KOTOMONO.CO – Media sosial itu lahan kebebasan berpendapat paling absurd di belahan dunia mana pun. Kita hampir pasti nggak bisa menerka-nerka apa maksud di balik orang ngetweet atau mengunggah foto di media sosial.
Dunia maya, terutama media sosial, telah berhasil mengubah mindset orang untuk terus eksis dan narsis dalam segala hal. Dengan cukup mengunggah foto atau ngetweet, seketika viral. Semua tanpa batas, bahkan antara yang privasi dan publik nyaris bias.
Seolah-olah semua hal, semua kegiatan, dan semua tindak tanduk apa pun itu harus diketahui publik. Ada yang tak pernah ketinggalan buat ngeksis di Instagram, Facebook, Twitter, sampai Path—mudah-mudahan masih ada yang pakai.
Media sosial yang saya sebutkan itu bersifat publik. Artinya kalau mengunggah di medsos-medsos tersebut semua orang bakalan lihat, tanpa harus mem-follow atau menjadi teman kamu. Kecuali kamu mengaktifkan fitur lock-nya sih.
Namun, karena jangkauannya terlampau luas dan tak terbendung, banyak juga yang memilih eksis di medsos yang menjangkau orangnya lebih sedikit alias privat. Apalagi kalau bukan di WhatsApp Story.
Aplikasi pesan singkat yang mulanya hanya dipakai buat berkirim pesan secara cepat itu kini sudah nyaris serupa Instagram—bisa bikin insekyur juga.
WhatsApp Story sebetulnya nggak jauh berbeda sama medsos lain, berfungsi sebagai alat mengeksiskan diri. Sebab eksis di WhatsApp Story lebih aman, nyaman, dan yang pasti irit kuota. Ditambah penontonnya paling-paling temen, kerabat, atau keluarga. Yhaaaa.. mentok-mentoknya dilihat dosbinglah (dosen pembimbing (red.)).
Yang dibayangkan nggak bakalan dinyinyirin netijen. Nggak bakalan kena hujatan sana-sini. Padahal justru eksis di WhatsApp Story berpeluang mendapat nyinyiran yang lebih anyir dari ikan mentah yang tersimpan di dalam kapal tongkang berbulan-bulan.
Kenyamanan ngeksis di WhatsApp Story berbanding lurus dengan kenyamanan berkomentar. Jika yang eksis leluasa karena merasa yang lihat sirkelnya sendiri, begitu pula yang berkomentar.
WhatsApp itu kan ruang privat. Keintiman bisa terjalin dengan mudah, begitu juga dengan keretakan. Orang yang ngeksis di WhatsApp Story bisa mendadak sensitif. Saking sensitifnya, yang ngeksis ini malah menyindir balik, dan menunjukkan ketidaksukaan atas respon orang lain terhadap apa yang dia unggah di WhatsApp Story.

Saya sering mendapatinya di selingkung saya sendiri. Tapi saya malas buat negur, karena tadi, medsos punya sifat absurd dan ambigu. Sindiran lewat WhatsApp Story nggak jelas untuk siapa. Namun yang saya tekankan bukan itu.
Melainkan perkara ngeksis di WhatsApp Story, tapi pas dikomen lewat chat malah sensi dan ujung-ujungnya menyindir lewat WhatsApp Story. Begini ya, sekarang saya tanya, apa sih tujuannya ngeksis di WhatsApp Story? Tiada lain karena pengin diperhatikan, iya apa tidak?
Udahlah nggak usah repot-repot mengelak pakai jurus bangau segala. Tujuan eksis ya memang supaya diperhatikan orang. Siapa pun akan bertambah bahagia ketika fotonya di Instagram banyak yang like, tweet-nya banyak yang komentar dan retweet, dan… WhatsApp Story dikomen orang lain.
Sepatutnya kalau kita sudah memberanikan diri ngeksis di medsos, termasuk WhatsApp Story, harus siap mental. Meski saya paham nggak semua orang mampu begitu. Lulu di film Imperfect pun hampir stres karena komentar body shamming netizen di Instagram-nya.
Dikomen negatif terus sebel, wajar. Yang berlebihan itu ketika sebel terus diumbar. Kemarin pernah tuh, ada teman yang lagi bahagia baru gajian. Terus dia share wujud foto gaji di WhatsApp Story. Entah angin atau hujan dari mana, selang beberapa menit dia justru mengungkapkan rasa sebalnya di WhatsApp Story dengan menghapus story sebelumnya.
Mempelajari komunikasi verbal dan nonverbal, membuat saya mencoba menelaahnya baik-baik, kata demi kata saya analisis. WhatsApp Story teman saya itu dari segi bahasanya, dia tengah menyindir orang yang mengomentari WhatsApp Story-nya. Yaelah…
Okelah… nggak masalah mau nyindir kek, mau memaki-maki kek, mau apa pun boleh-boleh saja. Tapi mbok ya nggak usah diumbar segala, ngapa!
Entar yang tiap hari nganggur dan kerjaannya mantengin WhatsApp Story, sekadar mau komen “mantap bro”, “sukses ya…”, atau “jangan lupa temen ya” saja malah sungkan. Entar nggak ada yang komen. Entar WhatsApp Story dihapus karena nggak ada yang perhatian buat chat.
WhatsApp itu medsos yang sifatnya privat, dan tentulah pemiliknya saling kenal, jadi nggak usahlah terlalu sensi. Cukup masker saja yang sensi. Semisal komentarnya mengganggu di hati ya bilang aja langsung, mudah kok. Toh teman sendiri.
Nggak mau? Nggak bisa? Ya udah, anggaplah komentar atas WhatsApp Story itu basa-basi doang. Apalah arti sebuah basa-basi, selain supaya bisa ngobrol via WhatsApp?
Jangan dimasukkan ke hati terlalu jeru. Terakhir, kalau beneran belum siap mental, jalan pintasnya nggak usah ngeksis di WhatsApp Story dulu deh kayaknya. Biar hati dan pikiran tenang sekaligus rileks.
BACA JUGA Tulisan-tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.
Komentarnya gan