Kotomono.co – Angkawijaya, atau Abimanyu a.k.a. Jaka Pengalasan adalah salah satu ksatria pilih tanding putra Arjuna. Dia terkenal karena kisah epicnya di perang Bharatayudha hari ke-13. Di hari itulah dia gugur sebagai senapati dari pihak Pandawa. Tapi bukan kematian yang membuatnya dikenang, melainkan bagaimana dia mapag pati, menjemput ajal yang mengenaskan.
Sebelum membicarakan kematiannya, bolehlah kita flasback mengenai kehidupannya. Setidaknya ada dua peristiwa maha penting bagi Angkawijaya yang bersangkut paut dengan jalan kematiannya. Yang pertama ketika ia masih dalam kandungan sang Ibu, dan yang kedua ketika ia mempersunting Dewi Utari sebagai istrinya.
First, Jaka Pengalasan ini adalah anak Permadi dari istri Dewi Sembadra atau Subadra. Konon ketika Sembadra mengandung janin Abimanyu, ia mendengarkan sang suami mbabar kawruh tentang formasi perang Cakrabyuha. Lengkap dengan detail bagaimana cara menerobos formasi tersebut.
Rupa-rupanya Sembadra hanya sempat mendengarkan awalnya saja. Di bagian bagaimana cara membobol Cakrabyuha. Namun ketika penjelasan Arjuna masuk ke bagian bagaimana cara meloloskan diri dari kepungan formasi tersebut, Sembadra jatuh terlelap. Persis seperti saya ketika mendengar khotbah Jumat, eh..
Kisah di awal kehidupan (bahkan ketika masih di dalam kandungan) Angkawijaya ini menjadi penting bagi perjalanan hidup dan matinya kelak. Bagaimana bisa? Check this out.
Cerita ke dua adalah ketika Abimanyu melamar Utari untuk menjadi istrinya. Dikisahkan bahwa ia jatuh cinta pada Utari, putri Raja Wirata. Padahal ketika itu ia sudah beristrikan Sundari. Sedangkan Utari mau diperistri sang ksatria hanya jika ia masih belum punya garwa. Singkat cerita, Jaka Pengalasan bersumpah di depan Utari bahwa ia masih perjaka, masih jomblo tulen. Bahkan sang pejuang cinta berani bersumpah jika berbohong akan hal itu, ia rela mati dirajam seribu senjata. Terdengar seperti buaya darat? Ya iya lah, wong dia anak Arjuna yang playboy tanpa obat.
Nah, kombinasi dari dua cerita tersebut kelak akan terbukti menentukan jalan kematian sang ksatria. Kembali ke topik kematian Abimanyu. Malam hari menjelang hari ke-13 Bharatayuda Jayabinangun, ia sepenuhnya sadar bahwa esok akan menghadapi kematian. Ia mesti menggenapi nubuat dan membayar karma dari sumpahnya untuk mati dirajam seribu senjata. Namun toh dia tidak mangkir. Ia tetap maju ke padang kuruksetra sebagai panglima, netepi dharma sebagai seorang ksatria.
Esoknya dia bisa dengan mudah menerobos rumitnya gelar perang Cakrabyuha milik Kurawa, seolah kawruh tentang formasi perang tersebut telah mendarah daging di alam bawah sadarnya. Padahal ia tidak pernah mempelajari formasi tersebut secara khusus. Sang Jaka Pengalasan menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang jagoan pilih tanding. Ia mengamuk hingga ke pusat barisan Cakrabyuha. Namun satu hal yang ia lena, sang putra Arjuna tidak tahu bagimana cara meloloskan diri dari formasi perang tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa ia memang benar menerima kawruh tersebut ketika masih di dalam kandungan sang Ibu.
BACA JUGA: Perempuan di Mata Rahwana
Kisah selebihnya kita telah sama-sama hafal diluar kepala. Ia gugur di tengah Cakrabyuha, dengan tatu arang kranjang. Luka tusukan keris dan tombak, pukulan gada, dan terlebih lagi luka dari ribuan jemparing yang bersarang di tubuhnya. Kisah yang mengharu biru ini menjadi salah satu lakon paling populer dalam pagelaran wayang kulit, yakni lakon Abimanyu Ranjap.

Dengan sedikit melankolis saya mengenang kisah epic tersebut, lebih tepatnya ketika Abimanyu berpamitan kepada Utari di malam menjelang ultimate battle-nya. Kenangan tersebut terpotret dalam sebuah tembang macapat bermetrum Asmaradana berikut ini:
Garwaku Rara Utari (istriku Rara Utari)
Nadyan sliramu dhuhkita (meskipun engkau berduka)
Ywa kongsi mili waspane (jangan sampai air matamu menetes)
‘Sun pamit ngayahi dharma (aku pamit menjalankan darma)
Jejibahan satriya (kewajiban seorang satria)
Mugi kariya rahayu (semoga keselamatan untukmu)
‘Pun Kakang pamit palastra (aku pamit ke alam baka)
Yen ta nganti sesuk Yayi (jika sampai esok hari)
Saka tegal kuruksetra (dari padang kurusetra)
Lelayu kuwi wartane (hanya kabar duka yang sampai)
Sliramu aja nelangsa (engkau jangan nelangsa)
Sun wus pinanggih mulya (aku telah menemukan kemuliaan)
Ya kuwi gegayuhanku (itulah cita-citaku)
Mapag pati ing ngalaga (menjemput ajal di medan laga)
Moral of the story, kisah tersebut bolehlah diambil hikmahnya. Jangan terlalu mudah mengambil sumpah (palsu) di depan wanita. Dalam kasus si Abimanyu ini bisa dibilang dia weruh bokong njur lali dlondong. Ingatlah bahwa karma itu nyata, ia akan selalu datang walaupun entah kapan.
Yang kedua, setiap kali menghadapi sesuatu yang berpotensi akan “membunuh”, berkacalah pada sang Angkawijaya. Wong dia yang sudah mafhum akan mati saja tetap melenggang maju perang. Masak iya, kita yang hanya menghadapi “potensi kematian” versi pekerjaan, karir, dan hal-hal duniawi lainnya harus mundur?
Tulis Komentar Anda