejuta umat ini, rasanya terlalu murah untuk dibayar dengan berapapun dollar.
Berikan komentarmu