KOTOMONO.CO – Pada judul tulisan ini langsung saya beri dengan pertanyaan menohok, karena ini penting!
Kata sebagian kalangan, kualitas pendidikan, khususnya pembelajaran di kelas, bergantung pada gurunya. Guru yang cara ngajarnya menarik, punya selera humor, mudah bergaul dengan anak, mengerti kebutuhan mereka, suka berkolaborasi memecahkan masalah, dan memiliki panggilan jiwa di profesi ini, singkatnya seorang pendidik profesional; adalah guru yang diidam-idamkan.
Sayangnya, lulus dari kampus pencetak calon guru, tidak secara otomatis membuat lulusan itu profesional di bidangnya. Perlu perjalanan panjang yang tak jarang agak melelahkan sebelum mereka (setelah diterima di sekolah sebagai pengajar di sana) menyandang predikat guru profesional.
Pertama-tama, perlu diingat bahwa fresh graduated yang langsung bekerja sebagai guru, tidak otomatis paham seluk-beluk masalah-masalah pendidikan di sekolahnya, tahu cara-cara yang efektif untuk mengatasinya, dan, dalam waktu singkat, mampu mengubah keadaan sekolah menjadi lebih baik. Berdasarkan keterangan beberapa teman, mereka perlu waktu setidaknya dua sampai tiga tahun untuk beradaptasi. Bahkan ada yang lebih.
Proses adaptasi itu pun tidak mulus-mulus amat. Hal pertama yang biasanya mereka mengerti adalah perbedaan antara teori yang dipelajari di kampus dengan kenyataan di sekolah yang tak terjembatani. Saya pernah mendengar ungkapan ini: fresh graduated itu teorinya oke, tapi praktiknya nol besar. Sedangkan guru senior teorinya agak-agak, namun praktiknya oke.
Tanpa berdebat soal benar-tidaknya ungkapan itu, sedikit-banyak idealisme para lulusan muda itu terbangun dari pemikiran naif dalam memandang kenyataan di sekolah. Pemikiran ini dipupuknya melalui bacaan dan diskusi yang seringnya tidak berbasis data objektif. Apalagi jika sejak di perguruan tinggi, mereka jarang diberi kesempatan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang nyata terjadi di sekolah-sekolah.
Walhasil, ketika guru-guru pemula ini terkejut karena apa yang dipelajari semasa kuliah banyak yang tidak cocok dan tidak relevan dengan kondisi di lapangan, cita-cita utopis mereka mendapat batu ujian. Apakah akan terus mempertahankan impiannya atau angakat tangan, semua tergantung pada kemampuan dan niat mereka. Ada yang menyerah, memilih bekerja asal kewajiban gugur. Namun ada juga yang tetap berusaha memahami dan sedikit demi sedikit menggunakan berbagai cara untuk mengatasi kendala dalam mengajar.
BACA JUGA: Beruntungnya Saya Punya Kawan Seorang Aktivis
Proses serupa itu umum dialami guru-guru. Bahkan guru senior pun saya kira pernah merasakannya. Boleh dibilang, profesi guru itu penuh tantangan, dan karena itulah mereka perlu terampil memecahkannya.
Meski demikian, yang membuat saya heran, di awal karier para guru pemula atau fresh graduated yang langsung mengajar, mereka sering dibiarkan berjuang sendiri tanpa ada pendampingan dan bimbingan dari guru yang lebih berpengalaman. Fenomena ini sebetulnya merupakan tarikan lebih panjang dari kebiasaan kerja sendiri-sendiri yang dilakukan banyak guru.
Berjuang sendiri mengatasi masalah sungguh melelahkan. Selain rasa kesendirian, guru-guru itu harus bergelut dengan berbagai situasi kerja yang rumit. Tak jarang mereka meraba-raba sendiri tanpa guru senior memberi petunjuk atau bimbingan. Keadaan ini bahkan bertambah sulit jika antara guru pemula dan seniornya tidak terjalin komunikasi yang kondusif. Akhirnya, keputusan-keputusan yang diambil kurang pertimbangan matang, hal mana karena minimnya pengalaman mereka dan kurangnya pemahaman budaya di sekolah itu.
BACA JUGA: Memangnya Ada “Pedagogi” Dalam Pembelajaran Jarak Jauh ?
Tidak adanya program pendampingan dari guru senior—atau yang sering disebut induksi—bertolak belakang dengan kompleksitas yang terjadi di sekolah dan minimnya pengalaman fresh graduated dalam mengajar. Menurut saya, sangat tidak masuk akal mengharapkan guru pemula ini menjadi pendidik yang profesional tanpa diawali dengan induksi. Mereka yang semestinya dibimbing dalam mengarungi kerumitan persoalan di sekolah yang belum pernah mereka kenali di perkuliahan, sekali lagi, dibiarkan survive sendiri.
Program induksi sebetulnya merupakan langkah awal bagi guru pemula untuk memahami bahwa guru itu tak beda dengan ilmuwan. Mereka memerlukan kolaborasi untuk memecahkan berbagai persoalan di sekolah. Nah, absennya program ini, atau jikapun ada ia hanya formalitas belaka, boleh jadi karena semua guru di sekolah tersebut tidak pernah mendapatkan program induksi.
Berdasarkan hasil riset, guru pemula yang tak didampingi di tahun-tahun awal mereka mengejar, berpeluang mundur dari profesinya. Seandainya masih bertahan, diduga karena mereka telah berhasil menyesuaikan diri dengan kultur sekolah. Suatu proses adaptasi yang banyak melemahkan semangat dan cita-cita ideal mereka.
Sayang seribu sayang manakala guru-guru pemula yang memiliki energi berlimpah, optimisme, dan punya ide-ide yang mungkin kreatif ini tidak dibina dengan benar. Atau semua ini sebenarnya karena satu hal: tidak adanya budaya kolaborasi diantara para guru. Kalau demikian halnya, satu-satunya solusi adalah membangun kultur kolaborasi.
Pengalaman saya mengajar di sebuah sekolah di Kota Santri selama lima tahun sedikit-banyak mengungkap fakta ini. Saya menyimpulakan bahwa absennya kebiasaan kolaborasi antar guru menyebabkan mereka berjuang sendiri-sendiri. Apakah di sekolah saudara juga demikian?
Beberapa bulan lalu, Seorang kepala sekolah di sekolah kejuruan kesayangannya mulai mencanangkan program pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran ini baru pertama kali dilakukan di sana, terutama karena mata pelajaran-mata pelajaran nonproduktif turut ambil bagian. Saya pikir program ini adalah salah satu jawaban atas persoalan di atas. Artinya, kolaborasi mulai dibangun.
Tak jarang, karena program ini baru pertama kali dilakukan, guru-gurunya belum terbiasa dengan strategi dan langkah-langkah kolaborasi. Beberapa guru merasa ragu dan bingung mulai dari mana. Selain perlu menyelaraskan kompetensi dasar di mata pelajarannya dengan proyek, mereka juga perlu sering mendiskusikan metode belajar dan penilaiannya.
BACA JUGA: Salah Guru Ya Kalau Kualitas Pendidikan Kalah Saing?
Sama seperti guru pemula dalam program induksi, guru-guru di program pembelajaran berbasis proyek di atas juga memerlukan bimbingan dan pendampingan. Tanpa itu, mereka bakal terperosok pada keputusasaan karena tidak menemukan pemecahan yang tepat. Bimbingan itu bisa datang dari siapa saja asal dia pernah berpengalaman melakukan pembelajaran berbasis proyek.
Sampai sekarang saya belum mendengar kabar dari kepala sekolah tersebut. Apakah di sekolahnya dilakukan pula pendampingan untuk guru-gurunya? Apakah mereka dibiarkan menyelesaikannya sendiri? Apakah dia mengerti kendala yang dialami guru-gurunya?
Pertanyaan-pertanyaan itu kadang membikin saya penasaran sendiri. Yah, mungkin setelah tulisan ini selesai, saya perlu mencari informasi soal perkembangan guru-gurunya dalam pelaksanaan proyek tadi. Saya berharap, bukan saja proyek rampung, tetapi juga mereka bakal memperoleh pengalaman yang berharga bagaimana kolaborasi itu suatu keniscayaan dalam kerja mendidik anak.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Dini Alan Faza Lainnya