KOTOMONO.CO– Setiap desa atau kelurahan punya cerita tentang asal usulnya. Setiap kisah asal usul itu selalu memunculkan sosok hero. Sosok hero inilah yang kemudian dianggap sebagai sosok inspiratif. Sosok yang menjadi penyemangat hidup. Lalu, bagaimana jika kisah asal usul itu tiba-tiba dihapus? Sudah tentu, sosok hero itu pun hilang. Masyarakat pun kehilangan tokoh panutan. Masyarakat akan kehilangan arah. Terutama di dalam membangun dan mengembangkan desa/kelurahan mereka.
Begitulah yang kini tengah mengancam masyarakat Kota Pekalongan. Sejak 1 Januari 2015, Pemerintah Kota Pekalongan mulai memberlakukan penggabungan kelurahan yang otomatis mengubah nama-nama kelurahan. Tujuannya sih bagus, yaitu mengefektifkan pelayanan dan mengefisienkan anggaran belanja daerah. Pas banget dengan slogan ‘hemat energi, hemat biaya’!
Diakui atau tidak, memang anggaran belanja daerah kala itu sudah terlalu boros. Seperti diakui oleh sejumlah pejabat di lingkungan Pemkot Pekalongan, anggaran belanja untuk gaji pegawai sudah overload. Boros. Begitu pula dana operasionalnya, bengkak. Tetapi, setelah berjalan lima tahun, apakah harapan untuk menghemat tapi tak mengurangi pelayanan dan tak menghambat pembangunan itu dapat diwujudkan? Hmm, rasa-rasanya masih sama saja tuh. Tetep saja pelayanannya ribet. Pembangunannya juga nggak tampak.
Baca juga : Tinjauan Sejarah Asal-Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan
Tapi, soal anggaran sepertinya soal yang sensitif. So, baiknya saya bahas yang lainnya. Soal asal-usul nama kelurahan saja.
Pernah nggak ya, para ‘penggedhe’ di kota ini berpikir bagaimana jika suatu ketika mereka ditanya tentang asal usul nama baru dari hasil penggabungan kelurahan itu? Apa kira-kira jawabnya? Apa ya mungkin mereka akan menjawab kalau nama kelurahan itu asal usulnya hasil rembug warga? Lalu, siapa tokoh utama alias heronya? Apakah mereka akan memberi jawaban bahwa nama-namanya ada di lembar daftar hadir rembug itu? Ah, rasanya konyol kalau jawabannya begitu.
So, wajar kalau saat dikumandangkannya Perda nomor 8/2013 tentang Penggabungan Kelurahan itu diprotes warga Landungsari. Soalnya, gara-gara Perda itu nama baru bagi penggabungan dua kelurahan (Noyontaan dan Landungsari) berubah menjadi Noyontaansari. Perubahan nama itu sama sekali tidak mengindahkan sejarah asal usul kelurahan Landungsari. Kontan, itu menciderai perasaan warga Landungsari yang masih memegang teguh cerita asal usul Kelurahan. Menciderai budaya masyarakat Landungsari.
Nama leluhur warga Landungsari terhapus. Terhapus pula jejak masa lalu Landungsari. Padahal, sosok Mbah Landung, selain dikenal sebagai seorang senopati Mataram, ia juga seorang ulama yang turut membangun peradaban Islam di desa Landungsari pada masa itu. Sangat disayangkan.
Secara pribadi, peraturan macam itu membuat saya geram. Kegeraman ini menjadi-jadi manakala kejadian serupa juga berlaku di kelurahan saya, Bumirejo. Gara-gara digabung dengan Pringlangu dan Tegalrejo, namanya tiba-tiba berubah menjadi Pringrejo. Dan itu artinya, telah menghilangkan sejarah kelurahan Bumirejo yang dahulu dibabat oleh kakek buyut saya. Entah siapa yang memberi penamaan kelurahan-kelurahan baru tersebut, yang jelas sejarah telah dirubah.

Sementara, dari sisi pelayanan, peraturan ini kayaknya nggak memihak pada masyarakat. Sebelum digabung, pelayanan di kelurahan relatif dekat jaraknya. Istilah orang kampung, tinggal lompat pager sudah sampai di kantor kelurahan. Kini, setelah digabung, pelayanan menjadi terkendala jarak. Walhasil, kalau butuh apa-apa, warga mesti mengeluarkan ongkos yang lebih besar dari sebelumnya. Terutama untuk ongkos bensin atau bayar becak. Belum lagi kalau ada berkas yang nggak kebawa. Bisa mondar-mandir. Ongkosnya bisa dobel. Terus, hemat yang gimana yang dimaksud?
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Landungsari Kota Pekalongan
Ribetnya lagi kudu ngapalin alamat-alamat baru, nomor RT RW beserta rumah pak RT RW yang baru. Kasian tuh pak pos sama kang kurir, pasti mereka bingung juga.
Kenyataannya penggabungan kelurahan tidak membantu dan justru membuat masyarakat kerepotan karena harus mengganti administrasi kependudukan yang sebenarnya mereka tidak perlu mengganti administrasi kependudukan tersebut, namun karena dampak dari penggabungan kelurahan ini yang bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas semata kemudian memberikan implikasi yang tidak dikehendaki juga. Belum lagi soal pengurusan sertipikat tanah, harus juga tuh diganti Nama Desa dan nomor registrasi segala macem yang membuat kepengurusan jadi makin lama.
Rupanya kebijakan merger kelurahan ini diwarnai oleh nuansa politis. Hal ini bisa dilihat saat penyusunan awal raperda penggabungan kelurahan pada tahun 2013 silam. Semuanya adem ayem berjalan lancar tanpa ada polemik di tingkat anggota dewan, hal ini karena hubungan yang baik yang terjalin antara Walikota Pekalongan H.M Basyir Ahmad dengan Ketua DPRD Kota Pekalongan saat itu H. M. BOWO LEKSONO AHT,MM,MH, sehingga disetujui dengan mudah permintaan mengenai usulan raperda penggabungan kelurahan di Kota Pekalongan walaupun dilevel bawah ada yang tidak setuju. Baru deh saat diterapkan tahun 2015an polemik pada bermunculan.
Baca juga : Sejarah Pasar Sentiling (Banjarsari) Pekalongan
Saat sedang terjadi polemik terkait penggabungan kelurahan di Kota Pekalongan ini pada saat itu juga adalah masa pergantian kepala daerah (sebut saja pilkada tahun 2015-2016). Sehingga polemik mengenai kebijakan penggabungan kelurahan merupakan bahan kampanye yang empuk plus gurih dan sangat menarik perhatian masyarakat Kota Pekalongan.
Bahkan beberapa pasangan calon Walikota Pekalongan, salah satunya pasangan calon H. A. Alf Arslan Djunaid , SE dan H. Mochammad Saelany Machfudz (Alex-Sae) yang sukses terpilih dengan mengangkat isu terkait penggabungan kelurahan plus pengembalian Logo Kota yang dijadikan bahan kampanye dimana mereka memberikan janji politik akan melakukan revisi terhadap Perda terkait yaitu Perda Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penggabungan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kota Pekalongan.
Soal revisi terhadap perda terkait penggabungan kelurahan yang tentunya proses penetapan perda dan proses revisi perda bukanlah proses yang cepat dan mudah. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada Pasal 2 Ayat
(5) yang PP Nomor 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan bahwa melakukan pemekaran daerah menjadi satu daerah atau lebih setelah mencapai paling sedikit 5 Tahun penyelenggaraan pemerintahan kelurahan.
Sehingga usulan mengenai revisi terkait Perda Nomor 8 tahun 2013 tentang Penggabungan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kota Pekalongan yang efektif berlaku pada 1 januari 2015 terancam ditolak oleh Kementrian Dalam Negeri dengan gampang karena harus nunggu waktu 5 tahun dulu yang berarti Alex-Sae baru bisa mengusulkan revisi ke Mendagri pada tahun 2020 – 2021. Nyatanya tahun ini udah bisa tapi apa ? tetep diem-diem bae kan, atau sengaja nih biar jadi bahan kampanye lagi ?

Nah pada pilkada 2020, isu tersebut menjadi bahan gurih untuk di goreng. Bu Balqis selaku isteri mantan Walikota Basyir Ahmad maju berduel dengan Mas Aaf yang notabene adik dari Alm. Alex. Tentu dengan isu pengembalian nama kelurahan bisa dijadikan bahan kampanye semua pasangan calon walikota atau bahan saling serang untuk bisa memenangkan duel panas ini.
Baca juga : Penggabungan Kelurahan Tak Mungkin Mengusik Sejarah Lho
Tapi nih tapi ya, soal mengangkat isu ini menjadi bahan kampanye gurih, apakah calon walikota dan wakil walikota juga kader-kader partai pengusung (anggota dewan, termasuk Bu Balqis Diab dkk) saat itu tidak merasakan beban moral ? karena pada saat itu semuanya adem ayem mengiyakan terkait kebijakan penggabungan kelurahan ini.
Pengembalian Nama Kelurahan kita ini masuk di Program Legislasi Daerah (Prolegda) Kota Pekalongan dan sampai saat ini saat peneliti melakukan survey langsung di lapangan. Tahun depan sudah bisa tuh dilakukan revisi perda dan permohonan ke Mendagri soal ini. Ayo dong Pak Saelani, lunasi janji kampanye mu biar isu ini tidak menjadi isu lima tahunan yang digunakan untuk menarik simpati rakyat aja. Jika bapak ini super sibuk, bisa gak sih mendelegasikan atau mengutus Sekda beserta tim ahli untuk dibentuk satgas pengembalian kelurahan ?
Jadi jika tidak ada keseriusan, sampai disini jangan bermimpi Nama Kelurahan bisa kembali ke sediakala mengingat tidak ada progres apa-apa. Lha wong gimana kan lagi-lagi masuk masa transisi (pilkada) yang entah tahun depan siapa yang mau melanjutkan estafet kepemimpinan Walikota lagi. Belum lagi soal kajian akademis sebagai acuan untuk revisi perda ini yang memerlukan biaya tidak sedikit, ditambah pandemi begini ya jangan berharap deh bisa terlaksana.
Sebenarnya saya juga sangat berharap besar agar Nama Kelurahan bisa kembali, mengingat aspek historis yang melekat pada kelurahan tersebut. Tapi mengingat dampak yang sudah ditimbulkan yaitu perubahan-perubahan RT RW dan alamat segala macemnya, trus ribet juga kalau harus kembali ngurusin dokumen maupun sertipikat lainnya yang harus gonta-ganti nama lagi, rasanya nggak mungkin banget para birokrat kita mau repot-repot menyelesaikan masalah ini.
Baca juga : Sejarah Terbentuknya Kota Pekalongan
Pokoknya jangan lah, kalau dijadikan isu politik saja ya saya jelas keberatan. Siapapun yang terpilih nanti, kerjakan aja tuh amanat yang telah dituangkan di Prolegda Kota Pekalongan ini jika memang serius peduli.
Daripada isu Nama Kelurahan sebagai bahan kampanye, mending fokus ke isu lain yang lebih pas untuk diangkat, kayak masalah banjir rob, pendangkalan dan sungai kelar-kelir, ekonomi dan pendidikan deh.