KOTOMONO.CO – Pertama saya pengin bilang kalau KPI yang saya maksud adalah Komisi Penyiaran Indonesia. Itu dulu, silakan catat! Siapa tahu ada yang ngira KPI yang saya bahas adalah KPI yang lain. Ha bisa modyar saya. Sudah? Mari kita mulai.
KPI kembali, ah nggak ding, maksudnya KPI mulai lagi dengan tingkah konyolnya. Mulai lagi dengan kesalahan yang sebetulnya bisa tidak terjadi. Namun KPI malah memilih untuk setara dengan MUI. Sama-sama layak dibubarkan sebab hanya buang-buang duit negara.
Adalah nama seorang predator kelamin cum pedofil cum penyanyi dangdut, Saiful Jamil yang bikin nama KPI kembali menjadi bahan pembicaraan netizen. Ia bebas dari penjara dan kebebasannya yang disambut bak ulama kondang yang baru saja pulang dari “perantauan” menuai banyak makian. Apalagi ketika Saiful Jamil tampil di televisi. Ditampilkan bak sosok yang hebat, multitalenta, dan tentu saja berhati mulia.
Padahal orang ini telah melakukan tindakan pedofilia. Kebebasannya yang diglorifikasi bikin influencer kelas teri sampai kelas kakap turun gunung. Mereka memberi kritik tajam kepada televisi yang masih memberikan ruang pada pelaku pelecehan seksual. Para influencer itu juga menyerbu KPI karena tak becus dalam menyeleksi konten siaran.
BACA JUGA: Saipul Jamil dan Hilangnya Empati Publik Pada Korban Perkosaan
Kalau sudah begini tentu KPI harus angkat bicara dan memang lebih baik sekalian angkat kaki dari negeri ini. Kesempatan itu pun tiba saat Lord Paduka Maharaja Agung Suprio yang mengaku sebagai Ketua KPI diwawancara oleh Deddy Corbuzier. Memang untuk sesuatu yang sedang viral, Om Deddy ini lebih cepat dari wartawan media online. Seneng banget ya Om bisa dapet cuan juga?
Saat ditanyai Om Deddy, Lord Agung Suprio bilang dia sudah memberikan ketegasan untuk membatasi stasiun televisi menayangkan sosok Bang Ipul. Namun alih-alih konsisten, Lord Agung justru bilang kalau Saiful Jamil boleh tampil di televisi asalkan untuk konten edukasi. What??? Edukasi?
Saya nggak kaget sih ketika Lord Agung bilang begitu. Secara KPI kan lembaga paling edukatif se-Indonesia. Bahkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) saja nggak edukatif-edukatif amat. Ya kali Kakak Nadiem Makarim merenovasi ruang kerja yang habis miliaran itu bernilai edukasi?
KPI secara lahiriah dan batiniah tentu mengerti betul kalau tupoksinya adalah ranah penyiaran. Jadi mereka punya kesempatan yang lebih untuk mengedukasi masyarakat. Mau memberi edukasi di Radio tentu akan lebih repot.
Maklum lah radio cukup sulit untuk disusupi predator macam Saiful Jamil. Setidaknya saya tidak pernah mendengar suara pedofil dari saluran radio. Amit-amit dah, jangan ye bapak-ibu produser radio. Udah jualan Viostin DS saja.
BACA JUGA: Membunuh Tunangan Karena Batal Nikah Memang Aksi Pekok yang Pelakunya Patut Dipenjara
KPI memanfaatkan kanal televisi untuk mengedukasi bahaya kekerasan seksual. Tapi KPI melakukannya dengan logika terbalik. Jangan kamu kira edukasi itu pasti sesuatu yang baik. Edukasi untuk hal-hal yang tidak baik juga beberapa kali diterapkan. Makanya ada belajar mencopet, belajar merampok, belajar membobol bank, belajar korupsi sejak dini. Semua itu bahkan ada sekolah khususnya.
Edukasi yang dimaksud dari tayangan Saiful Jamil adalah edukasi yang rusak, negatif, ngawur, dan goblok. Maaf kalau saya terkesan misuh dan sangat tidak Islami dan nggak suci lahir bathin. Tapi untuk kelakuannya Bang Ipul dan lembaga amoral macam KPI hukum memisuhinya jadi fardhu ain.
Edukasi semacam ini sama gobloknya dengan mantan napi koruptor yang diangkat jadi “duta” antikorupsi. Ini menandakan sistem peredukasian kita ya begitu-itu. Orang boleh berbuat jahat tapi kalau dia adalah publik figur bakal lain ceritanya. Padahal kelakuan seorang predator ini sangat berbahaya. Kalau kata netizen Pekalongan, mending di-remason!!!
Hasrat untuk selalu bersifat edukatif ini memang sangat mengakar di tubuh KPI. Ada lagi kasus pelecehan seksual di tubuh KPI yang ujungnya malah korban yang disuruh mencabut laporannya. Itu telah mengedukasi kita bahwa KPI adalah lembaga yang busuk. Edukasi samacam itu juga perlu diketahui oleh para petinggi kampus-kampus di Indonesia yang memiliki jurusan yang berkelindan dengan kerja-kerja ke-KPI-an untuk nggak mengizinkan mahasiswanya magang di lembaga KPI.
BACA JUGA: Pemerintah Minta Ganti ke TV Digital? Wong Siaran TV Saja Masih Bobrok, kok!
Oke saya maklumi kalau ada yang masih bilang KPI adalah lembaga yang prestisius untuk magang mahasiswa. Tapi melihat fenomena belakangan ini, untuk membedakan mana gedung KPI mana tempat ajojing saja susah. KPI kurang rusak apanya coba? Pelecehan seksual di dalam lembaga kok dianggap bercanda? Kan Asuuu.
Nilai-nilai edukatif juga terpancar dari sikap Lord Agung. Di media sosial, Lord Agung menjawab komentar-komentar yang bernada kritik campur aksen sinis dengan jawaban yang blasss ramashok. Itu mengedukasi kita bahwa orang yang menjabat di lembaga yang masih berhubungan dengan interaksi saja komunikasinya tak lebih baik dari burung kakatua.
Jadi stop bilang kalau kerja di lembaga pemerintahan adalah orang cerdas. Ketika kalian mengingat itu atau tetangga memengaruhi kamu kalau kerja di lembaga pemerintahan itu keren dan berwibawa, lihatlah Lord Agung beserta para komisioner KPI.
BACA JUGA: Memang Kenapa Kalau Windy Cantika Aisyah Tak “Konsisten” Memakai Jilbab?
Saat diundang di Mata Najwa, Lord Agung si Ketua KPI itu juga memberikan pesan-pesan yang sangat edukatif walaupun dia nggak hadir. Eh bukan nggak hadir tapi dia sudah hadir terus pulang terlebih dahulu sebelum berhadapan dengan Mbak Najwa Shihab. Itu Lord Agung tengah mengikuti tren e-sport.
Lord Agung mengajarkan kita semua bahwa meskipun kamu sudah masuk ke room atau login dan siap tempur dengan segala senjata, boleh kok untuk AFK. Itu jika kamu merasa senjatamu tak cukup memadai. Atau takut karena musuhnya orang cerdas. Maka kalah adalah sebuah keniscayaan. Jadi buat apa bertempur lagi?
Sekali-kali atau sering-sering jadi pengecut boleh lah ya.
komentarnya gan