KOTOMONO.CO – Siang-siang, Cak Kendor yang sedang tidur nyenyak dikagetkan dengan orang mengetuk pintu. Ketukannya agak keras pula. “Cak… Cak… Cak…” terdengar suara dari luar rumah Cak Kendor. Mendengar suara itu Cak Kendor tergopoh-gopoh menuju pintu rumahnya. Tak teruga itu adalah suara Pak Dumadi.
“Lho, Pak Dumadi. Ada apa tho, pak? Siang-siang bikin gaduh saja!” tanya Cak Kendor sedikit gusar. Pak Dumadi berwajah pucat. Ia langsung berlutut di hadapan Cak Kendor.
“Anu, Cak, boleh saya numpang di rumah Cak Kendor? Beberapa hari saja, Cak,” kata Pak Dumadi.
“Se-Sebentar, Pak. Sampeyan berdiri dulu. Ini sebenarnya ada apa sih? tanya Cak Kendor seraya membangunkan Pak Dumadi.
“Saya ndak mau pulang dulu, Cak,” kata Pak Dumadi.
“Lho? Kok ndak mau pulang itu gimana, Pak? Rumah sampeyan dijual?” tanya Cak Kendor.
“Bukan begitu, Cak. Saya sedang ada masalah sama istri saya, jadi mohon bantuannya, Cak,” kata Pak Dumadi. Cak Kendor mempersilakan Pak Dumadi masuk.
“Sampeyan selingkuh? Atau bagaimana?” tanya Cak Kendor.
“Pokoknya ada masalah, Cak. Gawat ini. Saya ndak mau pulang dulu ke rumah,” kata Pak Dumadi. Wajahnya pucat pasi.
“Gimana saya mau bantu, kalau saya sendiri ndak tahu masalahnya sampeyan,” kata Cak Kendor.
“Gampang, Cak. Saya mau tinggal di rumah sampeyan beberapa hari saja,” kata Pak Dumadi.
“Gini, Pak Dumadi. Kalau sampeyan itu lagi ada masalah, mbok ya, diselesaikan. Jangan malah lari kayak gitu,” kata Cak Kendor. Ia coba menenangkan.
“Saya sudah mencobanya, Cak. Ndak berhasil juga,” kata Pak Dumadi.
Mendengar obrolan itu, istri Cak Kendor terbangun. Tapi ia tidak menuju dua orang yang sedang ngobrol itu. Justru Ustaz Ndirin lah yang mendadak datang ke rumah Cak Kendor.
“Assalamualaikum, Cak Kendor. Ono wonge pora kiye?” tanya Ustaz Ndirin dari luar.
“Masuk, taz,” jawab Cak Kendor.
“Ini, Cak. Hari ini sampeyan kejatah memberi takjil,” kata Ustaz Ndirin. Tentu Cak Kendor bukanlah orang miskin yang terus-menerus dikasihani. Ia juga kadang-kadang dimintai bantuan.
“Oh, iya ustaz. Mudah-mudahan saya bisa ngasih takjil, dan ikut buka bersama di sana juga,” kata Cak Kendor, dan menerima undangan permohonan takjil itu.
“Lho, sampeyan di sini?” tanya Ustaz Ndirin yang baru menyadari kalau Pak Dumadi ada di rumah Cak Kendor.
“Pak Dumadi sedang sembunyi dari istrinya, taz,” kata Cak Kendor terkekeh.
“Istrinya sampeyan preman, Pak? Kok ndadak sembunyi,” kata Ustaz Ndirin, sedikit terkekeh.
“Nganu, taz, saya itu sedang ada masalah dengan istri saya. Jadi saya takut pulang, je,” jawab Pak Dumadi. Ia mulai berkeringat.
“Weslah, Pak, Pak. Kalau ada masalah itu mbok ya diselesaikan. Ojo malah minggat,” kata Ustaz Ndirin.
“Saya bingung, ustaz,” kata Pak Dumadi.
“Bingung bagaimana?” tanya Ustaz Ndirin.
“Iya, bingung. Saya belum menemukan solusinya. Sudah saya coba nyelesain masalah, tapi belum berhasil,” kata Pak Dumadi. “Aneh banget.”
“Aneh?” tanya Ustaz Ndirin.
“Ya, ngene lho, taz. Saya itu ibadah ya setiap hari. Ya, saya ndak pernah absen buat sedekah. Tapi kok saya dikasih masalah terus sama Gusti Allah. Malah saya ndak dikasih solusinya,” kata Pak Dumadi. Cak Kendor terkekeh. “Ngopo cengengesan, Cak?” tanya Pak Dumadi.
“Aduh, Pak Dumadi… Pak Dumadi.. sampeyan ki lucu banget,” kata Cak Kendor. Ia masih terkekeh.
“Lha kok lucu? Saya udu pelawak lho, Cak! Wong lagi susah, sampeyan malah ndrenges!!” kata Pak Dumadi. Matanya mendelik. Ustaz Ndirin menahan Pak Dumadi agar kemarahannya tak meletup-letup.
“Gusti Allah mau ngasih masalah ke sampayean, mau ngasih roti, mau ngasih duit, bahkan mau ngasih sampeyan istri lagi itu bukan urusan sampeyan, Cak. Itu haknya Allah mau ngasih apa. Sampeyan ora usah ikut campur,” kata Cak Kendor. Ustaz Ndirin memilih duduk di samping Pak Dumadi.
“Yo aku ngerti, Cak nek ngunu. Tapi mbok ya ndak sesengsara iki tho. Masa saya ndak dikasih solusi sama sekali,” kata Pak Dumadi. Ustaz Ndirin yang duduk di sampingnya menepuk paha Pak Dumadi.
“Hush!” kata Ustaz Ndirin. “Jangan bilang ndak dikasih, nanti kamu ndak dikasih beneran, lho,” lanjut Ustaz Ndiirin.
“Bisa, gitu, taz?” tanya Pak Dumadi. Cak Kendor hanya menggaruk-garuk kepalanya.
“Iya bisa saja. Tapi jangan tanya pastinya ke saya. Saya belum mertamu ke Gusti Allah, je,” kata Ustaz Ndirin.
“Tapi, taz, bukannya Gusti Allah Maha Penyayang, ya? Kok malah Dia ngasih masalah ke saya bertubi-tubi gini?” kata Pak Dumadi. Cak Kendor kembali terkekeh. “Cak, sampeyan ki keno penyakit serawan celeng, pok?” tanya Pak Dumadi yang sangat gusar.
“Hahahaha,” Cak Kendor justru tertawa makin keras.
“Lho, kok malah tertawanya keras. Walah bajingan,” kata Pak Dumadi. Ia betul-betul marah kali ini dan berniat memukul Cak Kendor. Beruntung Ustaz Ndirin mencegahnya. Tangan Pak Dumadi tak jadi mendarat ke muka Cak Kendor.
“Saya mau tanya ke sampeyan. Kalau seumpama sampeyan ndak dikasih masalah kayak gini. Ndak dikasih istri yang Masya Allah merepotkan. Apa sampeyan bakal mengingat Gusti Allah. Atau paling tidak menggugat Gusti Allah seperti ini?” tanya Cak Kendor.
“Saya tiap hari ke mushola, Cak. Sholat. Sedekah. Masa yang begini dibilang tidak ingat sama Gusti Allah?” tanya Pak Dumadi. Cak Kendor kembali terkekeh.
“Hahaha. Tidak selamanya orang berada di mushola dan orang sedekah itu ingat Gusti Allah, Pak,” kata Cak Kendor. Ia coba menahan untuk tidak tertawa.
“Apa sampeyan tahu, saya di mushola ingat Gusti Allah? Apa sampeyan juga tahu, ketika saya memberi sampeyan sedekah itu ingat Gusti Allah? Tidak, kan? Sampeyan jangan memvonis begitu, Cak!” kata Pak Dumadi, nadanya meninggi lagi.
“Maaf, Pak Dumadi, saya kan ndak bilang sampeyan itu ndak ingat Gusti Allah. Saya cuma bilang ndak selamanya orang ibadah itu ingat sama Gusti Allah. Beda dengan orang sakit dan orang yang sedang kena masalah kayak sampeyan,” kata Cak Kendor.
Mendengar perkataan itu, Pak Dumadi masih tetap bersungut. Hatinya seperti tidak tenang. Seketika itu Ustaz Ndirin yang duduk di sebelahnya giliran menepuk pundak Pak Dumadi.
“Tenangkan hati sampeyan, Pak,” kata Ustaz Ndirin.
“Pak Dumadi,” kata Cak Kendor. Agaknya setelah ditepuk pundaknya oleh Ustaz Ndirin, Pak Dumadi sedikit tenang. “Apa, Cak?” tanya Pak Dumadi.
“Sampeyan ngerti kan kalau Gusti Allah itu Maha Penyayang?” tanya Cak Kendor. Ia menatap baik-baik Pak Dumadi. Tatapan itu dibalas. “Saya mengerti, Cak,” jawab Pak Dumadi.
“Kalau sampeyan dikasih masalah, itu tandanya Gusti Allah sayang sama sampeyan, Pak. Gusti Allah mungkin sedang ingin membuat sampeyan jadi pribadi yang lebih baik. Ya minimal Gusti Allah barangkali sedang menuntun sampeyan supaya ingat dengan Gusti Allah,” kata Cak Kendor.
“Barangkali. Ini barangkali saja lho, ya. Ketika sampeyan ibadah, ketika sampeyan memberi saya sumbangan. Memberi orang lain santunan, itu sampeyan tidak mengingat Gusti Allah. Makanya perlu diingatkan. Caranya ya dengan diberikan masalah,” lanjut Cak Kendor.
“Astagfirullahaladzim… iya, Cak, sampeyan bener. Sesekali saya itu ketika ibadah, ketika bersedekah, yang saya ingat diri saya sendiri. Apakah saya dapat pahala atau tidak. Dapat rahmat atau tidak. Saya jadi merasa diri saya paling mulia,” kata Pak Dumadi. Tak terasa ia mengeluarkan air mata.
“Ingat, Pak. Istighfar itu ndak usah kebanyakan meratapi dosa,” kata Cak Kendor. Tak dinyana, Azan Asar berkumandang. Obrolan pun harus berhenti.
——————————————————
Disarikan dari keterangan yang disampaikan oleh KH. Anwar Zahid
Berikan komentarmu