• Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Term of Service
  • FAQ
Kotomono.co
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • NYASTRA
    • NGABUBURIT
    • RELEASE
    • EDUKASI
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • NYASTRA
    • NGABUBURIT
    • RELEASE
    • EDUKASI
No Result
View All Result
Kotomono.co
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
Hadi Pranggono dosen unikal

Kegelisahan Pak Hadi Pranggono dalam Sebuah Puisi

Ulasan puisi "Senandung Pilu Laut Biru" karya Hadi Pranggono

Ribut Achwandi by Ribut Achwandi
November 28, 2021
in PUSTAKA
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

KOTOMONO.CO – Mendiang Hadi Pranggono, dosen Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan pernah menuliskan keluh kesahnya tentang kerusakan lingkungan yang dialami Kota Pekalongan. Khususnya, kawasan pantai. Keluh kesahnya itu ditulis dalam bentuk puisi yang kemudian diterbitkan dalam buku kumpulan puisi 101 Puisi tentang Kota Pekalongan.

Sayang, buku itu tidak cukup memberi penjelasan tentang siapa penerbitnya, tak pula memiliki ISBN. Bahkan, identitas buku tersebut juga tak tercantum. Meski di dalamnya, muncul pula nama penyair kondang Taufiq Ismail, yang selain menyumbangkan sebuah puisi juga memberi kata pengantar.

Selain itu, buku ini dicetak dalam jumlah terbatas. Tidak semua orang tahu mengenai keberadaan buku ini. Apalagi buku ini juga tak dijual bebas. Hanya dibagikan kepada orang-orang tertentu.

Memang, penerbitan buku kumpulan puisi itu dilandasi oleh semangat kebangkitan para seniman Kota Pekalongan saat itu. Mereka, para seniman Kota Pekalongan, tengah menggebu-gebu untuk membangun kembali geliat kesenian. Setidaknya, dengan dibentuknya Dewan Kesenian Daerah Kota Pekalongan yang sebelumnya telah lama “mati”.

Penerbitan buku kumpulan puisi itu menjadi ajang pembuktian, bahwa seniman Kota Pekalongan masih punya daya dan kreasi. Di dalam buku itu, banyak nama yang menyumbangkan gagasan dan pandangan tentang Kota Pekalongan. Tidak hanya dari kalangan seniman ataupun sastrawan, sejumlah nama pejabat dan kalangan profesional pun ikut menyemarakkan isi buku itu. Tidak terkecuali, almarhum Hadi Pranggono yang notabene tidak pernah mengaku sebagai seorang seniman apalagi penyair.

Dalam perjumpaan terakhir saya dengan Pak Hadi (sapaan akrab Hadi Pranggono), ia mengaku hanya sebagai seorang penyuka seni. Salah satu yang ia sukai adalah kisah-kisah pewayangan yang kerap ia tonton dari gelaran wayang kulit. Selebihnya, ia hanya seorang dosen.

BACA JUGA: Iman Budhi Santosa Mengajak Ziarah Tanah Jawa

Tetapi, ketika saya kembali membuka buku antologi 101 Puisi tentang Kota Pekalongan, saya mendapatkan kesan yang berbeda tentang Pak Hadi. Puisi yang ditulisnya lima belas tahun silam menandakan Pak Hadi sebagai seorang dosen yang cukup piawai dalam mengolah bahasa menjadi puisi atau sekurang-kurangnya dibentuk seperti puisi. Ia tuliskan:

Senandung Pilu Laut Biru

Bulan masih temangsang di batu karang
Ketika pagi mulai menjelang
Bersama bias cahaya bagaskara yang makin benderang

Lihatlah abang

Tarian helai daun padang lamun tak lagi seimbang
Hijau lumut rumput laut semakin gersang
Perairan estuaria berwarna hitam terpanggang
Maka kenapa tanganmu tak bosan membuang
Keinginan merusak lingkungan yang mestinya elok dipandang

Dengarkan sayang
Dendang gelombang laut terasa sumbang
Angka derajat celcius terus menjulang
Ikan dan udang habis menghilang
Maka mungkinkah air mata nelayan adalah perlambang
Bahwa alam semesta sebentar lagi kan tumbang

Itulah akang
Karena pohon bakau amblas ditebang
Karena pasir pantai banyak ditambang
Karena muara sungai bawa racun yang dituang
Karena semena-mena kita kuras sumberdaya demi uang
Maka duhai Sang Pencipta mengapa dosa kami luas terbentang
Benarkah keserakahan sulit kami buang?

Senandung pilu laut biru
Haruskah kita biarkan mengandung residu?
Kidung kelu laut biru
Marilah kita tata iramanya agar selaras seperti dulu

Panjang Indah, 25 Mei 2006

Secara keseluruhan, puisi ini boleh dibilang masih sangat konvensional. Pengaruh puisi lama masih tampak terasa pada pola persajakan dan gaya bahasanya. Amatilah, pada akhir tiap-tiap barisnya.

Selain itu, pilihan kata (diksi) pada puisi ini cukup kaya. Terutama sekali, pada baris pertama, bait pertama. Di sana tertera kata “temangsang”, sebuah kata yang terambil dari bahasa keseharian orang Pekalongan.

BACA JUGA: Satu Lagi! Buku Biografi Tokoh Ulama Pekalongan yang Layak Kamu Baca

Tentu, pemilihan kata “temangsang” tidak sekadar dicomot begitu saja. Akan tetapi, sangat diperhitungkan. Lebih-lebih, puisi ini ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Padanan kata “temangsang” dalam bahasa Indonesia adalah “tersangkut”. Tetapi, mengapa yang digunakan justru “temangsang”? Patut diduga, penggunaan kata “temangsang” dilakukan secara sadar untuk membangun pola persajakannya.

Meski begitu, saya menangkap ada nuansa yang sengaja dihadirkan oleh puisi ini melalui penggunaan kata “temangsang”. Puisi ini ingin menghadirkan rasa ketersangkutan yang benar-benar dapat dirasakan pembacanya lewat pengucapan puisi itu sendiri. Kata “temangsang” mewakili rasa ketersangkutan yang demikian kuat.

Dengan cara ini pula, puisi ini sesungguhnya ingin menghadirkan warna kedaerahan yang khas pada bagian awalnya. Namun, warna lokal itu tak sampai bertahan hingga di akhir puisi ini. Mengapa?

Kalau dicermati secara saksama, penyebab atas inkonsistensi ini terletak pada suasana/nuansa yang dibangun oleh puisi. Sekalipun maksudnya adalah mengajak pembaca untuk merenung, namun letupan-letupan emosinya terasa lebih menonjol dibandingkan sebuah ajakan untuk berpikir.

Hal ini ditunjukkan melalui pengimajian puisi yang didominasi pengimajian visual. Puisi ini begitu getol ingin menunjukkan kepada pembacanya tentang fenomena alam yang sedang berlangsung. Terlihat pada bait kedua dan ketiga. Lantas, pada bait keempat, letupan emosi itu diintensifkan dengan cara membuat repetisi pada bagian awal tiap barisnya.

BACA JUGA: Lagu “Jagad Anyar Kang Dumadi”-nya Soimah itu Lagu Religi Apa Bukan Sih?

Memang, hal itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan. Toh pada kenyataannya, puisi memang menjadi wahana penyampai pesan seorang pengarang kepada khalayak. Namun, ia memiliki fungsi yang tak boleh diabaikan, yaitu menjadi sarana dialog batin pembaca.

Tak ayal jika kemudian puisi dihadirkan dalam bentuknya yang padat dan hemat kata. Kepadatan kata akan memberi ruang kepada pembaca untuk berpikir dan merenungkan apa yang sedang diwacanakan puisi. Penghematan kata, tentu akan berpengaruh pada topografi puisi yang membuat pandangan mata terasa nyaman dan mampu menarik minat pembaca untuk menyelami kedalaman makna dari puisi.

Kepadatan dan penghematan kata ini pula yang kurang mendapatkan perhatian dari puisi ini. Akibatnya, topografi puisi kurang terawat dan membuat pandangan mata cukup terganggu. Metafora-metafora yang dihadirkan puisi ini pun pada akhirnya kurang dapat dibaca dengan saksama. Dan, nyaris bisa dibilang, sekadar tempelan-tempelan belaka.

Di lain hal, luapan emosi yang terlalu deras pada puisi ini membuat penyediaan ruang perenungan bagi pembaca tidak cukup berhasil diciptakan. Akan tetapi, ia cukup berhasil menyampaikan gugatan-gugatan atas kejadian alam yang ditimbulkan oleh ulah manusia. Tetapi, barangkali inilah kelebihan puisi ini.

Secara tidak langsung, fenomena bahasa yang ditampilkan puisi ini menyingkap watak budaya pesisir, khususnya pesisir Pekalongan. Konon, budaya Pekalongan itu dinamis dan egaliter. Maka, tak heran jika cara mengkomunikasikan maksud cenderung terbuka dan apa adanya.

BACA JUGA: Kota Pekalongan dalam Empat Puisi Pendek Karya Ibnu Novel Hafidz

Sifat terbuka dan apa adanya inilah sesungguhnya menjadi modal yang dapat diolah secara lebih intensif untuk menemukan pola-pola yang khas. Namun, agaknya upaya itu perlu diawali dari penggalian lebih dalam tentang bagaimana orang-orang pesisir Pekalongan membangun sistem tanda dalam komunikasi keseharian mereka. Sebab, sudah bertahun-tahun masalah kerusakan lingkungan ini berlangsung, namun rasa-rasanya belum pula tuntas terjawab. Mungkinkah ada ketersangkutan atau ketersumbatan pada pola komunikasi yang terjalin? Ataukah, memang tak ada ruang untuk merenungkannya? Sehingga, masalah ini menjadi berlarut-larut.

Bulan masih temangsang di batu karang
menyisakan resah di antara terang
langit pagi bersemu muram, menegang

Terakhir, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada mendiang Pak Hadi, orang yang saya kagumi dan saya hormati. Karya beliau menjadi sumbangan berharga bagi Kota Pekalongan. Semoga tenanglah arwah beliau, surgalah tempat bagi beliau.

 

Baca Tulisan-tulisan Menarik dari Ribut Achwandi Lainnya

Tags: kajian sastraKarya SastraPuisiPustakasastra pekalonganSastra Puisi

Mau Ikutan Menulis?

Kamu bisa bagikan esai, opini, pengalaman, uneg-uneg atau mengkritisi peristiwa apa saja yang bikin kamu mangkel. Karya Sastra juga boleh kok. Sapa tahu kirimanmu itu sangat bermanfaat dan bisa dibaca oleh jutaan orang. Klik Begini caranya


Ribut Achwandi

Ribut Achwandi

Kepala Redaksi
Ngedanlah asal nggak bikin orang lain jadi edan.

Sapa Tahu, Tulisan ini menarik

Resensi Novel Lapar Karya Knut Hamsun

Resensi Novel “Lapar” Karya Knut Hamsun

April 24, 2022
152
Review Buku Novel Ezaquel

Resensi Novel Ezaquel Karya Siti Habibah

April 12, 2022
358
Review Film Pandai-Me

Semua Terdampak, Semua Bisa Berdampak – Review Film Pandai-Me

April 6, 2022
154
Resensi buku The Poz Says Ok

Gay & HIV: Sudut Pandang Anyar dari The Poz Says Ok

Maret 6, 2022
190
Menelisik Asal-usul dan Makna kata Cinta

Menelisik Asal-usul Kata Cinta

Januari 23, 2022
310
Petualangan Sherina Animation

Geliat Animasi Musikal Anak Indonesia Nggak Kalah Seru dari Animasi Luar Negeri

Januari 22, 2022
200
Load More


Ada Informasi yang Salah ?

Silakan informasikan kepada kami untuk segera diperbaiki. Pliss "Beritahu kami" Terima kasih!


TERBARU

5 Cafe Hits Kebumen Bergaya Vintage-Estetik Untuk Nongkrong Asik

Sebuah Tips Menjadi Pemain Catur Online Profesional Biar Nggak Kayak Dewa Kipas

Banjir Rob Landa Pekalongan, ACT-MRI Sigap Distribusikan Bantuan

Menggala Ranch Banyumas, Wisata Ala View New Zealand di Jawa Tengah

Honda Astrea, Motor Sejuta Umat yang Hits Pada Era-nya

Belajar Bijak dari Driver Ojol Selalu Berwajah Lusuh Ketika Mengambil Orderan

Koenokoeni Cafe Gallery, Kafe Resto dengan Kearifan Lokal di Semarang

LAGI RAME

Cafe Hits Batang Hello Beach

20 Cafe Hits Kekinian di Kabupaten Batang yang Keren Abis Buat Nongki-Nongki

Februari 13, 2022
3.1k
Wisata Tegal - Villa Guci Forest

Wisata Hits Terbaru Tegal di Villa Guci Forest

Mei 17, 2022
459
Wisata Hits Terbaru Jogja di HeHa Ocean View

Wisata Hits Terbaru Jogja di HeHa Ocean View

Maret 3, 2022
2k
Legenda Dewi Lanjar Pantai Utara

Kisah Legenda Asal-usul Dewi Lanjar

Agustus 12, 2016
34.2k
Wisata Pekalongan Pantai Pasir Kencana

New Taman Wisata Pantai Pasir Kencana Kota Pekalongan

Maret 10, 2022
6.5k
Review Buku Novel Ezaquel

Resensi Novel Ezaquel Karya Siti Habibah

April 12, 2022
358
Tradisi Syawalan Balon Udara Pekalongan

5 Tradisi Syawalan di Pekalongan yang Sayang Untuk Dilewatkan

Mei 7, 2022
7.8k
Dewi-Rantamsari-Dewi-Lanjar

Kisah Misteri Dewi Rantamsari Yang Melegenda

Oktober 16, 2018
15.7k
Forest Kopi Batang

Inilah 10 Tempat Kuliner di Batang Paling Direkomendasikan untuk Wisatawan

April 9, 2020
29.6k
Sate Winong Mustofa Purworejo

10 Rekomendasi Kuliner Enak di Purworejo Tahun 2022

November 9, 2021
1k

TENTANG  /  DISCLAIMER  /  KERJA SAMA  /  KRU  /  PEDOMAN MEDIA SIBER  /  KIRIM ARTIKEL

© 2021 KOTOMONO.CO - ALL RIGHTS RESERVED.
DMCA.com Protection Status
No Result
View All Result
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • NGULINER
  • PLESIR
  • LOCAL WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • NGABUBURIT
    • RELEASE
    • EDUKASI
    • NYASTRA
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Login
  • Sign Up

Kerjasama, Iklan & Promosi, Contact : 085326607696 | Email : advertise@kotomono.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In