KOTOMONO.CO – Mendiang Hadi Pranggono, dosen Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan pernah menuliskan keluh kesahnya tentang kerusakan lingkungan yang dialami Kota Pekalongan. Khususnya, kawasan pantai. Keluh kesahnya itu ditulis dalam bentuk puisi yang kemudian diterbitkan dalam buku kumpulan puisi 101 Puisi tentang Kota Pekalongan.
Sayang, buku itu tidak cukup memberi penjelasan tentang siapa penerbitnya, tak pula memiliki ISBN. Bahkan, identitas buku tersebut juga tak tercantum. Meski di dalamnya, muncul pula nama penyair kondang Taufiq Ismail, yang selain menyumbangkan sebuah puisi juga memberi kata pengantar.
Selain itu, buku ini dicetak dalam jumlah terbatas. Tidak semua orang tahu mengenai keberadaan buku ini. Apalagi buku ini juga tak dijual bebas. Hanya dibagikan kepada orang-orang tertentu.
Memang, penerbitan buku kumpulan puisi itu dilandasi oleh semangat kebangkitan para seniman Kota Pekalongan saat itu. Mereka, para seniman Kota Pekalongan, tengah menggebu-gebu untuk membangun kembali geliat kesenian. Setidaknya, dengan dibentuknya Dewan Kesenian Daerah Kota Pekalongan yang sebelumnya telah lama “mati”.
Penerbitan buku kumpulan puisi itu menjadi ajang pembuktian, bahwa seniman Kota Pekalongan masih punya daya dan kreasi. Di dalam buku itu, banyak nama yang menyumbangkan gagasan dan pandangan tentang Kota Pekalongan. Tidak hanya dari kalangan seniman ataupun sastrawan, sejumlah nama pejabat dan kalangan profesional pun ikut menyemarakkan isi buku itu. Tidak terkecuali, almarhum Hadi Pranggono yang notabene tidak pernah mengaku sebagai seorang seniman apalagi penyair.
Dalam perjumpaan terakhir saya dengan Pak Hadi (sapaan akrab Hadi Pranggono), ia mengaku hanya sebagai seorang penyuka seni. Salah satu yang ia sukai adalah kisah-kisah pewayangan yang kerap ia tonton dari gelaran wayang kulit. Selebihnya, ia hanya seorang dosen.
Tetapi, ketika saya kembali membuka buku antologi 101 Puisi tentang Kota Pekalongan, saya mendapatkan kesan yang berbeda tentang Pak Hadi. Puisi yang ditulisnya lima belas tahun silam menandakan Pak Hadi sebagai seorang dosen yang cukup piawai dalam mengolah bahasa menjadi puisi atau sekurang-kurangnya dibentuk seperti puisi. Ia tuliskan:
Senandung Pilu Laut Biru
Bulan masih temangsang di batu karang
Ketika pagi mulai menjelang
Bersama bias cahaya bagaskara yang makin benderang
Tarian helai daun padang lamun tak lagi seimbang
Hijau lumut rumput laut semakin gersang
Perairan estuaria berwarna hitam terpanggang
Maka kenapa tanganmu tak bosan membuang
Keinginan merusak lingkungan yang mestinya elok dipandang
Dengarkan sayang
Dendang gelombang laut terasa sumbang
Angka derajat celcius terus menjulang
Ikan dan udang habis menghilang
Maka mungkinkah air mata nelayan adalah perlambang
Bahwa alam semesta sebentar lagi kan tumbang
Itulah akang
Karena pohon bakau amblas ditebang
Karena pasir pantai banyak ditambang
Karena muara sungai bawa racun yang dituang
Karena semena-mena kita kuras sumberdaya demi uang
Maka duhai Sang Pencipta mengapa dosa kami luas terbentang
Benarkah keserakahan sulit kami buang?
Senandung pilu laut biru
Haruskah kita biarkan mengandung residu?
Kidung kelu laut biru
Marilah kita tata iramanya agar selaras seperti dulu
Panjang Indah, 25 Mei 2006
Secara keseluruhan, puisi ini boleh dibilang masih sangat konvensional. Pengaruh puisi lama masih tampak terasa pada pola persajakan dan gaya bahasanya. Amatilah, pada akhir tiap-tiap barisnya.
Selain itu, pilihan kata (diksi) pada puisi ini cukup kaya. Terutama sekali, pada baris pertama, bait pertama. Di sana tertera kata “temangsang”, sebuah kata yang terambil dari bahasa keseharian orang Pekalongan.
BACA JUGA: Satu Lagi! Buku Biografi Tokoh Ulama Pekalongan yang Layak Kamu Baca
Tentu, pemilihan kata “temangsang” tidak sekadar dicomot begitu saja. Akan tetapi, sangat diperhitungkan. Lebih-lebih, puisi ini ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Padanan kata “temangsang” dalam bahasa Indonesia adalah “tersangkut”. Tetapi, mengapa yang digunakan justru “temangsang”? Patut diduga, penggunaan kata “temangsang” dilakukan secara sadar untuk membangun pola persajakannya.
Meski begitu, saya menangkap ada nuansa yang sengaja dihadirkan oleh puisi ini melalui penggunaan kata “temangsang”. Puisi ini ingin menghadirkan rasa ketersangkutan yang benar-benar dapat dirasakan pembacanya lewat pengucapan puisi itu sendiri. Kata “temangsang” mewakili rasa ketersangkutan yang demikian kuat.
Kalau dicermati secara saksama, penyebab atas inkonsistensi ini terletak pada suasana/nuansa yang dibangun oleh puisi. Sekalipun maksudnya adalah mengajak pembaca untuk merenung, namun letupan-letupan emosinya terasa lebih menonjol dibandingkan sebuah ajakan untuk berpikir.
Hal ini ditunjukkan melalui pengimajian puisi yang didominasi pengimajian visual. Puisi ini begitu getol ingin menunjukkan kepada pembacanya tentang fenomena alam yang sedang berlangsung. Terlihat pada bait kedua dan ketiga. Lantas, pada bait keempat, letupan emosi itu diintensifkan dengan cara membuat repetisi pada bagian awal tiap barisnya.
BACA JUGA: Lagu “Jagad Anyar Kang Dumadi”-nya Soimah itu Lagu Religi Apa Bukan Sih?
Memang, hal itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan. Toh pada kenyataannya, puisi memang menjadi wahana penyampai pesan seorang pengarang kepada khalayak. Namun, ia memiliki fungsi yang tak boleh diabaikan, yaitu menjadi sarana dialog batin pembaca.
Tak ayal jika kemudian puisi dihadirkan dalam bentuknya yang padat dan hemat kata. Kepadatan kata akan memberi ruang kepada pembaca untuk berpikir dan merenungkan apa yang sedang diwacanakan puisi. Penghematan kata, tentu akan berpengaruh pada topografi puisi yang membuat pandangan mata terasa nyaman dan mampu menarik minat pembaca untuk menyelami kedalaman makna dari puisi.
Kepadatan dan penghematan kata ini pula yang kurang mendapatkan perhatian dari puisi ini. Akibatnya, topografi puisi kurang terawat dan membuat pandangan mata cukup terganggu. Metafora-metafora yang dihadirkan puisi ini pun pada akhirnya kurang dapat dibaca dengan saksama. Dan, nyaris bisa dibilang, sekadar tempelan-tempelan belaka.
Di lain hal, luapan emosi yang terlalu deras pada puisi ini membuat penyediaan ruang perenungan bagi pembaca tidak cukup berhasil diciptakan. Akan tetapi, ia cukup berhasil menyampaikan gugatan-gugatan atas kejadian alam yang ditimbulkan oleh ulah manusia. Tetapi, barangkali inilah kelebihan puisi ini.
Secara tidak langsung, fenomena bahasa yang ditampilkan puisi ini menyingkap watak budaya pesisir, khususnya pesisir Pekalongan. Konon, budaya Pekalongan itu dinamis dan egaliter. Maka, tak heran jika cara mengkomunikasikan maksud cenderung terbuka dan apa adanya.
BACA JUGA: Kota Pekalongan dalam Empat Puisi Pendek Karya Ibnu Novel Hafidz
Sifat terbuka dan apa adanya inilah sesungguhnya menjadi modal yang dapat diolah secara lebih intensif untuk menemukan pola-pola yang khas. Namun, agaknya upaya itu perlu diawali dari penggalian lebih dalam tentang bagaimana orang-orang pesisir Pekalongan membangun sistem tanda dalam komunikasi keseharian mereka. Sebab, sudah bertahun-tahun masalah kerusakan lingkungan ini berlangsung, namun rasa-rasanya belum pula tuntas terjawab. Mungkinkah ada ketersangkutan atau ketersumbatan pada pola komunikasi yang terjalin? Ataukah, memang tak ada ruang untuk merenungkannya? Sehingga, masalah ini menjadi berlarut-larut.
Bulan masih temangsang di batu karang
menyisakan resah di antara terang
langit pagi bersemu muram, menegang
Terakhir, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada mendiang Pak Hadi, orang yang saya kagumi dan saya hormati. Karya beliau menjadi sumbangan berharga bagi Kota Pekalongan. Semoga tenanglah arwah beliau, surgalah tempat bagi beliau.
Komentarnya gan