• Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Term of Service
  • FAQ
Kotomono.co
No Result
View All Result
  • Login
  • Register
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • NYASTRA
    • NGABUBURIT
    • RELEASE
    • EDUKASI
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • NYASTRA
    • NGABUBURIT
    • RELEASE
    • EDUKASI
No Result
View All Result
Kotomono.co
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • PLESIR
  • NGULINER
  • WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
Tak Adakah Kolaborasi Di Antara Guru

Image by 14995841 from Pixabay

Tak Adakah “Kolaborasi” Di Antara Guru, Kenapa?

Dini Alan Faza by Dini Alan Faza
Mei 25, 2021
in ESAI
0
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

KOTOMONO.CO – Pada judul tulisan ini langsung saya beri dengan pertanyaan menohok, karena ini penting!

Kata sebagian kalangan, kualitas pendidikan, khususnya pembelajaran di kelas, bergantung pada gurunya. Guru yang cara ngajarnya menarik, punya selera humor, mudah bergaul dengan anak, mengerti kebutuhan mereka, suka berkolaborasi memecahkan masalah, dan memiliki panggilan jiwa di profesi ini, singkatnya seorang pendidik profesional; adalah guru yang diidam-idamkan.

Sayangnya, lulus dari kampus pencetak calon guru, tidak secara otomatis membuat lulusan itu profesional di bidangnya. Perlu perjalanan panjang yang tak jarang agak melelahkan sebelum mereka (setelah diterima di sekolah sebagai pengajar di sana) menyandang predikat guru profesional.

Pertama-tama, perlu diingat bahwa fresh graduated yang langsung bekerja sebagai guru, tidak otomatis paham seluk-beluk masalah-masalah pendidikan di sekolahnya, tahu cara-cara yang efektif untuk mengatasinya, dan, dalam waktu singkat, mampu mengubah keadaan sekolah menjadi lebih baik. Berdasarkan keterangan beberapa teman, mereka perlu waktu setidaknya dua sampai tiga tahun untuk beradaptasi. Bahkan ada yang lebih.

BACA JUGA: Beruntungnya Saya Punya Kawan Seorang Aktivis

Proses adaptasi itu pun tidak mulus-mulus amat. Hal pertama yang biasanya mereka mengerti adalah perbedaan antara teori yang dipelajari di kampus dengan kenyataan di sekolah yang tak terjembatani. Saya pernah mendengar ungkapan ini: fresh graduated itu teorinya oke, tapi praktiknya nol besar. Sedangkan guru senior teorinya agak-agak, namun praktiknya oke.

Tanpa berdebat soal benar-tidaknya ungkapan itu, sedikit-banyak idealisme para lulusan muda itu terbangun dari pemikiran naif dalam memandang kenyataan di sekolah. Pemikiran ini dipupuknya melalui bacaan dan diskusi yang seringnya tidak berbasis data objektif. Apalagi jika sejak di perguruan tinggi, mereka jarang diberi kesempatan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang nyata terjadi di sekolah-sekolah.

Walhasil, ketika guru-guru pemula ini terkejut karena apa yang dipelajari semasa kuliah banyak yang tidak cocok dan tidak relevan dengan kondisi di lapangan, cita-cita utopis mereka mendapat batu ujian. Apakah akan terus mempertahankan impiannya atau angakat tangan, semua tergantung pada kemampuan dan niat mereka. Ada yang menyerah, memilih bekerja asal kewajiban gugur. Namun ada juga yang tetap berusaha memahami dan sedikit demi sedikit menggunakan berbagai cara untuk mengatasi kendala dalam mengajar.

BACA JUGA: Beruntungnya Saya Punya Kawan Seorang Aktivis

Proses serupa itu umum dialami guru-guru. Bahkan guru senior pun saya kira pernah merasakannya. Boleh dibilang, profesi guru itu penuh tantangan, dan karena itulah mereka perlu terampil memecahkannya.

Meski demikian, yang membuat saya heran, di awal karier para guru pemula atau fresh graduated yang langsung mengajar, mereka sering dibiarkan berjuang sendiri tanpa ada pendampingan dan bimbingan dari guru yang lebih berpengalaman. Fenomena ini sebetulnya merupakan tarikan lebih panjang dari kebiasaan kerja sendiri-sendiri yang dilakukan banyak guru.

Berjuang sendiri mengatasi masalah sungguh melelahkan. Selain rasa kesendirian, guru-guru itu harus bergelut dengan berbagai situasi kerja yang rumit. Tak jarang mereka meraba-raba sendiri tanpa guru senior memberi petunjuk atau bimbingan. Keadaan ini bahkan bertambah sulit jika antara guru pemula dan seniornya tidak terjalin komunikasi yang kondusif. Akhirnya, keputusan-keputusan yang diambil kurang pertimbangan matang, hal mana karena minimnya pengalaman mereka dan kurangnya pemahaman budaya di sekolah itu.

BACA JUGA: Memangnya Ada “Pedagogi” Dalam Pembelajaran Jarak Jauh ?

Tidak adanya program pendampingan dari guru senior—atau yang sering disebut induksi—bertolak belakang dengan kompleksitas yang terjadi di sekolah dan minimnya pengalaman fresh graduated dalam mengajar. Menurut saya, sangat tidak masuk akal mengharapkan guru pemula ini menjadi pendidik yang profesional tanpa diawali dengan induksi. Mereka yang semestinya dibimbing dalam mengarungi kerumitan persoalan di sekolah yang belum pernah mereka kenali di perkuliahan, sekali lagi, dibiarkan survive sendiri.

Program induksi sebetulnya merupakan langkah awal bagi guru pemula untuk memahami bahwa guru itu tak beda dengan ilmuwan. Mereka memerlukan kolaborasi untuk memecahkan berbagai persoalan di sekolah. Nah, absennya program ini, atau jikapun ada ia hanya formalitas belaka, boleh jadi karena semua guru di sekolah tersebut tidak pernah mendapatkan program induksi.

Berdasarkan hasil riset, guru pemula yang tak didampingi di tahun-tahun awal mereka mengejar, berpeluang mundur dari profesinya. Seandainya masih bertahan, diduga karena mereka telah berhasil menyesuaikan diri dengan kultur sekolah. Suatu proses adaptasi yang banyak melemahkan semangat dan cita-cita ideal mereka.

BACA JUGA: Wahai Orangtua, Rapor itu Cuma Sepotong Puzzle

Sayang seribu sayang manakala guru-guru pemula yang memiliki energi berlimpah, optimisme, dan punya ide-ide yang mungkin kreatif ini tidak dibina dengan benar. Atau semua ini sebenarnya karena satu hal: tidak adanya budaya kolaborasi diantara para guru. Kalau demikian halnya, satu-satunya solusi adalah membangun kultur kolaborasi.

Pengalaman saya mengajar di sebuah sekolah di Kota Santri selama lima tahun sedikit-banyak mengungkap fakta ini. Saya menyimpulakan bahwa absennya kebiasaan kolaborasi antar guru menyebabkan mereka berjuang sendiri-sendiri. Apakah di sekolah saudara juga demikian?

Beberapa bulan lalu, Seorang kepala sekolah di sekolah kejuruan kesayangannya mulai mencanangkan program pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran ini baru pertama kali dilakukan di sana, terutama karena mata pelajaran-mata pelajaran nonproduktif turut ambil bagian. Saya pikir program ini adalah salah satu jawaban atas persoalan di atas. Artinya, kolaborasi mulai dibangun.

Tak jarang, karena program ini baru pertama kali dilakukan, guru-gurunya belum terbiasa dengan strategi dan langkah-langkah kolaborasi. Beberapa guru merasa ragu dan bingung mulai dari mana. Selain perlu menyelaraskan kompetensi dasar di mata pelajarannya dengan proyek, mereka juga perlu sering mendiskusikan metode belajar dan penilaiannya.

BACA JUGA: Salah Guru Ya Kalau Kualitas Pendidikan Kalah Saing?

Sama seperti guru pemula dalam program induksi, guru-guru di program pembelajaran berbasis proyek di atas juga memerlukan bimbingan dan pendampingan. Tanpa itu, mereka bakal terperosok pada keputusasaan karena tidak menemukan pemecahan yang tepat. Bimbingan itu bisa datang dari siapa saja asal dia pernah berpengalaman melakukan pembelajaran berbasis proyek.

Sampai sekarang saya belum mendengar kabar dari kepala sekolah tersebut. Apakah di sekolahnya dilakukan pula pendampingan untuk guru-gurunya? Apakah mereka dibiarkan menyelesaikannya sendiri? Apakah dia mengerti kendala yang dialami guru-gurunya?

Pertanyaan-pertanyaan itu kadang membikin saya penasaran sendiri. Yah, mungkin setelah tulisan ini selesai, saya perlu mencari informasi soal perkembangan guru-gurunya dalam pelaksanaan proyek tadi. Saya berharap, bukan saja proyek rampung, tetapi juga mereka bakal memperoleh pengalaman yang berharga bagaimana kolaborasi itu suatu keniscayaan dalam kerja mendidik anak.

Baca Tulisan-tulisan Menarik Dini Alan Faza Lainnya

Tags: EdukasiEsaiguruKeguruanpendidikan

Mau Ikutan Menulis?

Kamu bisa bagikan esai, opini, pengalaman, uneg-uneg atau mengkritisi peristiwa apa saja yang bikin kamu mangkel. Karya Sastra juga boleh kok. Sapa tahu kirimanmu itu sangat bermanfaat dan bisa dibaca oleh jutaan orang. Klik Begini caranya


Dini Alan Faza

Dini Alan Faza

Redaktur
Sehari-hari sebagai Pengajar di sebuah sekolah

Sapa Tahu, Tulisan ini menarik

Drama Ojol - Driver Selalu Berwajah Lusuh

Belajar Bijak dari Driver Ojol Selalu Berwajah Lusuh Ketika Mengambil Orderan

Mei 23, 2022
165
Sosok Penting Pelopor Penerbangan Dunia

4 Sosok Penting Pelopor Penerbangan Dunia

Mei 19, 2022
141
mata uang kripto

Mengenal Lebih Jauh Apa Itu Mata Uang Kripto

Mei 16, 2022
142
Mengulik Asal Muasal Sejarah Wingko Babat

Mengulik Fakta Wingko Babat; Berasal dari Lamongan yang Kadung Terkenal di Semarang

Mei 13, 2022
162
Kampung Naga Tasikmalaya

Sekelumit Tentang Kampung Naga, Kampung Unik Tanpa Modernisasi di Tasikmalaya

Mei 12, 2022
152
Alasan Kenapa Film KKN Desa Penari Bisa Booming

Alasan Kenapa Film KKN Desa Penari Bisa Booming

Mei 10, 2022
467
Load More


Ada Informasi yang Salah ?

Silakan informasikan kepada kami untuk segera diperbaiki. Pliss "Beritahu kami" Terima kasih!


TERBARU

Belajar Bijak dari Driver Ojol Selalu Berwajah Lusuh Ketika Mengambil Orderan

Koenokoeni Cafe Gallery, Kafe Resto dengan Kearifan Lokal di Semarang

4 Sosok Penting Pelopor Penerbangan Dunia

Tradisi Pesta Giling Tebu di Pabrik Gula Sragi, Sebuah Upacara Spesial Pengantin Tebu dan Pengantin Glepung

Wisata Hits Terbaru Tegal di Villa Guci Forest

Mengenal Lebih Jauh Apa Itu Mata Uang Kripto

Mengulik Fakta Wingko Babat; Berasal dari Lamongan yang Kadung Terkenal di Semarang

LAGI RAME

Tradisi Pengantin Glepung di Pabrik Gula Sragi

Tradisi Pesta Giling Tebu di Pabrik Gula Sragi, Sebuah Upacara Spesial Pengantin Tebu dan Pengantin Glepung

Mei 18, 2022
373
Cafe Hits Batang Hello Beach

20 Cafe Hits Kekinian di Kabupaten Batang yang Keren Abis Buat Nongki-Nongki

Februari 13, 2022
3k
Wisata Pekalongan Pantai Pasir Kencana

New Taman Wisata Pantai Pasir Kencana Kota Pekalongan

Maret 10, 2022
6.4k
Wisata Hits Terbaru Jogja di HeHa Ocean View

Wisata Hits Terbaru Jogja di HeHa Ocean View

Maret 3, 2022
1.8k
Legenda Dewi Lanjar Pantai Utara

Kisah Legenda Asal-usul Dewi Lanjar

Agustus 12, 2016
34k
Wisata Tegal - Villa Guci Forest

Wisata Hits Terbaru Tegal di Villa Guci Forest

Mei 17, 2022
311
Tradisi Syawalan Balon Udara Pekalongan

5 Tradisi Syawalan di Pekalongan yang Sayang Untuk Dilewatkan

Mei 7, 2022
7.8k
Makam Sapuro

Wisata Religi : Makam Habib Ahmad Sapuro Pekalongan

Agustus 7, 2016
11.6k
Forest Kopi Batang

Inilah 10 Tempat Kuliner di Batang Paling Direkomendasikan untuk Wisatawan

April 9, 2020
29.5k
Dewi-Rantamsari-Dewi-Lanjar

Kisah Misteri Dewi Rantamsari Yang Melegenda

Oktober 16, 2018
15.6k

TENTANG  /  DISCLAIMER  /  KERJA SAMA  /  KRU  /  PEDOMAN MEDIA SIBER  /  KIRIM ARTIKEL

© 2021 KOTOMONO.CO - ALL RIGHTS RESERVED.
DMCA.com Protection Status
No Result
View All Result
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • UMKM
  • OH JEBULE
  • FIGUR
  • NGULINER
  • PLESIR
  • LOCAL WISDOM
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • NGABUBURIT
    • RELEASE
    • EDUKASI
    • NYASTRA
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Login
  • Sign Up

Kerjasama, Iklan & Promosi, Contact : 085326607696 | Email : advertise@kotomono.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In