KOTOMONO.CO – Banyak para tokoh nasional yang sempat tinggal di Pekalongan, baik itu tokoh daerah ataupun bahkan tokoh berkaliber Nasional. Dan tidak banyak masyarakat Pekalongan, yang mengetahui bahwa pemberian nama jalan Otto Iskandardinata merupakan bagian penghargaan terhadap tokoh tersebut.
Otto Iskandar di Nata memang pernah tinggal di Pekalongan selama 4 tahun dari tahun 1924 hingga 1928. Tepatnya satu tahun setelah menikahi Putri Assisten Wedana Banjarnegara, yaitu R.A.Sukirah, R.Otto Iskandardinata pindah tugas mengajar dari Hollandsch Inlandsche School (HIS) Volksonderwijs (Perguruan Rakyat) Bandung ke HIS Pekalongan (sekarang sekitar SD Keputran Jl,Singkarak).
Raden Otto Iskandardinata (sering dituliskan pula dengan nama Oto Iskandar Di Nata), dilahirkan di Bojongsoang, Bandung. Otto lahir dari keluarga ternama. Ayahnya, Raden Haji Rachmat Adam, adalah seorang kepala desa. Tempat tinggalnya pun merupakan rumah paling besar dan megah se-Bojongsoang.

Selama di Pekalongan, Pak Otto menempati salah satu rumah dinas yang jarak lokasinya dari HIS Pekalongan hanya sekitar 25 meter (Hoegeng Polisi Idaman & Kenyataan, Hal 57). Disini kebahagian dari Otto bertambah dengan lahirnya putra keduanya dan putrinya ketiganya yang lahir di Pekalongan.
Baca juga : Penemu Teknik Lukis WPAP Putra Daerah Aseli Pekalongan
Abdal Yusra dan Ramadhan K.H dalam buku Hogeng Polisi : Idaman dan Kenyataan menyebutkan, sewaktu mengajar di HIS, ada salah satu muridnya yang dikenal bengal dan langganan mendapatkan hukuman yaitu, Hoegeng Iman Santoso. Pak Otto sering memberi hukuman pada anak-anak yang nakal, dengan cara unik, yaitu yang disebut galito.
Yaitu sebuah hukuman yang barangkali hanya Otto yang bisa mempraktekkan, yaitu dengan empat jari tangan ditekan dikepala, sedangkan jari-jari lain dikepalkan lalu diputar, yang rasanya sakit sekali. Meski sedikit marah dan memberikan hukuman pada Hoegeng, namun Pak Otto tetap guru yang baik.
Dan malah mengajaknya main ke rumah Pak Otto setelah pulang sekolah. Meskipun segan, namun Hoegeng bersama sejumlah kawannya tetap mampir ke rumah Otto, di rumah Pak Otto kelihatan seperti seorang Bapak sedang bercengkrama dengan anak-anaknya. Selain diberikan nasehat-nasehat, Hoegeng juga sangat senang karena selalu disuguhi oleh kue-kue bikinan Ibu R.Soetirah istri Pak Otto.

Menurut Hoegeng, semenjak menjadi gurunya di HIS Pekalongan, Pak Otto memiliki sikap politik yang tegas, fair dan konsisten. Sebab Ia memiliki jiwa yang bersih, sehingga terbersit sebuah kebanggaan pada diri Hoegeng, karena pernah diajar langsung oleh seorang Otto Iskandar Di Nata. (Hoegeng Polisi Idaman & Kenyataan, hal.57).
Baca juga : Mengenal Jenderal Hoegeng Imam Santoso
Ottto Iskandardinata ketika itu juga berteman dengan Kepala Penjara Pekalongan melalui permainan olah raga yang beliau gemari, yaitu sepak bola. Dari perkenalan inilah kemudian Otto mengajukan sebuah usul untuk memberikan pelajaran membaca dan menulis untuk para nara pidana di Gavangenis (Penjara) Pekalongan. Pak Otto juga sering bermain sepak bola di waktu luang, di sekitar Alun-Alun.
Bahkan dengan kegemarannya bermain sepak bola, Raden Otto Iskandardinata ikut serta dalam klub sepak bola, dan disana beliau dikenal sebagai pemain gelandang tengah yang sangat tangguh. Otto juga mengajak kalangan pribumi untuk ikut bermain sepak bola di Alun-Alun, karena sebelumnya lapangan di dominasi kalangan ningrat dan kaum terpandang saja.
Karena aktif dalam pergerakan organisasi politik Budi Utomo sejak di Bandung, Ia kemudian terjun sebagai bagian Budi Utomo cabang Pekalongan. Kegiatannya dalam organisasi BU menarik perhatian masyarakat Pekalongan. Otto kemudian dipilih menjadi Wakil Ketua Cabang Budi Utomo Pekalongan. Pengangkatan tersebut tercatat dalam surat kabar de Indische Courant terbitan 28 Juli 1925.
Baca juga : Sejarah Dan Asal-Usul Nama Tempat di Keputran
Karena kepiawaian Otto dalam memperjuangan kepentingan rakyat itulah, yang kemudian ia dipilih menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Pekalongan mewakili Budi Utomo. Keberadaan Otto dalam Dewan Kota Pekalongan, juga tercatat dalam koran de Locomotiev edisi 7 Juni 1928. Ketika menjadi anggota dewan kota, beliau kemudian mulai mengambil peran dalam membela kebenaran, sekaligus memperjuangkan hak rakyat kecil.
Namun dengan keberaniannya membela dan menyuarakan hak rakyat kecil inilah yang kemudian membuat beliau bersama teman lainnya yang juga berasal dari Boedi Oetomo seperti Darmo Soegito dan Karto Soebroto serta Fadhooly dari Partai Sarekat Islam, masuk dalam daftar hitam pemerintahan Kolonial Belanda. Dimana ketika terjadi sesuatu di Pekalongan yang dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan, maka merekalah yang sering dituduh sebagai biang keladinya. Bahkan R. Oto Iskandar di Nata sering dibuntuti oleh Polisi Rahasia Hindia Belanda yang disebut PID atau Politieke Inlinchtingen Dienst.