KOTOMONO.CO – Hari ini adalah makan siang terakhir. Esok sudah puasa. Cak Kendor, orang paling miskin di Kampung Lewah sedang bersantap siang dengan istrinya. Cak Kendor memang dikenal dengan orang miskin. Ia hanya bekerja sebagai tukang becak.
Istrinya hanya mengurus rumah, entah apa yang istrinya itu lakukan kok benda mati seperti rumah saja mesti diurus. Cak Kendor tak punya keistimewaan apa-apa. Ia bukan wali. Bukan ustaz. Bukan dosen. Apalagi presiden. Ia hanya tukang becak, sudah itu saja.
“Woco bismillah sek to…” kata istri Cak Kendor.
Cak Kendor yang tak tahan hanya cengir. Lalu membaca ‘Bismillah’ pelan dan makan dengan lahapnya. Meski hanya sayur sop, bagi Cak Kendor itu adalah sayur sop terenak sekampung Lewah.
“Uenak…” ujar Cak Kendor sambil mencomot tempe menggunakan tangan kanannya.
Tak lama, makanan pun tandas. Istrinya membawa bekas makanan itu ke wingking. Ia duduk bersila di atas tikar. Cak Kendor tidak merokok. Bukan, bukan karena ia termakan propaganda aktivis antirokok. Kebetulan hari itu ia belum narik satu pun penumpang.
BACA JUGA: Akui Saja Kalau Puasa Itu Memang Tidak Menyenangkan
Istri Cak Kendor pun kembali. Sementara, Cak Kendor masih termangu-mangu. Ia tidak lekas berangkat, sebab Cak Kendor ingin ngobrol dulu dengan istrinya. Membicarakan soal kehidupan. Tentang sesuatu yang tidak penting. Sampai ihwal dirinya yang belum punya anak.
“Kenapa ya, dik, kita belum dikasih anak?” Tanya Cak Kendor.
“Lha yo ndak tahu. Gusti belum ngasih mau gimana lagi?” Jawab istrinya sekenanya.
Tak berapa lama, obrolan tersendat. Cak Kendor merasakan ada yang tidak beres di perutnya. Ia merasakan mules tak karuan. Cak Kendor merintih. Ia bergegas menuju wingking. Selesai dari sana, sang istri menanyai Cak Kendor.
“Kenapa tho, mas?”
“Perutku kok ndadak mules ngene iki yo, dik? Sop kamu kasih racunkah?”
“Sembrono sampeyan. Mana mungkin aku ngeracuni bojoku dewe,” jawab istri Cak Kendor agak sedikit ketus.
Untunglah penyakit itu tak berlangsung. Cak Kendor hanya mules sekali dan sudah mengeluarkannya. Ia pun masih bisa berangkat narik. Tak lupa ia mengucapkan ‘Bismillah’ sebelum berangkat. Ustaz Ndirin yang mengajari hal itu. Kata Ustaz Ndirin kalau kita memulai sesuatu dengan ‘Bismillah’ segala sesuatunya akan lancar dan baik-baik saja.
Sial. Belum keluar Kampung Lewah, Cak Kendor merasa ada yang tidak beres dengan becaknya. Ternyata kedua ban becaknya kempes. Bahkan yang satunya kempes parah. Cak Kendor pun harus mendorong becaknya dan kembali ke rumah. Tidak mungkin meneruskan dengan kondisi ban yang kempes.
BACA JUGA: Gegayaan Nyumbang Uang untuk Mushola, Padahal Mushola Itu Rumahnya Sang Maha Kaya
“Ada apa lagi, Mas?” Tanya istri Cak Kendor.
“Ban kempes dek.” Kata Cak Kendor dengan sedikit memaki.
“Oalah… yawes liren sek wae mas. Ora usah mangkat. Mengko bar maghrib juga ono acara megengan nang mushola.”
Cak Kendor langsung semangat mendengar hal itu. Acara di mushola membuatnya yang tadinya ngedumel nggak karuan jadi bersemangat. Karena di acara nanti sudah pasti makanannya enak-enak. Ya meskipun, ia agak sedikit males dengan orang-orang di Kampung Lewah.
Menurut pikiran Cak Kendor, orang-orang di kampungnya serakah. Kalau bisa menghabiskan makanan, orang-orang itu akan menghabiskannya. Begitu kira-kira. Namun ia tetap semangat, karena di acara itu sudah pasti ada Ustaz Ndirin yang selalu baik, dan Pak Dumadi yang kerap memberi uang ke Cak Kendor.
Tibalah sehabis maghrib, Cak Kendor dan jamaah mushola sudah berkumpul. Mereka menyimak tausiyah Ustaz Ndirin. Orang-orang di sana memang lebih suka mendengar ceramah Ustaz Ndirin yang orang asli, daripada memanggil ustaz atau kiai dari kampung atau bahkan kota lain.
BACA JUGA: Jika Miskin Itu Takdir, Buat Apa Bersedekah pada Orang Miskin?
Tentu ini bukan karena tak percaya, atau sikap primordialisme yang tinggi, tapi karena tak punya dana untuk itu. Mushola Kampung Lewah tak pernah punya kas yang banyak. Setiap bulan kasnya hanya tersisa 200 ribu, bahkan kadang kurang. Untuk acara megengan saja, uangnya dari para warga. Itu pun seadanya, semampunya.
Acara pun sampai ke waktu makan bersama. Cak Kendor duduk bersama Lek Wari. Lek Wari adalah warga Kampung Lewah yang jadi PNS. Orang sana sih bilangnya begitu. Meskipun sesungguhnya Lek Wari hanya tukang antar makanan ke kantor dinas.
“Sebelum mulai, mari kita bersama-sama membaca ‘Bismillah’ terlebih dahulu,” terdengar suara Uztaz Ndirin ke jamaah. Tiba-tiba Cak Kendor menyelanya.
“Ndak usah Bismillah ndakpapa, taz.”
“Lho, kok ndakpapa itu gimana, Cak? Kita mau makan lho, bahkan seharusnya baca doa makan.”
“Yawes. Baca doa makan saja, taz. Nggak usah Bismillah,” kata Cak Kendor.
“Lha… sampeyan itu kaya anti banget karo Bismillah kenapa tho, Cak?” Tanya Ustaz Ndirin sambil tersenyum.
“Bismillah itu ternyata ndak selamanya baik kok, taz. Tadi siang saya dua kali baca
“Bismillah”, dan dua kali juga saya malah kena apes.”
“Iku kowe bae sing apes, Cak!” Teriak Wagiman. Ustaz Ndirin memberi isyarat agar Wagiman tenang. Acara makan bersama pun tertunda.
“Wes tho, Cak. Rak usah kesuwen. Iki wes do ngelih ke lho,” kata Lek Wari.
Situasi yang tidak kondusif membuat Ustaz Ndirin pun merasa harus bertindak.
“Sampeyan bener, Cak,” kata Ustaz Ndirin. Seluruh hadirin terkejut.
“Sampeyan kok aneh, taz. Omongan Cak Kendor digugu. Ngaco kui,” Wagiman menimpali.
“Ndak, Man. Cak Kendor ono benere. Dengan membaca ‘Bismillah’ tidak lantas membuat kita terhindar dari hal-hal buruk,” kata Ustaz Ndirin.
“Maksudnya pripun iku, taz?” Lek Wari makin bingung.
“Sebelumnya, saya mau tanya ke sampeyan Cak. Apa yang sampeyan alami tadi?” Tanya Ustaz Ndirin.
BACA JUGA: Kamu Maksa Ibadahmu Biar Sempurna, Memang Kamu Siapa?
“Saya tadi baca ‘Bismillah’ sebelum makan, tapi setelah makan perut saya mules. Saya baca lagi sebelum berangkat becak, tapi becak saya bannya malah kempes,” kata Cak Kendor sambil menyantap makanannya.
“Berarti jelas di sini. ‘Bismillah’ itu bukan jaminan kita aman dari hal-hal buruk.”
“Maksudnya ustaz?” Tanya Lek Wari nggak sabaran.
“Begini. ‘Bismillah’ itu hanya alat untuk membantu kita terhindar dari keburukan dan mendekat ke kebaikan. Nah, dalam praktiknya, kelakuan kita, apa yang kita kerjakan, segala sesuatunya juga harus kita pastikan baik,” jelas Ustaz Ndirin.
“Masih belum paham,” gerutu Wagiman.
“Jadi, tidak lantas apa yang kamu mulai dengan ‘Bismillah’ itu akan menjadi baik jika dalam praktiknya tidak mengarah ke kebaikan. ‘Bismillah’ bukan jaminan.”
“Misalnya?” Tanya Wagiman (lagi).
“Begini. Misal, kamu mau mau maling, terus sebelum maling kamu baca ‘Bismillah’, apa lantas itu baik? Kan tidak. Dalam kasus Cak Kendor mungkin dia itu ada yang ndak beres. Mungkin sebelum makan dia ndak cuci tangan. Sebelum berangkat mbecak ndak ngecek dulu bannya kempes atau tidak.”
“Makanya, baik atau tidak itu tergantung kamunya. Begitu Cak Kandor,” kata Ustaz Ndirin seraya menoleh ke arah Cak Kendor. Tak disangka, orangnya sudah menghabiskan makanannya dan baru saja bersendawa.
————————————————————
Disarikan dari apa yang disampaikan Emha Ainun Nadjib
Tulis Komentar Anda