KOTOMONO.CO – Kata “bosan” kayaknya sudah jadi trend di masyarakat dunia akhir-akhir ini. Terutama, selama hampir setahun menjalani masa pandemi. Malahan, baru-baru ini muncul istilah baru, “pandemic fatigue” atau “kelelahan pandemik”. Istilah ini ramai dibincangkan para jurnalis dan pakar kesehatan masyarakat dunia. Kata mereka, kelelahan merupakan manifestasi dari perasaan cemas, putus asa, frustrasi, marah, dan bosan.
Boleh dibilang rasa bosan ini wajar. Tetapi, oleh Wanja Wolff, Psikolog Olahraga Universitas Konstanz, Jerman, kebosanan ini dikhawatirkan justru akan memicu penyebaran Covid-19 lebih meluas. Sebab, rasa bosan cenderung akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang lain. Namun, dalam konteks pandemi, Wolff sama sekali nggak menyarankan itu.
Tim peneliti Amerika Serikat-Kanada juga menemukan hal serupa. Menurut mereka, orang yang sering merasa bosan cenderung abai pada protokol kesehatan, terutama dalam hal menjaga jarak. Akibatnya, mereka cenderung berisiko tinggi tertular virus SARS CoV-2 ini.
Apa itu kebosanan?
Secara garis besar, studi humaniora Barat menggambarkan kebosanan sebagai kegagalan individu. Pakar Pesimistik Jerman abad ke-19, Arthur Schopenhauer, menyebut kebosanan sebagai sensasi kehampaan dari sebuah keberadaan. Filsuf Prancis Jean-Paul Sartre menyebutnya sebagai “kusta jiwa”.
Tetapi para peneliti merasa nggak puas dengan ajuan itu. Perasaan terkekang–sebagaimana disebut Leo Tolstoy (sastrawan Rusia) sebagai “keinginan atas keinginan” (the desire for desire)–berfungsi sebagai sinyal, seruan kepada tubuh untuk mengganti persneling, mengikuti pikiran saat ini. Erin Westgate, Psikolog Sosial University of Florida, menjelaskan, “Kebosanan adalah tanda bahwa Anda tidak terlibat secara bermakna di dunia ini.” Makanya, dia menyebutkan ada dua jalan menuju kebosanan: kehilangan fokus atau kehilangan makna.
BACA JUGA: Keluh Kesah Seorang Warga Terdampak Banjir tentang Foto-foto di Medsos
Beberapa gangguan, seperti penutupan kota dan sekolah, aksi protes, kerusuhan politik, resesi, dan banyak lagi yang lainnya akibat pandemi, telah mendorong pelemahan ketajaman mental. Bahkan, dapat menyebabkan sikap yang bodoh. Nah, ketika kebosanan didefinisikan dengan cara ini, kesibukan, akan sedikit memberikan perlindungan seseorang dari rasa bosan.
Sementara itu, dalam menjalani hidup, kita menghadapi banyak hal yang perlu diurai. Kebiasaan sehari-hari yang sederhana, seperti nongkrong di cafe atau makan siang bersama teman, memberi kesan positif bagi hidup seseorang. Namun dalam masa pandemi ini, seperti ditegaskan pakar Psikologi kepribadian dan sosial Samantha Heintzelman dari Rutgers University-Newark di New Jersey, “Kita kehilangan rutinitas kolektif sekarang.” Artinya, pedoman jarak sosial yang bertujuan untuk melindungi kita dari penyakit mematikan juga telah mencuri hal-hal yang tampaknya kecil yang memberi makna pada kehidupan.
So, kehilangan fokus dan makna dalam hidup, membuat orang menemukan kebosanan menjadi “sangan buruk”, kata Westgate. “Kamu bisa bosan karena ada sesuatu yang bermakna, tapi kamu tidak bisa memperhatikan. Entah itu terlalu mudah atau sulit. Bisa juga bosan karena bisa memperhatikan, tapi itu tidak ada artinya,” ujarnya. “Tetapi jika ada sesuatu yang tidak berarti dan Anda tidak dapat memperhatikan, Anda seperti orang yang sangat bosan.”
Rentan terhadap kebosanan
Dengan melibatkan hampir 1.000 responden warga Amerika Utara, dua penelitian menunjukkan bagaimana tingkat kebosanan itu meningkat selama masa pendemi. Tim peneliti mengukur hubungan antara kecenderungan bawaan seseorang terhadap kebosanan dan perilaku melanggar aturan selama pandemi, seperti menghabiskan lebih sedikit waktu terpisah dari orang lain atau mengadakan pertemuan sosial. Hasil penelitian menunjukkan, ada 25 persen variasi pelanggaran yang disebabkan kebosanan. Hasil penelitian ini telah dilaporkan dalam Personality and Individual Differences. Meski begitu, para peneliti tidak menemukan hubungan yang kuat antara pelanggar aturan dan faktor lain yang mungkin mempengaruhinya, seperti usia atau jenis kelamin. (Orang dewasa muda dan pria cenderung mendapat skor lebih tinggi pada kebosanan dibandingkan kelompok lain.)

Seperti dilansir sciencenews.org, tidak ada faktor tunggal yang dapat menjelaskan 100 persen perilaku manusia, kata rekan penulis studi dan ahli saraf kognitif James Danckert dari University of Waterloo di Kanada. Tapi “25 persen adalah jumlah yang sangat besar.”
BACA JUGA: Dongeng Timun Mas dan Ramalan Masa Depan
Wolff dan rekannya, telah mempublikasikan temuannya secara online di International Journal of Environmental Research and Public Health (28 Juli 2020). Mereka memaparkan orang yang rentan bosan menilai jarak sosial lebih sulit daripada yang lain, sehingga mereka cenderung tidak mematuhi pedoman jarak sosial. Mereka inilah yang mendapat skor lebih tinggi dalam kebosanan juga sedikit lebih mungkin dibandingkan mereka yang mendapat skor lebih rendah untuk melaporkan terkena Covid-19.
“Kebosanan adalah motivator yang sangat kuat untuk perilaku,” kata Wolff. Namun, tambahnya, orang dapat berjuang dengan cara menanggapi sinyal itu dengan cara yang aman dan bermakna.
Bahayanya Perasaan Lesu
Westgate tidak heran bahwa orang-orang yang rentan terhadap kebosanan, namun mampu menjaga jarak secara sosial, merasa tinggal di rumah sangat membosankan. Namun, dia bertanya-tanya tentang kita semua: Bagaimana orang yang tidak terbiasa bosan menghadapi hilangnya fokus dan makna yang disebabkan oleh pandemi? Apakah mereka juga melanggar aturan?
Penelitian lain yang cukup sugestif adalah penelitian di Science tahun 2014. Westgate dan rekannya meminta 42 mahasiswa sarjana duduk sendiri dengan pikiran mereka selama beberapa menit. Namun, ponsel mereka tidak diizinkan aktif. Hasilnya, sekitar dua pertiga mahasiswa dan seperempat mahasiswi memilih menekan sebuah tombol untuk menerima sengatan listrik yang menyakitkan beberapa kali. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan rasa sakit lebih disukai daripada kebosanan bagi beberapa mahasiswa.
Pada tahun 2019, dalam studi Behavioral Decision Making, Psikolog sosial Wijnand Van Tilburg dan rekannya meneliti tingkat kebosanan pada responden melalui permainan judi yang berulang. Hasilnya, hal tersebut mendorong responden untuk membuat keputusan yang lebih berisiko.

Dari penelitian itu, Van Tilburdg dari University of Essex, Inggris menemukan, kebosanan sesaat tidak selalu buruk. Namun jika kelamaan, kebosanan dapat menyebabkan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Terutama, jika situasinya “belum terselesaikan atau resolusinya berbahaya, seperti makan berlebihan atau menjadi agresif atau tidak memakai topeng,” katanya.
Sebuah studi baru-baru ini memberikan petunjuk tentang bagaimana kebosanan yang tak terselesaikan mungkin terjadi. Sebagian besar model epidemiologis berasumsi bahwa orang akan memulai dan mempertahankan jarak sosial segera setelah kasus COVID-19 mulai meningkat di suatu daerah. Hal itu akan menyebabkan kematian, yang kasusnya tertinggal beberapa minggu, melonjak tetapi kemudian turun sebagai respons terhadap jarak sosial – menyebabkan model perkiraan kematian menyerupai gunung dengan puncak yang tajam.
BACA JUGA: Jangan Terjebak dalam Dikotomi Budaya Barat-Timur
Tetapi, para peneliti yang melaporkan dalam Prosiding National Academy of Sciences (22 Desember 2020) menemukan, berdasarkan Google’s COVID-19 Mobility Reports, bahwa di sebagian besar negara bagian AS, orang-orang pada awalnya memilih tinggal di rumah ketika kasus meningkat di musim semi dan musim panas, tetapi kemudian meningkatkan gerakan mereka sebelum ancaman berlalu. Akibatnya, kurva kematian akibat Covid-19 yang sebenarnya tidak menyerupai puncak, melainkan dataran tinggi atau penurunan pendek yang diikuti dengan peningkatan yang cepat. Artinya, angka kematian tidak turun drastis seperti yang diharapkan tetapi tetap tinggi. Ketika para peneliti memasukkan kebangkitan dini aktivitas tersebut ke dalam model epidemiologi, kurva yang diprediksi lebih baik mereplikasi pola kematian di kehidupan nyata.
Dalam beberapa bulan mendatang, kebosanan akibat kelelahan pandemik diperkirakan meningkat. Penyebaran virus korona, termasuk varian baru dan bahkan lebih menular, di Amerika Serikat dan banyak tempat lain terus berlanjut di luar kendali. Meskipun harapan sudah dekat dengan peluncuran vaksin, para ahli kesehatan masyarakat memperingatkan bahwa memvaksinasi cukup banyak orang untuk menghentikan penyebaran virus di Amerika Serikat dapat membawa kita ke tahun 2021. Apa yang akan diakibatkan dari benturan antara harapan dan keputusasaan terhadap tingkat kebosanan kita? Berapa banyak dari kita yang akan lengah?
Lalu, apa sekarang?
Wolff sekarang menyelidiki bagaimana membantu mereka yang mengalami kebosanan agar mengikuti aturan jarak sosial. Makalahnya yang terbit bulan Juli menunjukkan bahwa ketika orang yang cenderung bosan menunjukkan pengendalian diri yang tinggi, mereka melakukan pekerjaan yang lebih baik dengan kepatuhan. Melatih orang untuk memiliki lebih banyak pengendalian diri mungkin sulit, kata Wolff. Namun, dia menyarankan agar orang mengurangi kebutuhan akan pengendalian diri dengan membuat rencana darurat.
Penelitian pendahuluannya, diposting online 25 Juni di PsyArXiv.com, menunjukkan bahwa rencana “jika-maka” seperti itu dapat membantu. Misalnya, jika gym dalam ruangan terlalu berbahaya, seseorang malah bisa merencanakan untuk mulai berlari di luar. Wolff menyarankan orang-orang mengambil langkah kecil untuk membuatnya lebih mudah mengikuti perubahan dalam rutinitas, seperti meletakkan pakaian olahraga di tempat tidur pada malam sebelumnya dan sepatu kets di dekat pintu depan. “Idenya adalah membuat perilaku lebih otomatis,” katanya.
BACA JUGA: Fakta Perempuan Lebih Baik Ketimbang Laki-laki Dalam Membaca Pikiran
Tetapi bahkan dengan rencana yang paling baik, mempertahankan fokus dan makna selama pandemi bukanlah tugas yang mudah. Peneliti mengatakan bahwa kebosanan adalah sinyal netral, tidak buruk atau baik. Dan beberapa orang yang berdiam di rumah sekarang dan mengeksplorasi perasaan itu mungkin menemukan bahwa kebosanan memiliki akar yang lebih dalam yang bahkan mungkin mendahului pandemi.
Jadi mungkin kerangka situasi yang paling optimis adalah bahwa beberapa orang akan menggunakan momen kebosanan yang berlarut-larut ini untuk memikirkan tujuan hidup yang lebih besar, kata Van Tilburg. “Adalah mungkin untuk memahami makna dari situasi negatif ini.”
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya