KOTOMONO.CO – Cak Kendor sebetulnya malas pulang sore itu. Seharian ini Cak Kendor cuma narik dua penumpang saja. Dia tak enak hati kalau bertemu istrinya di rumah. Tak enak sebab, ia tahu, malam ini tak bisa memberi nafkah banyak-banyak buat istrinya.
Namun bagaimanapun, Cak Kendor mestilah pulang. Istrinya senantiasa menunggu untuk berbuka bersama. Maka, Cak Kendor mengayuh pedal becaknya menuju ke arah rumahnya. Ia tahu, paling tidak kalau uangnya ini tak cukup, di rumah masih ada tempe buat digoreng, atau ikan asin sisa kemarin untuk dimakan.
Sampailah Cak Kendor di depan rumahnya. Ternyata istrinya sedang menunggu di teras, duduk di atas dipan sendirian. Cak Kendor sedikit kaget melihat istrinya. Aura kebahagiaan tampak dari wajah istri Cak Kendor. Sementara ia sendiri masih kusut mukanya karena hanya dapat uang seadanya. Cak Kendor memarkirkan becaknya di depan rumah.
“Lho kok di luar, dik?” Tanya Cak Kendor seraya melepas topinya.
“Nganu, mas…” Jawab sang istri malu-malu menampakkan senyumnya.
“Ada apa?”
“Tadi Pak Dumadi ngasih uang ke kita, mas.”
“Uang?” Cak Kendor tersentak dan sesegera duduk di samping istrinya. Hari sudah mau gelap.
“Iya…”
“Berapa?” Cak Kendor penasaran.
“Lima juta.”
“Hah? Kamu serius, dik?”
“Iya. Tadi siang orangnya ke sini…”
“Lalu kamu taruh mana uangnya?” Cak Kendor tampak gusar.
“Itu ada di lemari…”
Cak Kendor yang tampak gusar itu sekonyong-konyong menuju lemari yang dimaksud istrinya. Sang istri yang bingung, tanpa banyak cincong mengikuti Cak Kendor ke dalam rumah. Cak Kendor mengambil uang itu.
“Kita harus kembalikan uang ini, dik,” kata Cak Kendor sambil menggenggam uang itu.
“Kenapa dikembalikan, mas?” Istri Cak Kendor mencoba mencegah.
“Saya ndak mau kalau karena uang ini, Pak Dumadi justru ketiban dosa, dik…”
“Dosa?” Pertanyaan sang istri diabaikan Cak Kendor. Ia melengos saja ke kamar mandi.
Azan Maghrib berdengung keras dari corong musala. Usai sedikit minum teh hangat dan makan satu tempe goreng buatan sang istri, Cak Kendor bergegas ke musala. Ia berencana mengembalikan uang itu ke Pak Dumadi setelah menunaikan Maghrib.
Usai Maghrib, Cak Kendor sekonyong-konyong menghentikan langkah Pak Dumadi yang hendak menuju sandalnya. Waktu itu hanya ada beberapa jamaah yang masih ada di musala. Beberapa di antaranya sudah pulang untuk menikmati berbuka bersama keluarga.
“Pak Dumadi, Pak!” Panggil Cak Kendor. Pak Dumadi pun menoleh. Ia sungguh tak tahu apa yang diinginkan Cak Kendor.
“Ada apa, Cak?”
“Saya ingin mengembalikan uang sampeyan,” kata Cak Kendor sambil menyerahkan uang itu.
“Lho… Lho… Jangan dikembalikan, Cak,” Pak Dumadi mencoba menolak uang itu.
“Saya ndak enak sama sampeyan, Pak…”
“Udah ndak papa, Cak. Kebetulan saya sedang ada rezeki. Jadi saya pengin sedekah ke sampeyan, Cak…”
“Saya takut kalau karena uang ini, justru sampeyan ketiban dosa, Pak.” Cak Kendor menundukkan kepalanya.
“Sampeyan ini aneh, Cak. Wong saya ini sedekah kok dibilang malah ketiban dosa.” Pak Dumadi terkekeh.
“Ngapuntene, Pak. Tapi kalau bapak sedekah ke saya, itu berarti bapak lancang sama takdir Allah…”
“Lancang bagaimana, Cak? Sampeyan ini ngaco!” Kata Pak Dumadi agak ketus.
“Iya, pokoknya sampeyan ini lancang, Pak. Wong jelas-jelas saya itu ditakdirkan Gusti Allah sebagai orang miskin. Kalau sampeyan membantu saya dengan sedekah. Iya saya jadi ndak miskin, yang semula ndak punya apa-apa buat buka, kini dengan uangnya sampeyan saya bisa beli makanan buat berbuka…”
Pak Dumadi tak menanggapi perkataan itu. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang dikatakan Cak Kendor. Beruntunglah Ustaz Ndirin tiba-tiba datang. Belio menegur Pak Dumadi dan Cak Kendor yang kelihatan dari jauh sedang bercakap-cakap.
“Ada apa ini?” Senyum Ustaz Ndirin merekah.
“Ini, tadz. Cak Kendor mau ngembaliin uang yang saya kasih ke dia. Katanya supaya saya ndak ketiban dosa.” Pak Dumadi mencoba menjelaskan.
“Sik… Sik, maksudnya dosa itu gimana, Cak?” Ustaz Ndirin mengarahkan pertanyaannya ke Cak Kendor.
“Begini, ustaz. Saya itu kan ditakdirkan oleh Allah jadi orang miskin. Bahkan hari ini itu takdirnya saya cuma makan tempe dan ikan asin. Eh, lha kok Pak Dumadi ngasih uang lima juta. Itu uang yang banyak sekali, tadz…”
“Uang sebanyak ini, saya ndak hanya bisa beli makanan buat berbuka dan sahur. Tapi bisa buat kebutuhan lain. Saya yang tadinya ndak punya uang sebanyak ini, jadi punya. Kan ndak miskin lagi…”
“Yhaaa… Bagus dong.” Ustaz Ndirin menepuk punggung Cak Kendor.
“Kok bagus sih, tadz. Pak Dumadi kan jadi melanggar kodrat Allah. Ketetapan Allah soal saya menjadi miskin dihalang-halangi sama Pak Dumadi…”
“Sebentar. Tahunya sampeyan ditakdirkan miskin sama Gusti Allah dari mana, Cak?” Tanya Ustaz Ndirin.
“Lho… Kayak gini masak ndak kelihatan, tadz?”
“Kelihatan sih…” Ustaz Ndirin sedikit meledek.
“Iya kan. Saya sudah menjalani kehidupan seperti sekarang ini bertahun-tahun. Mbecak dengan penumpang ala kadarnya. Pendapatannya juga pas-pasan. Rumah saya reot. Kurang miskin gimana, tadz?”
“Itu ukuran kemiskinan sampeyan sendiri, Cak. Bukan dari Gusti Allah…”
“Maksudnya, ustaz?” Tanya Cak Kendor. Pak Dumadi pun ikut menyimak obrolan itu.
“Yang sampeyan maksud ketetapan Gusti Allah itu ya ketetapan sampeyan sendiri. Misalnya nih, tadi kan sampeyan bilang hari ini sampeyan merasa ndak bakalan punya stok makanan buat berbuka dan sahur. Terus sampeyan menyandarkan itu seolah-olah ketetapan dari Gusti Allah…”
“Terus Pak Dumadi ngasih uang itu ke sampeyan…”
“Bukan ke saya, tadz. Tapi ke istri saya,” Cak Kendor protes.
“Yawes, ke istri sampeyan, Cak.”
“Dari uang itu, sampeyan yang semula yakin ndak bisa beli makanan, kini bisa beli macam-macam dengan uang lima juta. Terus sampeyan mengira kalau takdirnya diubah sama Pak Dumadi…”
BACA JUGA: Gegayaan Nyumbang Uang untuk Mushola, Padahal Mushola Itu Rumahnya Sang Maha Kaya
“Iya benar, ustaz…”
“Terus sampeyan anggap, takdir sampeyan berubah, Cak?”
“Betul, ustaz…”
“Berarti Gusti Allah sayang sama sampeyan, Cak…”
“Sayang bagaimana, tadz? Saya kan bukan pacarnya Gusti Allah. Gila apa saya mau nyaingi Nabi Muhammad.” Cak Kendor malu-malu.
“Rahman-Nya Allah itu diberikan ke siapa saja, Cak, ndak cuma Rasulullah…”
“Allah sengaja mengubah takdir sampeyan, Cak. Lewat perantaranya itu Pak Dumadi…”
“Berarti bukan Allah, tadz. Pak Dumadi yang mengubah takdir saya.” Cak Kendor masih ngotot.
“Pak Dumadi mungkin ndak bakalan ngasih sampeyan uang lima juta kalau ndak ada perintah bersedekah dari Gusti Allah, Cak…”
Cak Kendor hanya diam. Omongan Ustaz Ndirin kali ini sulit dibantah. Sementara Pak Dumadi khusyuk menyimak obrolan itu.
BACA JUGA: Akui Saja Kalau Puasa Itu Memang Tidak Menyenangkan
“Apa Pak Dumadi cuma berdoa saja dari rumah, supaya sampeyan bisa punya stok makanan, Cak? Kan ndak mungkin to. Tanpa perintah sedekah dari Gusti Allah, takdir sampeyan boleh jadi ndak berubah, Cak…”
“Fungsinya sedekah itu untuk menolong orang-orang miskin ataupun fakir, Cak. Nah, Pak Dumadi melihat bahwa sampeyan ini masuk kategori itu, makanya dikasih uang…”
“Kalau dibantu uang dari Pak Dumadi, sampeyan keadaannya merasa lebih terbantu atau tidak, Cak?
“Iya, jelas terbantu dong, ustaz…”
Obrolan itu pun terputus. Istri Cak Kendor memanggilnya untuk segera pulang. Kata sang istri, ia sudah membelikan Nasi Padang buat Cak Kendor. Di sisi lain Pak Dumadi pun ikut-ikutan pamit pulang pada Ustaz Ndirin.
Catatan: Disarikan dari ceramah Gus Baha, dan beberapa sumber lainnya.
BACA JUGA Seri Tulisan Ngabuburit dan tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.
Berikan komentarmu