KOTOMONO.CO – Sabtu siang (20 Februari 2021), seorang kawan menghubungi saya via Whatsapp. Awalnya, ia hanya ingin menyampaikan rasa prihatinnya atas apa yang ia dan beberapa orang sekitar alami. Dia adalah salah seorang dari warga terdampak luapan air yang menggenang kampung-kampung. Seperti umumnya, obrolan kami dimulai dari bersapa kabar masing-masing dan saling memanjatkan doa. Dilanjutkan dengan obrolan seputar keadaan terkini.
Tetapi, ada sesuatu yang menghentak dan menyentak perasaan saya. Terutama, ketika ia sampaikan keluh kesahnya menyoal potret-potret yang terpampang di media sosial. Ia katakan, memang dirinya dan warga kampungnya sangat terbantu dengan kehadiran para dermawan. Berbagai macam bantuan itu sudah diterima dan dapat dimanfaatkan dengan baik. Maka, ia sampaikan rasa terima kasihnya itu kepada para dermawan.
Tetapi, ada sesuatu yang meninggalkan kesan yang kurang etis dalam benaknya. Cara yang dilakukan sebagian dermawan saat mendatangi kampungnya kok dirasa gimana gitu. Katanya, “Mosok sih, mereka cuma datang di kampung kami, terus nyerahin bantuan, habis itu fota–foto, lantas segera berpamitan pulang.”
Makjleb! Kalimat itu membuat saya merasa bersalah, sebab sampai hari ini saya belum bisa menemani kawan saya yang terdampak banjir itu. Lalu, saya sampaikan padanya permohoan maaf jika saya tidak bisa menemaninya. Karena, sebagai kawan baik, mestinya saya juga ikut menemaninya.
Ia pun maklum dengan keadaan saya. Sekalipun pemakluman itu sedikit melegakan, saya tetap merasa tak enak hati. Lantas, ia melanjutkan obrolan. Masih soal keluh kesahnya tentang perilaku sebagian orang-orang yang datang ke pengungsian maupun ke rumah warga terdampak banjir.
BACA JUGA : Viral Itu Perlu dan Memang Harus
Kata kawan saya, “Hal yang membuat kurang etis lagi adalah ketika foto-foto itu diunggah di media sosial. Saya temukan, beberapa foto itu tidak jelas maksudnya apa. Apakah memang ingin menunjukkan rasa kepedulian atau sekadar ingin ngeksis? Kalau mau nunjukin kepedulian, kenapa juga kudu ada identitas kelompoknya? Kalau memang pingin ngeksis, mbok ya tahu dirilah mereka itu. Kami ini bukan tontonan. Kampung kami bukan tempat wisata untuk berselfa–selfi terus diunggah di instagram atau media-media sosial lainnya.”
Kalimat panjang itu saya tanggapi, “Yang sabar, mbakyu…. Positif thinking aja. Barangkali maksud mereka itu baik. Ingin menunjukkan betapa dampak banjir itu cukup fatal bagi warga di kampung njenengan. Tetapi, mereka mungkin saja kurang paham caranya untuk menunjukkan itu kepada publik. Makanya, mereka meminta berpose di kampung njenengan. Mungkin aja gitu lho ya.”
“Iya sih. Saya ngerti. Mungkin mereka pikir itu cara terbaik buat mempublikasikan nasib warga. Tetapi, saya yang hidup di situ dan menonton foto-foto itu rasane ngeri. Rasane kok gimanaaa gitu. Seolah-olah saya dan juga warga di sini seperti diperlakukan sebagai objek foto saja. Lho apa dikira kami itu senang difoto-foto saat kami sedang kobol–kobol begini? Nggak juga lah. Malah, kami merasa seolah-olah kampung kami yang kebanjiran cuma jadi fotoboot. Padahal, sudah seminggu lebih kami krubyak–krubyuk. Mau kerja susah. Mau apa-apa nggak bisa. Lha mbok sekali waktu deh mereka datang bukan untuk sekadar kasih mie instan dan makanan lainnya. Tapi, tinggal di sini barang semalam bersama kami. Merasakan apa yang kami rasakan. Nggak sibuk cari tempat untuk fota–foto, Kang,” timpalnya panjang.
BACA JUGA : Sengkarut Tarif Parkir Kota Pekalongan
Kali ini saya speechless. Saya tak bisa membalas apa-apa. Saya hanya bisa memandangi layar hape saya. Di seberang, kawan saya masih sibuk mengetik. Saya hanya menunggu. Kata-kata apalagi yang akan ia luncurkan di WA.
“Sori ya Kang, kalau saya marah-marah gini. Bukan apa-apa. Saya sengaja menyampaikan ini karena jujur saya stress juga, Kang. Lha gimana nggak stress, tenaga kami di dapur umum warga ini terbatas. Kami yang sudah susah begini masih juga harus repot ngurusi diri kami sendiri. Apa ya mereka yang datang itu nggak pengin bantu kami, ikut ngurusi warga di Dapur Umum?” lanjutnya. “Ada lagi yang sebenarnya bikin kesel. Pernah suatu ketika, saya menyaksikan postingan di media sosial. Postingan itu menampilkan rekaman video sejumlah orang dalam satu mobil menerobos banjir di jalan kampung. Mungkin maksudnya baik, menyurvei dampak banjir di kampung itu. Tapi apa ya nggak eling, kalau naik motor saja bikin air bergelombang dan bisa bikin rumah kemasukan air, eh ini malah naik mobil. Kan aneh to, Kang?”
“Ya, mungkin karena tidak paham, mbakyu. Harap maklum. Mereka yang datang ini kan mungkin saja tidak pernah mengalami apa yang njenengan alami, mbakyu,” balas saya.
BACA JUGA: Angkat Topi untuk Para Dermawan dan Relawan
“Iya sih, saya tahu. Tapi, mbok dipikirkan lagi. Dipertimbangkan masak-masak dulu sebelum bergerak. Jangan sampai niat baik itu malah jadi masalah buat warga terdampak. Bahkan, saya juga lihat di medsos, ada juga yang rupanya foto-foto kegiatan bantuan itu malah dijadikan iklan,” tulisnya dalam WA yang terkirim.
“Hmm… iya juga sih. Memang saya pikir perlulah ada semacam edukasi kepada siapa saja menyoal ini. Saya turut prihatin membaca kisah panjenengan, mbakyu. Sekali lagi, saya mohon maaf belum bisa berbuat banyak untuk panjenengan dan warga di kampung njenengan. Tetapi, apa yang njenengan sampaikan pada saya akan saya tulis dan semoga bisa menjadi bahan renungan bersama seluruh masyarakat, mbakyu,” balas saya.
“Nggak apa-apa, Kang. Saya paham kok. Maturnuwun kalau sampeyan sudi menyampaikan suara hati saya ini, Kang. Uneg–uneg warga terdampak. Tolong sampaikan, Kang, kepada semuanya saja, bahwa kampung kami bukan tempat wisata untuk selfa–selfi. Kami, warga di sini, juga bukan objek tontonan. Kami rindu keadaan normal kembali. Kami rindu beraktivitas sebagaimana biasanya. Kalau mau datang ke kampung kami, plis jangan katakan untuk menolong, tetapi untuk bersilaturahmi sehingga kami pun akan menyambut dengan senang hati. Syukur-syukur mereka yang datang mau tinggal sebentar bersama kami, membantu kami dan meringankan pekerjaan kami di sini. Maturnuwun ya, Kang, sudah sudi saya repoti dengan keluh kesah ini. Semoga panjenengan sehat selalu,” pungkasnya.
BACA JUGA : Dinsos P2KB Kota Pekalongan Tanggapi Postingan “Kapok ke Dinsos”
“Sabar, tabah, dan ikhlaskan, mbakyu. Insya Allah, ada berkah yang luar biasa untuk panjenengan dan warga di kampung njenengan setelah ini berakhir. Amin,” saya pun mengakhiri obrolan WA itu.
Catatan: Mohon maaf, nama dan alamat terang warga tidak saya sebutkan.